Thursday, July 24, 2008

Sabang dan Pantai-nya




Berbicara tentang Sabang tentu saja tak terlepas dari pantai yang mengelilinginya. Topografi Sabang yang berbukit membuat laut terlihat dari banyak tempat di kota ini. Pantai-pantai di Sabang menurut saya masih sangat alami dan bersih, dibandingkan pantai di Banda Aceh. Airnya yang jernih membuat hati terasa ikut jernih memandangnya.

Tak jauh dari pantai Iboih, ada sebuah pulau menarik bernama P. Rubiah. Pulau ini hanya berjarak 20-30 menit naik boat dari pantai Iboih. Taman bawah laut di sekitar pulau ini menarik perhatian banyak pengunjung untuk bersnorkling atau diving di sana. Kami juga ikutan nonton warna-warni kehidupan bawah laut di Pulau Rubiah. Tapi dari boat aja…, maklum kami tak punya persiapan untuk snorkling…lagian saya cuma bisa berenang.. satu gaya, yaitu gaya batu…(he..he..)

Pantai lain yang tak kalah menarik adalah pantai Anoi Itam alias pantai pasir hitam. Pantai ini tergolong sebagai salah satu pantai tercantik di Indonesia versi majalah Garuda Indonesia. Keindahan pantai satu ini terletak pada pasirnya yang hitam yang kelihatan kontras dengan batu-batu putih yang tersebar di atasnya. Terus terang baru kali ini saya melihat pantai berpasir hitam.

Melihat laut bukanlah hal asing bagi saya. Meskipun tak bisa berenang (aneh ya..padahal tinggal dekat laut), sejak kecil saya memang sudah akrab dengan pantai. Berada di Sabang dan melihat laut lepas..saya seperti melihat kembali masa kecil saya dan adik-adik saat kami diajak piknik oleh Bapak-Ibu. Siapa yang dapat menduga ternyata air laut-lah yang telah menyebabkan mereka kembali kepada-Nya ? Semua memang kuasa Allah Swt.

Anyway, tak ingin terhanyut rasa duka, saya berterima kasih bagi teman-teman yang sempat membuka album ini.


Banda Aceh, Juli 2008

Sunday, July 20, 2008

Seputar Sabang




Foto-foto di album ini adalah hasil jeprat-jepret saya saat berkunjung ke Sabang akhir Juni lalu.

Selain pantainya yang masih sangat alami, di seputar kota Sabang masih banyak dijumpai ‘bunker’ peninggalan zaman jepang dulu. Ceritanya saat Jepang masuk ke Indonesia (mengusir Belanda) sekitar tahun 1940-an, Jepang menjadikan Sabang salah satu pelabuhan utama sebagai pintu masuk Indonesia dari sebelah barat.

Sebenarnya sejak zaman Belanda, Sabang sudah menjadi pelabuhan utama sekaligus kota tempat para pejabat Belanda di Aceh berlibur. Ini bisa dilihat dari foto-foto lama yang masih tersimpan baik di beberapa rumah di Sabang. Makanya saat itu Sabang juga dikenal sebagai tempat ‘dansa-dansi’-nya orang Belanda.

Anyway, saat Jepang masuk..mereka juga menjadikan Sabang sebagai lokasi pengintaian musuh. Mereka membangun banyak ’bunker’ di tepi pantai yang menghadap langsung ke laut lepas. ’Bunker-bunker’ ini masih bisa kita lihat sampai sekarang. Sebagian ada yang sudah tak utuh lagi. Tapi ada yang masih utuh, sehingga kita bisa masuk dan melakukan pengintaian. Sayangnya untuk masuk rada-rada ngeri juga.. Takut ada yang nyambar dari dalam (hi..hi....)

Banda Aceh, Juli 2008

Sunday, July 13, 2008

Liburan Kami : ‘Dari Sabang sampai….?’

