Monday, November 29, 2010

Sup Jagung Telur...

Suami saya suka memasak.  Ini bukan hal baru.  Saya tidak tahu pasti sejak kapan.  Yang jelas si Abang tercinta ini tidak keberatan memasak di sela waktu luangnya, atau saat saya tidak di rumah, atau saat anak2 memang meminta Ayah-nya memasak. 

 

Masakan si Abang bukan yang ribet2, sederhana..  Mungkin karena diolah dengan rasa cinta,  saya dan anak2 selalu menyukai apapun masakannya.

Seperti sudah ada aturannya, biasanya saya dan si Abang tidak memasak masakan yang sama.  Masakan2 tertentu di dalam keluarga memang ‘terikat’ dengan si Abang, jadi rasanya adalah rasa’masakan Ayah’.  Anak2 akan meminta Ayah-nya yang masak kalau ingin makan ‘sup jagung telur’ , misalnya.

Itulah yg terjadi tadi sore menjelang makan malam tadi.  Di luar sudah gelap gulita meski baru jam 5.15 pm saat saya tiba di apartmen kami.  Ilman yang pulang satu jam lebih awal sudah menunggu sambil menonton TV di bawah selimut.  Suhu dingin memang sangat terasa, ditambah prediksi salju akan turun malam ini.

‘Mum, I want daddy’s corn soup with scramble eggs on it’.  ‘But Daddy is not here’.   Kata Ilman, saat melihat saya membuka kulkas  memulai proses masak untuk makan malam.

‘I will cook it for you if you want’, jawab saya sambil memegang container kaldu ayam yang saya simpan kemarin.

‘Are you sure ?’  ‘Will it taste the same as daddy’s?’  Ilman balik bertanya dengan sedikit surprise.

‘Well, the same recipe will not always taste the same if it is prepared by different people’.   Jawab saya tidak memberi harapan muluk, bahwa sup-nya bakalan seenak masakan Ayah-nya.

Jadilah malam tadi kami makan malam berdua, nasi panas plus sup jagung telur.  Saat melihat Ilman mulai makan, saya diam saja tanpa komentar.  Setelah beberapa suap, saya bertanya:  ‘Well..., how is it ?’  ‘Do you think you like it ‘? 

Dengan serius Ilman menjawab: ‘You should do like this more often, mummy...’. 

Alhadmulillah.  Bagi saya satu kalimat jawaban di atas sudah cukup.  Saya bersyukur tidak tergoda bertanya pertanyaan sulit untuk anak:  ‘Enak mana?  Masakan Ayah atau masakan Bunda ?’  Pasti sulit bagi seorang anak harus mengatakan salah satu orang tuanya lebih baik dari yg lain.  Biarlah hal itu milik mereka sendiri.

Alhamdulillah.  Ilman cukup ‘wise’ dengan jawabannya.  Dia memilih untuk menjawab hati2 dengan arti tersirat, tanpa harus membuka isi hatinya dengan  sangat terbuka yg mungkin dia kira akan megurangi nilai salah satu orangtua-nya.

Cerita ini mungkin sangat sederhana, tapi bagi saya sangat penting dalam pendidikan anak.  Sebagai orang tua, kita sering tergoda untuk bertanya pada anak yang seringkali sebenarnya menempatkan mereka pada posisi sulit di antara ke-dua orangtuanya, di antara saudara2nya, di antara teman2 dan orangtuanya..., dll.   Insya Allah saya akan terus berusaha untuk tidak mendudukkan anak pada posisi sulit seperti itu, meskipun itu sangat menggoda untuk dilakukan.

Saat sedang berpikir untuk mengambil foto sup telur jagung untuk dikirimkan pada Ayah-nya,  Ilman  beranjak ke dapur.  ‘Mum, Could I have some more ?’  Sambil membawa bowl berisi sup ke meja makan.

Tandas sudah sup jagung telurnya..., bikinnya memang tidak banyak sih....(takut Ilman tidak suka hehehehe...)

PS:  To my beloved husband ;  ‘Thanks for the recipe....’

