Kalau si bungsu saya, Ilman, sudah bisa menjawab dengan yakin akan cita-citanya, Irham si tengah..memang masih pikir-pikir mau jadi apa kelak. Walaupun demikian, Irham tahu pasti mau sekolah dimana usai SMP tahun ini. Dia mau melanjutkan SMA-nya di United World College (UWC) di
Keinginan Irham ini bermula awal 2008 lalu ketika beberapa student dari College terkemuka ini berkunjung ke Banda Aceh dan mengadakan semacam workshop bagi sejumlah pelajar dari seluruh SMP negeri di Banda Aceh. Bersama beberapa teman dari sekolahnya, Irham kebetulan ikut menjadi peserta workshop yang berlangsung selama 3 hari itu.
Usai workshop tsb dia selalu mengatakan pengen sekali sekolah di
Suatu hari di awal bulan Desember 2008, saat pulang sekolah Irham menunjukkan formulir pendaftaran untuk UWC plus seabreg persyaratan untuk mendapat beasiswa ke
Akhir Desember Irham mendapat panggilan test tertulis, rupanya dia dinyatakan lolos saringan administrasi. Terus terang saya belum bisa melepaskan Irham sekolah jauh begitu, namun saya juga berpikir biarlah Irham ikut tes, bisa menjadi pengalaman baginya. Yang ikut test begitu banyaknya , belum tentu Irham bisa lulus.
Seminggu kemudian, bersama 7 peserta lainnya Irham dinyatakan lulus ujian tertulis beberapa pelajaran pokok. Saat itu saya..baru tersentak. Wah…gimana kalau Irham lulus wawancara nanti ? Ketika kegundahan hati saya lepaskan ke si Abang, dia menenangkan saya dengan mengatakan kita lihat saja nanti. Toh Irham belum tentu lulus.
Awal Januari 2009, selama dua hari penuh Irham mengikuti psikotest, test kesehatan, dan wawancara yang langsung dilakukan oleh beberapa guru dari UWC Singapore plus pihak Sampoerna Foundation sebagai pendamping di Indonesia.
Setelah semua test belalu, esoknya saya bertanya pada Irham: ‘Let say..you pass all the test, and chosen to be the winner for scholarship. How do you feel about it, Bang Awam ?. Dengan riang Irham menjawab: ‘I will be very happy of course’.
Irham tahu persis, saya belum mengiyakan dan menyatakan setuju penuh untuk dia sekolah ke
Dibandingkan kakak dan adiknya, Irham mempunyai pembawaan yang lebih tenang, tidak selalu gampang dibaca keinginannya, dan lebih suka mengalah dalam situasi sulit.
Tak perlu lama bagi Irham untuk menjawab pertanyaan saya: ‘I wont go if you are not happy, mum. I will give the chance to the second place to go’.. Saya hanya terdiam dan tidak lagi menyambung diskusi sore itu. Beasiswa ke UWC ini memang hanya untuk satu orang. Berarti peluang Irham adalah 1/8 dibandingkan seluruh peserta yang tersisa.
Dua bulan berlalu, diskusi tentang sekolah ke Singapore tak lagi bergema di rumah kami, sampai awal Maret lalu, Irham membawa pulang selembar fax dari sekolahnya. Tak terlihat keriangan berlebihan di wajahnya. Di mata saya dia biasa-biasa saja saat mengatakan: ’ I got the scholarship, mum’ sambil menunjukkan lembaran fax yang dipegangnya.
Seharusnya saya gembira akan keberhasilan Irham. Tapi saya kalah dalam menyembunyikan perasaan dibandingkan Irham. Dia tahu saya berat sekali untuk melepasnya merantau. Ya..ampun, umurnya baru 14 tahun..! Kalau dia di sana, betapa sepinya rumah tanpa kak lila dan Irham. Tinggal Ilman yang di rumah. Bagaimana saya tidak sedih ? ’Dont worry mum, if you dont want me to go there, I wont go...’
Kami diberi waktu seminggu untuk menyatakan kesediaan menerima beasiswa untuk Irham. Keputusan harus diambil segera. Dengan tegas si Abang menyatakan dia gembira dan mendukung kelulusan Irham. Namun kalau itu ternyata tidak membawa kebahagiaan bagi saya yang akhirnya berdampak timbulnya rasa tidak damai dalam keluarga, sebaiknya kemenangan Irham ditolak saja.
Saya tidak mau menjadi Ibu yang egois dan hanya mementingkan perasaan sendiri. Saya mencari tahu alamat penerima beasiswa tahun-tahun sebelumnya. Saya mendatangi orangtua mereka dan bertanya ini-itu bagaimana pengalaman mereka melepaskan anak seusia Irham sekolah Singapore.
Kemudian setelah saya cukup info, tanpa ikut serta ayahnya, saya mengajak Irham berbicara. Dengan hati-hati saya bertanya pada Irham apakah dia memang benar-benar ingin sekolah disana. Sudahkah dia siap untuk mandiri jauh dari rumah. Saya juga membayangkan pada Irham kesulitan yang mungkin dihadapinya kelak jauh dari rumah. Irham terlihat sangat yakin akan keinginannya.
Akhirnya walaupun berat, saya mengatakan padanya bahwa dia boleh pergi. Saat itulah dia bersorak gembira. ’Thank you, mum. I wont let you down’. Dengan segera berita ini menyebar ke seantero rumah. Ilman mendatangai saya. ‘Don’t be sad, mummy. You still have me at home for the next three years’. Lho.., Ilman mau sekolah keluar juga ?
Begitulah.., awal Juni kemarin Irham mengikuti orientasi seminggu di kampus UWC Singapore. Saya tidak ikut mendampingi Irham, karena sedang training di Wageningen. Si Abang mengantar Irham sampai Medan saja, kemudian melepas Irham terbang sendiri ke Singapore. ’Sekalian latihan’, jawab si Abang ketika saya protes. Sabtu, 6 Juni kemarin si Abang menjemput kembali Irham di Medan. Kali ini Irham juga harus terbang sendiri dari Singapore ke Medan.
Usai mengantar Irham naik pesawat ke Singapore minggu lalu, si Abang mengirim email sangat mengharukan untuk saya. Ah.., Irham memang sudah besar....
Wageningen, 7 Juni 2009