Teman-teman pasti masih ingat lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke’ kan ?.  Ya.., Sabang adalah kota paling barat kalau kita melihat peta Indonesia.  Kota ini terletak di pulau kecil yang bernama ’Pulau Weh ’ (pulau yang pindah atau terpisah).  Bersama banyak pulau kecil lainnya yang berdekatan satu sama lain di sekitarnya, Pulau Weh yang hanya mempunyai satu kota in termasuk dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Saya boleh saja berbangga hati karena sudah pernah hidup survive sendiri selama beberapa tahun di P. Jawa. Atau pernah merantau dan menjelajah sampai ke Benua Amerika dan Eropah, tapi saya selalu ditertawakan teman-teman karena belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Weh.  Masa lahir dan besar di Banda Aceh, tapi belum pernah ke kota selalu disebut dalam lagu wajib anak SD?  Lho..emang apa sih istimewanya kota satu ini ?

 

 

Sejak sebelum masa liburan kenaikan kelas anak-anak tiba, saya sudah sepakat dengan si Abang untuk memperkenalkan kota Sabang pada anak-anak (sebenarnya sih..saya yang mau mengenal kota ini  hi..hii). Kota yang saat ujian IPS Ilman di kelas V merupakan jawaban dari pertanyaan :  ’Kota manakah yang terletak paling barat dari wilayah Indonesia ?’  Kebetulan pada saat yang bersamaan si sulung juga pulang liburan semester pendek, jadi lengkaplah liburan kami sekeluarga.

 

Kami berangkat pagi hari Kamis, 26 Juni melalui pelabuhan sementara Ulee Lheue dengan menumpang KM Express Bahari. Kapal motor yang kami tumpangi tsb cukup bersih dan nyaman, full AC, dengan harga satu kursi sebesar Rp. 60.000,-. Cuaca cukup cerah sepanjang perjalanan laut yang hanya butuh waktu 45 menit ini.

 

 

Tiba di Pelabuhan Balohan, Sabang, kami di sambut teman lama si Abang yang berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada kami selama liburan di sana. Sesudah kangen-kangenan, kami segera beranjak meninggalkan pelabuhan.  Berbekal ingatan si Abang mengunjungi Sabang di masa lalu, mulailah..’lima sekawan’ dari Banda ini bertualang mengubek-ngubek pulau Weh yang luasnya 153 km persegi.    Tujuan pertama adalah mencari penginapan.

 

Memasuki jalan utama di kota perpenduduk sekitar 22.000-an jiwa ini, saya langsung merasakan suasana yang berbeda dengan di Banda Aceh.  Jalan-jalan terlihat sepi dan bersih.  Tak ada kemacetan, tak ada yang terburu-buru, tak ada klakson mobil atau motor.  Padahal hari itu tengah hari kerja.., yang meskipun liburan sekolah, seharusnya kelihatan sibuk dimana-mana. Suasana seperti ini terus terasa selama 2 hari kami di sana. Kesibukan  baru terlihat  kalau kita menyusuri  Jl. Perdagangan, suasana khas pasar dan arena jual beli.  Sampai-sampai Kak Lila berkomentar: ’It seems time passes very slowly here, nobody in a rush..’

 

Yang paling menyenangkan adalah jalan-jalan utama yang membelah Sabang masih sangat teduh oleh jejeran pohon rindang yang sudah berusia puluhan tahun.  Akibatnya cuaca jadi tak terasa sepanas Banda Aceh.

 

 Atas rekomendasi seorang sepupu kami mendatangi penginapan ’Santai Sumur Tiga’ yang terletak di lereng berbukit di tepi pantai ’Sumur Tiga’.  Saya cukup yakin akan mendapat kamar di ‘beach house’ yang dikelola seorang bule asal Afrika Selatan ini.  Ternyata kami harus menggigit jari, semua kamar penuh !  Padahal setelah melihat suasana penginapan yang begitu cantik dan alami, anak-anak sudah sangat semangat untuk bermalam di sana.  Apa boleh buat, kami terpaksa mencari penginapan lain.

 

Setelah mengubeg-ubeg beberapa penginapan tepi pantai yang semuanya penuh (oleh wisatawan asing dan group kantor yang sedang ber-workshop), kami akhirnya memutuskan untuk menginap di guest house kecil di tengah kota.  Usai bongkar barang dan shalat zuhur.., kami jalan lagi untuk cari makan siang.