Leeds,

Wed evening, 24 Nov 2010

 

Sunday, June 20, 2010

A Birthday Note for My Girl..

Twenty years has passed since I heard you cried for the first time in your life.  I remember that bright Sunday morning, you were finally brought to the world after a long sleepless and painful night.  Seeing you in my arm, all my pain went to the air...you were such a miracle growing inside me.

We named you ‘Dalila Husna Yunardi’, with the hope and the prayer for you to become a direction of many good things in your life ahead.

You were the first that has brought me to become a mother, and a father to your Dad.  You were the first for the late Abu Chik,  Mak, and Nenek to become grandparents.  You were the first niece for the late Bundacut and Abit, also for all the siblings of your dad, and later on,  you became the big sister for the two younger brothers born years after you.  Most of all, you join the club of me and daddy to become the first child in the family.  It’s weird, isn’t it ?

You and I have grown up together. You are as a daughter and me as a mother.  We have been through so many different things, in sadness and in happiness.  You have been there for me when I was studying in Canada by being so cooperative in early years of your life.  You were such a joy for your dad and me as young parents, when we were living over there.

You also have been there for me when I was studying in Leeds many years later.  I never forget the days when you had to take care of your brothers, while daddy and I had to stay late in campus.  I could never thank you enough for being very helpful during the hard time we faced after the tremendous loss of our relatives.

There were also times when we fought over different ideas.  In these times, you started to think what were best for you rather than to accept all my ideas that I thought were best for you. 

And now, here we are.   I am studying (again) in Leeds, and you are also studying abroad.  No matter how far the distance between us right now, I believe we are staying close in our hearts.   You are now no longer a teenager.  You are a high self esteem and a hard working woman.  I am so proud to have you as my daughter.  I never stop praying for you to become a shalihah woman full of happiness in your life.  I pray to Allah that you will be having a great family of your own when the time comes.  (Who knows, it may not be so long from now  -*winks*).

You may not recall all of your birthdays from your first year, but this is the first birthday you have without me around you.  This may be a remark of your adulthood life.., also for me to remember that you are now a grown up woman.

 Happy birthday k lila, hope you are having a good time with your friend in the island. Wishing you always the very best things in your life...  Cant wait to see you. ..this summer

With lots of love,

Mum

Sunday, April 18, 2010

Aktivitas Baru Sebagai Mahasiswa

Sudah lebih sebulan saya kembali ke Leeds, kembali menjadi  mahasiswa di negeri orang.  Meskipun saya pernah tinggal di Leeds sebelumnya, bukan berarti hari-hari saya kini menjadi lebih mudah.  Justru sebaliknya.  Tantangan terberat datang dari rasa home sick dan rindu keluarga yang terkadang begitu mendera.

Sebulan pertama menjadi mahasiswa, saya disibukkan dengan diskusi bolak-balik dengan pembimbing tentang topik penelitian saya plus plus timeline program S3 saya selama minimal 3 tahun ke depan.  Menjadi mahasiswa S3 di UK umumnya kita memang tidak punya beban kuliah seperti mhs di Amerika atau Kanada atau di Indonesia.  Makanya di UK, mhs S3 sering juga disebut Research Student.

Setelah menimbang sana sini, akhirnya saya setuju dengan salah satu alternative yang ditawarkan Steve (itu nama pembimbing saya).   Alhamdulillah dia cukup mengerti dengan situasi saya.  Sejak awal saat saya masih di Banda Aceh, dia sudah mengatakan bahwa dia butuh seseorang yang meneliti tentang ‘fig wasps’ di Pulau Sumatera.   ‘You are the right person’, katanya waktu itu.   Bagi saya itu cukup menggembirakan.., berarti saya bisa sering pulang dong.   Horeee...

 Di lab tempat saya berkantor sehari-hari sekarang mungkin saya adalah PhD student yang paling tua.  Enaknya di UK umur bukanlah penghalang untuk sekolah.  Umur berapapun bisa jadi mahasiswa lagi asal serius dan punya komitmen tinggi.  Tiga tahun lalu saat kuliah S2 di Leeds Uni juga, saya punya teman dari York yang usianya waktu itu sudah 58 th !   Dia tetap semangat dan bisa berteman sama siapa saja.  Kini dia tetap menjadi teman saya yang sekali2 bersedia datang ke Leeds untuk sekedar makan siang bersama.

