Thursday, November 13, 2014

Jemaah haji ‘luneg’: Jemaah haji Indonesia dari luar negeri.



Menjawab pertanyaan beberapa orang teman tentang rombongan haji yang saya ikuti dari Bangkok, berikut adalah sekilas info yang saya rangkum dari perjalanan kami.  Semoga bisa menjadi tambahan referensi Insya Allah.

Setelah menunggu selama 6 tahun (kami mendaftar haji pada tahun 2008), April lalu saya dan suami dikontak Bank Mandiri Banda Aceh untuk segera melunaskan ONH karena Insya Allah kami berdua dapat seat untuk melakukan haji tahun 2014 ini.   Berhubung saat ini suami based-nya di Bangkok, kami memutuskan untuk menunda keberangkatan dari Indonesia, dan memilih alternatif berangkat dari Thailand, bergabung dengan jemaah haji lainnya dari sini.

Seperti negara2 lainnya di dunia, setiap tahun Thailand juga mengirimkan sejumlah jemaah untuk menunaikan ibadah haji.  Keberangkatan jemaah haji di sini diurus oleh ‘travel agent’ tertentu yang memang sudah biasa menangani jemaah haji dan umrah.  Kita hanya perlu mendaftar, membayar dan melengkapi persyaratan. Selebihnya semua diurus oleh pihak agen. Mirip perjalanan haji dari Indoensia juga. Sebagai pemegang paspor Indonesia yang mempunya visa tinggal di Thailand, kami juga ‘eligible’ mendaftar untuk ikut menunaikan ibadah haji dengan memakai quota Thailand ini.
Alternatif lain adalah ikut mendaftar sebagai jemaah haji ‘luneg’, yaitu rombongan jemaah haji Indonesia di luar negeri.   Haji luneg ini dikelola oleh sebuah koperasi yang di komandoi oleh local staff di konjen RI Jeddah.  Umumnya jemaah haji luneg adalah diplomat Indonesia dari berbagai kedutaan atau konjen RI di berbagai negara dan/atau keluarganya. 

Jemaah haji luneg tidak mengambil quota haji Indonesia.  Sejauh ini tak ada antrian untuk mendaftar haji, kita bisa mendaftar pada tahun yang sama dengan tahun keberangkatan.  Koperasi haji luneg hanya mengatur jemaah haji sejak tiba di bandara Jeddah sampai mengantar kembali ke bandara Jeddah usai ibadah haji.   Urusan tiket pulang pergi ke Jeddah dari negara dimana kita berada plus visa haji harus diurus sendiri.  Jadi biaya haji yang kita setorkan ke koperasi tidak termasuk biaya tiket pesawat PP dan visa. 
Kami berdua memilih alternatif ke dua ini, bergabung dengan beberapa staf KBRI lain yang juga ikut jemaah haji luneg.  Jemaah haji luneg dari Bangkok rata2 adalah pemegang paspor diplomatik (paspor hitam), tapi ada juga pemegang paspor biru yang bertugas sebagai staf rumah tangga di Wisma KBRI.  Bahkan ada dua jemaah pemegang paspor hijau yang tinggal di Bangkok juga ikut bergabung.  Aturan siapa saja WNI yang boleh bergabung dengan haji luneg mungkin berbeda di setiap negara.

Tidak ada persiapan khusus menjelang keberangkatan.  Untuk manasik awalnya kami hanya belajar sendiri dari buku2 penuntun dan atau youtube.  Menjelang keberangkatan, Alhamdulillah diselenggarakan teori dan praktik manasik haji di KBRI.  Itu saja.  Sederhana namun sarat makna.
Tidak ada perlakuan istimewa bagi jemaah haji luneg, meskipun di antara jemaah ada beberapa dubes Indonesia dari beberapa Negara.   Semuanya dianggap sama. Jemaah haji luneg dari berbagai negara tiba dalam batas waktu yang sudah diberikan panitia.  Pihak panitia haji luneg menyambut kami di bandara Jeddah setelah melewati proses imigrasi yang cukup panjang.  Dari bandara kami dibawa naik bus menuju Mekah. 

Di Mekah kami ditempatkan di hotel sederhana (setara dengan hotel melati), bapak2 terpisah dari ibu2.  Kamar kami ditempati enam orang ibu2 yang kebetulan dari Bangkok semua.  Demikian juga Bapak2.  Di hotel inilah kami bertemu dengan jemaah haji luneg dari negara2 lain.  Beberapa anggota kelompok Bangkok bertemu dengan teman2 diplomat dari negara lain.  Jadinya seperti reuni gitu…
Hotel kami berjarak sekitar 800 meter dari Masjidil Haram, dengan lokasi yang cukup tinggi untuk didaki setiap saat.  Alhamdulillah jarak ini masih cukup dekat untuk berjalan kaki ke Masjidil Haram untuk shalat fardhu.  Saya bersyukur untuk ini, karena saya dengar pemondokan jemaah haji Indonesia reguler ditempatkan di pemondokan yang berjarak 2 sampai 7 km.  Sehingga harus bergantung pada bus shuttle yg jumlahnya terbatas dan taxi yang argonya tidak jelas untuk menuju dan pulang dari Masjidil Haram.  Bus dan taxi bahkan tidak berjalan lagi menjelang wukuf sampai selesainya hari2 tasyrik.