 

Perut kenyang plus alunan musik di mobil membuat si bungsu Ilman mulai mengantuk.  ’Let’s go back to the hotel.  I am so sleepy’, katanya.  Keinginan si bungsu ditolak Ayah-nya.  Lho..mau jalan-jalan koq malah ngendon di kamar hotel.   Siang itu kami keliling Sabang, melihat situasi sebelum memutuskan jalan kemana.  Ketika melihat tanda di jalan yang menunjukkan ’Tugu Kilometer Nol’, kami memutuskan untuk menuju ke sana.

 

Ya..kalau ada yang belum tahu, salah satu monumen penting di Sabang adalah Tugu Kilometer Nol Indonesia, lokasi darimana wilayah tanah air kita ini mulai diukur.  Letaknya sebenarnya tidak begitu jauh dari pusat kota Sabang, sekitar 29 km sebelah barat kota.  Hanya saja medan yang dilalui cukup rumit, penuh tanjakan dan belokan tiba-tiba di tepi tebing yang curam berbatas laut.   Belum lagi jalan yang mulai berbatu sejak 15 km menjelang tiba di lokasi. 

 

Tapi semua kerumitan itu berbuah hal indah bagi kami sekeluarga yang memang senang bertualang.  Untuk mencapai Tugu Km Nol tsb, kami harus melalui pantai-pantai yang terlihat sangat cantik dari atas bukit, ada Pantai Gapang, Pantai Iboih yang merupakan lokasi favorit wisatawan asing untuk ber-snorkling atau diving.  Kami juga harus melalui hutan lindung yang sarat dengan berbagai jenis pohon tropis.  Kanopi pohon saling-silang menutupi bagian atas jalan yang kami lewati.  Kami terasa melewati hutan belantara untuk mencari harta karun....  Suasananya sangat alami..dengan kicauan burung yang bersahut-sahutan.

 

Bukan itu saja..., saat sedang terpesona dengan suasana indah ini..(tentu saja tidak indah bagi mereka yang tidak suka suasana alami nan sepi..), kami dikejutkan oleh kemunculan

sekelompok monyet/kera yang muncul tiba-tiba di tengah jalan. Kelompok monyet ini kelihatan sangat ’friendly’.  Mereka rupanya menunggu pengendara motor/mobil melemparkan makanan.  He..he..ada keasyikan sendiri melihat bagaimana mereka berebut makanan yang kami lemparkan.

 

Tak banyak pengunjung yang terlihat di ’Tugu Kilometer Nol’ saat kami tiba di sana.  Menurut Bapak penjaga yang sedang bersih-bersih, biasanya pengunjung baru banyak bermunculan menjelang matahari tenggelam.  Mereka ini terutama adalah para wisatawan yang menginap di sekitar Pantai Gapang dan Iboih. 

 

 

Tugu Kilometer Nol terletak pada ketinggian 43.6 m, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.  Tugu ini sebenarnya baru ditetapkan pada tahun 1997, setelah penelitian ulang dengan menggunakan GPS untuk menentukan lokasi paling barat Indonesia.  Sebelumnya terdapat tugu lain yang diyakini sebagai ‘kilometer nol’ Indonesia.  Kini tugu yang lama dinyatakan sebagai kilometer tujuh Indonesia.  Sayangnya kami tak sempat mengunjungi tugu lama tersebut.

 

 

Berada di lokasi tugu ini, ada yang membuat saya sedikit tak nyaman.  Tugunya berbentuk unik dan dibangun di atas fondasi yang cukup tinggi.  Di sekitarnya ada beberapa prasasti yang menandai tugu kilometer nol.  Hanya saja..ini..dia..,di mana-mana penuh coretan tidak jelas.  Belum lagi sampah berserakan yang bikin sakit mata. ( Kapan ya…masyarakat kita bisa menghargai kebersihan dan keteraturan ruang publik ?)

 

Saat kami meninggalkan lokasi tugu sore itu, Irham berkomentar:  ’So, we have been here..,the westernest part of Indonesia.   I think we should go to Merauke then, to complete our journey’.   Waduh…..!!!

 

 

Banda Aceh, awal Juli 2008