Meskipun ada sekitar 8 orang setiap hari ngumpul di Lab yang sama, bukan berarti saya sudah mengenal mereka semuanya.  Typical orang UK kan jarang mau memperkenalkan diri sendiri pada orang baru, tapi begitu kita mengenalkan diri, mereka akan sangat friendly.   Setiap mhs di lab saya punya computer sendiri2 plus printer dengan aksesori yang bisa kita minta di toko milik fakultas atas persetujuan pembimbing.   Makanya interaksi jarang terjadi kecuali bagi mereka yang segrup penelitian.

Setiap hari masing2 sibuk dengan kegiatan sendiri2, saya yang baru mulai sibuk dengan acara ngumpulin paper dan membaca plus sekali2 chatting sama suami dan teman2 yang sedang ol.  Ada juga yang sibuk dengan kerjaan lab dan kegiatan lain di dalam lab.  Semuanya dikerjakan dalam diam.  Sekali2 ada terdengar suara salah seorang complain karena kerjaannya terkontaminasi, atau ada terdengar diskusi ttg penelitian diantara mereka yg punya pempimbing yg sama.  Tak ada obrolan ngalor-ngidul, tak ada gossip..  , tak ada suara telpon yang berbunyi.  Semuanya serius.

Saat makan siang, satu dua ada yang bangkit sambil mengajak teman di sebelah untuk makan bersama.  Makan bersama artinya makan makanan sendiri namun duduk bersama-sama. Saat inilah saya mengenal mereka.  Common room lantai 7 (Lab saya di lt 10) merupakan tempat berkumpul student dan staff saat makan siang.  Di sini biasanya baru terdengar obrolan santai dengan gelak tawa masing2 kelompok.  Kadang saya tersenyum sendiri di ruang ini, ada begitu banyak bahasa terdengar, Cina, India, Perancis, Spanyol, Arab.. dll, yang gak ada bhs Indonesia.  Karena saya memang satu2nya mhs Indonesia di biologi  (hikss..).   Belum lagi beragam bau makanan...dari negara berbeda.  Di ruang ini ada dapur dengan fasilitas microwave, makanya meskipun samar2 bau makanan aneh2 tetap tercium usai dipanaskan.

Sejauh ini hubungan saya dengan supervisor cukup baik.  Kebetulan dia juga pembimbing saya saat  penelitan S2 dulu.  Saya bisa mengetuk kantornya kapan saja.  Kalau keperluannya agak lama atau dia sedang sibuk, biasanya saya kirim email dulu minta ketemu.  Seperti semua dosen di Leeds Uni (mungkin juga di Uni lain di UK), dosen –dosen bersikap sangat informal.   Sehari-hari kita cukup memanggil mereka dengan nama depan saja.  Ini beda dengan saat saya kuliah di Kanada dulu, saat sudah dekat baru kita diminta memanggil mereka dengan nama depan.  Di UK semuanya sangat informal, tak ada panggilan doctor atau professor dalam percakapan sehari-hari.

Bukan berarti kemudian saya tidak punya tantangan di kampus.  Saya datang dan mulai program tidak pada waktu seharusnya.  Awal tahun ajaran  untuk program PhD seharusnya adalah akhir Sept, makanya banyak kegiatan wajib bagi student baru dibuat menyesuaikan jadwal ini.  Akibatnya bagi saya yang datang terlambat 6 bulan, harus berjibaku sendiri mengenal system dan kegiatan wajib yg harus saya lakukan.  Ada training dan workshop yang sudah lewat, saya harus cari sendiri dimana dan kapan training selanjutnya.  Bila tak ada lagi, berarti saya harus menunggu tahun depan bergabung dengan mhs baru nanti.