Urusan makan selama di sana di-handle sepenuhnya oelh panitia haji luneg.  Jangan membayangkan makanan mewah atau maknyus seperti di rumah, tapi saya tidak complain untuk urusan satu ini.  Kalau lagi pengen makan yg beda, banyak resto atau food court seputar masjidil haram yang menyediakannya.  Tinggal pilih aja. Harus bayar tentu saja.

Alhamdulillah untuk urusan transport selama ibadah haji juga cukup memuaskan. Untuk bus menuju Arafah, Musdalifah, Mina sampai ke Madinah dan kembali ke Jeddah,  kelompok haji luneg sudah disiapkan bus dengan nomor tetap.  Setiap bus berisi 25-40 jemaah (tergantung ukuran bus), dengan total ada 5 bus untuk semua jemaah haji luneg.  Masing2 bus ditemani oleh 1-2 pemandu (mutawif) yang merupakan mhs. Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mekah, Madinah atau Jeddah.  Kehadiran mereka sangat membantu kami dalam menjalankan ibadah terutama saat thawaf, sa’i dan melempar jumrah.

Saat wukuf tenda kami berdekatan dengan kelompok jemaah haji Indonesia lainnya (yg dari Indonesia) dalam maktab 116.  Kehadiran tim kesehatan yang selalu siaga juga sangat membantu.  Mungkin karena lelah dan kurang tidur, tekanan darah saya sempat naik cukup tinggi, Alhamdulillah dapat obat segera untuk menurunkannya.
Sebagian besar waktu kami dihabiskan di Mekah, yaitu sejak seminggu sebelum wukuf sampai usainya hari tasyrik (14 Zulhijjah).  Karena singkatnya waktu perjalanan haji, kami hanya 3 hari berada di Madinah. Otomatis, jemaah haji luneg tidak bisa melakukan ibadah sunnah shalat arba’in (shalat fardhu 40 waktu) di Masjid Nabawi. Beberapa ulama masih berselisih tentang keutamaaan shalat arba’in ini (salah satunya bisa dilihat di sini http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyorot-shalat-arbain-di-masjid-nabawi.html)

Waktu yang singkat ini, bagi saya tidak mengurangi nilai ibadah haji itu sendiri.  Justru karena waktu yang sempit ini mendorong kami berdua untuk setiap saat shalat fardhu di Masjidil Haram.  Sayang rasanya kalau hanya shalat di hotel sementara waktu perjalanan haji kami cukup singkat dibandingkan jemaah haji Indonesia regular dari Indonesia.   Untuk bisa dapat tempat di dalam masjid saat shalat shubuh, hampir setiap malam saya dan suami keluar hotel pukul 02.00 dinihari berjalan kaki menuju masjid, dan baru kembali ke hotel usai dhuha. Sekali waktu bahkan harus keluar lebih cepat demi bisa merasakan thawaf dekat ka’bah.  Itupun sudah pakai acara berdesak2an.   Masjidil Haram memang tak pernah sepi, jam berapapun kami ke sana.   Kadang saya harus skip salah satu waktu shalat fardhu, antara Dhuhur dan Ashar, karena tidak sanggup berjalan kembali ke Masjid saking panasnya cuaca yang mencapai 42 0C.  Kalau  kami Dhuhur di hotel, sorenya kami akan tinggal di Masjid sejak Ashar sampai Isya. 

Setiap malam paling saya hanya tidur 3-an jam di kamar hotel.  Saat di Mina..kondisi saya mulai ambruk.  Akhirnya flu dan batuk menghampiri juga.  Oleh2 yang terbawa sampai kini di Bangkok hehehe.

Alhamdulillah saya dan suami bisa menjalankan semua rukun dan wajib haji dengan baik, sesuai dengan yang disyaratkan.  Rasa syukur dan haru menghampiri saya sejak akan berangkat sampai kini sesudah tiba kembali di Bangkok.  Bagi saya pengalaman berhaji ini sungguh perjalanan ibadah yang tidak mudah, karena harus bertahan secara fisik dan emosi.  Kepasrahan diri pada Allah saya tanamkan sejak awal.  Niat saya hanya untuk ibadah sebaik2nya.  Hanya Allah yang Maha Tahu, dan biarlah Allah yang menilai ibadah kita apapun itu bentuknya.


Dengan segala kerendahan hati dan niat baik,

Bangkok, 16 Oktober 2014.  Lily.