Kalau Anda berkunjung ke
Banda Aceh hari ini, adalah jalan-jalan yang mulus beraspal beton dengan padatnya kendaraan berseliweran, yang menyumbang akan kemacetan
Banda Aceh hari ini adalah kota dengan beragam jualan makanan dari seluruh pelosok negeri, bahkan pelosok dunia. Banda Aceh hari ini adalah kota yang telah ditinggalkan oleh para expatriat dunia, setelah ikut membantu menata kehidupan masyarakatnya. Banda Aceh hari ini adalah kota dengan penduduknya yang cenderung menjadi kapitalis.., menilai segala sesuatu dengan materi semata.
Banda Aceh kini bisa dinilai dari banyak sisi. Setiap orang tentu saja boleh punya pandangan berbeda. Dan kalimat-kalimat di atas adalah sedikit dari apa yang saya rasakan hari ini akan kota kelahiran saya, kota tempat saya kembali kemanapun saya pergi.
Suasana berbeda baru terasa kalau kita menyusuri lokasi yang dekat dengan pantai. Di pantai Ulee Lheue misalnya. Ini adalah lokasi pelabuhan laut baru yang dibangun pasca tsunami. Sebelumnya, Ulee Lheue padat dengan rumah penduduk dan kehidupan khas nelayan.
Kini semua tidak ada lagi. Tidak ada izin membangun rumah kembali di bibir pantai ini. Namun kalau Anda jeli melihat.., di antara bangunan pelabuhan baru, di antara restoran yang menjamur tumbuh di sana, terselip sisa tangga dari sebuah rumah, terselip keramik biru sisa kamar mandi dari rumah yang disapu gelombang kala itu. Suasana yang sama juga akan kita jumpai di desa-desa lain yang dekat dengan pantai.
Bagi Anda yang baru pertama berkunjung, melihat sisa tangga atau kamar mandi seperti itu mungkin tidak banyak artinya. Tapi bagi saya yang lahir dan besar di kota ini, melihat semua itu membuat saya membayangkan kehidupan di sana sebelumnya. Sentimentil sekali kah saya ? Apa boleh buat. Itu memang tak terhindarkan.
Bagi saya pribadi menyusuri kota setiap saat adalah ibarat hidup di dua dunia, masa lalu dan masa kini. Kemanapun saya pergi, selalu megingatkan saya akan keberrsamaan saya dan orang tua plus adik-adik di waktu dulu. Tinggal sekota membuat kami punya banyak kesempatan untuk selalu bersama di berbagai kegiatan, dan hal inilah yang ternyata seringkali menarik saya ke masa lalu.
Terkadang, saat memasuki rumah adik saya di Kp Mulia, terbayang kembali rumah masa lalu kami, rumah tempat kami selalu berkumpul di berbagai suasana. Benar, di sanalah rumah orangtua saya berada, sebelum hempasan gelombang yang membuat rumah penuh cinta itu luluh lantak. Kini di lokasi tersebut sudah berdiri rumah baru, rumah yang juga penuh cinta dari tiga bidadari pengisi kehidupan kami, ipar dan keponakan saya -generasi baru pasca tsunami.
Tidak mudah menguraikan rasa akan kota saya saat ini. Di satu sisi, saya bangga akan penduduknya yang sudah bangkit dari kepedihan masa lalu, menata hidup kembali ke masa depan. Di sisi lain, kadang saya bertanya.., sudah lupakan kita semua akan peristiwa pagi itu ? Ketika beratus ribu nyawa terbang menghadap yang Kuasa, ketika harta benda tak ada lagi nilainya, ketika kiamat seakan begitu dekat.
Mereka yang tiada bukanlah sekedar angka yang sering dicatat saat membuat proposal, mereka bukanlah sekadar data statistik pengukur jumlah korban. Mereka adalah jiwa dan kehidupan yang beredar di kota ini sebelumnya. Mereka adalah orangtua, anak, adik, kakak, cucu, saudara, tetangga, atau teman bagi kita yang ditinggalkan. Kepergian mereka sedikit tidaknya telah menjadikan apa dan siapa kita hari ini. Diakui atau tidak kepergian mereka justru membawa berkah bagi sebagian dari kita. Suatu kenyataan yang kadang teramat pahit untuk saya rasakan.
Diantara kepedihan akan kehilangan mereka yang tercinta, di antara jalan-jalan kota yang selalu saya lewati.., Insya Allah saya tak akan lupa, bahwa kehadiran mereka di masa lalu telah mengantarkan saya sampai ke hari ini.
Banda Aceh,26 Desember 2009