Intinya menjadi mhs baru seperti saat ini, saya harus sangat independen dan rajin bertanya sana sini.  Kadang saya rada melow juga, saat ketemu begitu banyak hal yang harus saya pelajari pada saat bersamaan.  Steve biasanya langsung tahu, dan dia memberi komen:  ‘Keep asking to anybody else, you’re quite a chatty person..  I know you can survive’.  Ya ampun, ternyata bukan hanya suami dan anak2 saya yang bilang saya sering cerewet...

Sekian dulu cerita saya kali ini.  Semoga langkah saya ke depan dimudahkan Allah swt.  Amin.

 Untuk para mhs dan mantan mhs saya yang kebetulan membaca catatan ini.  ‘Keep your spirit up, don’t give up easily...you’re all still very young and full of energy..!!

Ahad, 18 April 2010

 from leeds with love,

lily

Thursday, March 25, 2010

Back in Leeds, Back to Multiply...

Temans,

Sekian lama tak berkunjung ke MP, kangen rasanya menulis seperti dulu.  Sejak awal Maret kemarin saya kembali ke Leeds..., kali ini sebagai full time student   he..he..  Sudah tua masih aja sekolah ya..? 

Begitulah.  Menuntut ilmu itu tidak mengenal usia, tul kan ?  Mungkin ada yang bertanya kenapa saya sekolah lagi ke Leeds ?  Apa enaknya jauh dari keluarga ?   Gak enak memang, sangat tidak enak malah.  tapi bukankah dalam hidup ini kita tidak selalu harus mendapatkan yang enak-enak saja ?  Yang pahit juga merupakan bagian dari kehidupan kita yang harus dijalani dengan rasa tawakkal dan ikhlas.

Keputusan untuk sekolah lagi sebenarnya bukan hal yang mudah.  Ada dua orang yang sangat berperan dan mendorong saya mengambil keputusan ini.  Dukungan supervisor saya saat S2 di Leeds 2006 lalu (kini dia juga jadi supervisor saya lagi), plus support luar biasa dari si Abang. 

'This is your time.  Kalau kesempatan itu datang sekarang, kenapa ditolak ? '  itu kata si Abang.  Anak-anak juga sangat mendukung, K lila dan Irham malah berkomentar: ‘wow..mum, are we gonna graduate at the same time ?’

Saya baru saja mulai, masih jauh perjalanan menuju graduation tentu saja.  Saat ini saya masih memfokuskan diri untuk settled di kampus sebagai student, dan settled di apartment sebagai ibu dan isteri yang untuk sementara harus berjauhan dari suami dan anak2.

Nah temans,  Di sela kesibukan di kampus saya akan mencoba menjenguk MP lebih sering.  Mohon doa dan dukungan semua ya..

 

So, this is it.  Bismillahirrahmanirrahim....

Salam, lily (Leeds, 25 maret 2010 menjelang tengah malam)

Sunday, January 24, 2010

Banda Aceh, 5 tahun kemudian..

Kalau Anda berkunjung ke kota Banda Aceh hari ini, tak banyak yang tersisa dari musibah besar lima tahun lalu.  Menyusuri jalanan kota, Anda tak akan tahu kota ini pernah porak poranda, dengan jalanan penuh puing dan tubuh tak bernyawa di mana-mana.

 

Banda Aceh hari ini, adalah jalan-jalan yang mulus beraspal beton dengan padatnya kendaraan berseliweran, yang menyumbang akan kemacetan kota.  Suatu hal langka lima tahun yang lalu.  Banda Aceh hari ini adalah kota yang menggeliat dan bangkit kembali dari perihnya hantaman gelombang di hari Ahad akhir tahun 2004..

 

Banda Aceh hari ini adalah kota dengan beragam jualan makanan dari seluruh pelosok negeri, bahkan pelosok dunia.  Banda Aceh hari ini adalah kota yang telah ditinggalkan oleh para expatriat dunia, setelah ikut membantu menata kehidupan masyarakatnya.  Banda Aceh hari ini adalah kota dengan penduduknya yang cenderung menjadi kapitalis.., menilai segala sesuatu dengan materi semata.

 

Banda Aceh kini bisa dinilai dari banyak sisi.  Setiap orang tentu saja boleh  punya pandangan berbeda.  Dan kalimat-kalimat di atas adalah sedikit dari apa yang saya rasakan hari ini akan kota kelahiran saya, kota tempat saya kembali kemanapun saya pergi.  

 

Suasana berbeda baru terasa kalau kita menyusuri lokasi yang dekat dengan pantai.  Di pantai Ulee Lheue misalnya.  Ini adalah lokasi pelabuhan laut baru yang dibangun pasca tsunami.  Sebelumnya, Ulee Lheue padat dengan rumah penduduk dan kehidupan khas nelayan. 

 

Kini semua tidak ada lagi.  Tidak ada izin membangun rumah kembali di bibir pantai ini.  Namun kalau Anda jeli melihat.., di antara bangunan pelabuhan baru, di antara restoran yang menjamur tumbuh di sana, terselip sisa tangga dari sebuah rumah, terselip keramik biru sisa kamar mandi dari rumah yang disapu gelombang kala itu. Suasana yang sama juga akan kita jumpai di desa-desa lain yang dekat dengan pantai.

 

Bagi Anda yang baru pertama berkunjung, melihat sisa tangga atau kamar mandi seperti itu mungkin tidak banyak artinya.  Tapi bagi saya yang lahir dan besar di kota ini, melihat semua itu membuat saya membayangkan kehidupan di sana sebelumnya.  Sentimentil sekali kah saya ?  Apa boleh buat. Itu memang tak terhindarkan.

 

Bagi saya pribadi menyusuri kota setiap saat adalah ibarat hidup di dua dunia, masa lalu dan masa kini.  Kemanapun saya pergi, selalu megingatkan saya akan keberrsamaan saya dan orang tua plus adik-adik di waktu dulu.  Tinggal sekota membuat kami punya banyak kesempatan untuk selalu bersama di berbagai kegiatan, dan hal inilah yang ternyata seringkali menarik saya ke masa lalu. 

 

Terkadang, saat memasuki rumah adik saya di Kp Mulia, terbayang kembali rumah masa lalu kami, rumah tempat kami selalu berkumpul di berbagai suasana.  Benar, di sanalah rumah orangtua saya berada, sebelum hempasan gelombang yang membuat rumah penuh cinta itu luluh lantak.  Kini di lokasi tersebut sudah berdiri rumah baru, rumah yang juga penuh cinta dari tiga bidadari pengisi kehidupan kami, ipar dan keponakan saya -generasi baru pasca tsunami.

 

Tidak mudah menguraikan rasa akan kota saya saat ini.  Di satu sisi, saya bangga akan penduduknya yang sudah bangkit dari kepedihan masa lalu, menata hidup kembali ke masa depan.  Di sisi lain, kadang saya bertanya.., sudah lupakan kita semua akan peristiwa pagi itu ?  Ketika beratus ribu nyawa terbang menghadap yang Kuasa, ketika harta benda tak ada lagi nilainya, ketika kiamat seakan begitu dekat.

 

Mereka yang tiada bukanlah sekedar angka yang sering dicatat saat membuat proposal, mereka bukanlah sekadar data statistik pengukur jumlah korban.  Mereka adalah jiwa dan kehidupan yang beredar di kota ini sebelumnya.  Mereka adalah orangtua, anak, adik, kakak, cucu, saudara, tetangga, atau teman bagi kita yang ditinggalkan.  Kepergian mereka sedikit tidaknya telah menjadikan apa dan siapa kita hari ini.  Diakui atau tidak kepergian mereka justru membawa berkah bagi sebagian dari kita.  Suatu kenyataan yang kadang teramat pahit untuk saya rasakan.

 

Diantara kepedihan akan kehilangan mereka yang tercinta, di antara jalan-jalan kota yang selalu saya lewati.., Insya Allah saya tak akan lupa, bahwa kehadiran mereka di masa lalu telah mengantarkan saya sampai ke hari ini.

 

 

Banda Aceh,26 Desember 2009