Thursday, November 13, 2014

Jemaah haji ‘luneg’: Jemaah haji Indonesia dari luar negeri.



Menjawab pertanyaan beberapa orang teman tentang rombongan haji yang saya ikuti dari Bangkok, berikut adalah sekilas info yang saya rangkum dari perjalanan kami.  Semoga bisa menjadi tambahan referensi Insya Allah.

Setelah menunggu selama 6 tahun (kami mendaftar haji pada tahun 2008), April lalu saya dan suami dikontak Bank Mandiri Banda Aceh untuk segera melunaskan ONH karena Insya Allah kami berdua dapat seat untuk melakukan haji tahun 2014 ini.   Berhubung saat ini suami based-nya di Bangkok, kami memutuskan untuk menunda keberangkatan dari Indonesia, dan memilih alternatif berangkat dari Thailand, bergabung dengan jemaah haji lainnya dari sini.

Seperti negara2 lainnya di dunia, setiap tahun Thailand juga mengirimkan sejumlah jemaah untuk menunaikan ibadah haji.  Keberangkatan jemaah haji di sini diurus oleh ‘travel agent’ tertentu yang memang sudah biasa menangani jemaah haji dan umrah.  Kita hanya perlu mendaftar, membayar dan melengkapi persyaratan. Selebihnya semua diurus oleh pihak agen. Mirip perjalanan haji dari Indoensia juga. Sebagai pemegang paspor Indonesia yang mempunya visa tinggal di Thailand, kami juga ‘eligible’ mendaftar untuk ikut menunaikan ibadah haji dengan memakai quota Thailand ini.
Alternatif lain adalah ikut mendaftar sebagai jemaah haji ‘luneg’, yaitu rombongan jemaah haji Indonesia di luar negeri.   Haji luneg ini dikelola oleh sebuah koperasi yang di komandoi oleh local staff di konjen RI Jeddah.  Umumnya jemaah haji luneg adalah diplomat Indonesia dari berbagai kedutaan atau konjen RI di berbagai negara dan/atau keluarganya. 

Jemaah haji luneg tidak mengambil quota haji Indonesia.  Sejauh ini tak ada antrian untuk mendaftar haji, kita bisa mendaftar pada tahun yang sama dengan tahun keberangkatan.  Koperasi haji luneg hanya mengatur jemaah haji sejak tiba di bandara Jeddah sampai mengantar kembali ke bandara Jeddah usai ibadah haji.   Urusan tiket pulang pergi ke Jeddah dari negara dimana kita berada plus visa haji harus diurus sendiri.  Jadi biaya haji yang kita setorkan ke koperasi tidak termasuk biaya tiket pesawat PP dan visa. 
Kami berdua memilih alternatif ke dua ini, bergabung dengan beberapa staf KBRI lain yang juga ikut jemaah haji luneg.  Jemaah haji luneg dari Bangkok rata2 adalah pemegang paspor diplomatik (paspor hitam), tapi ada juga pemegang paspor biru yang bertugas sebagai staf rumah tangga di Wisma KBRI.  Bahkan ada dua jemaah pemegang paspor hijau yang tinggal di Bangkok juga ikut bergabung.  Aturan siapa saja WNI yang boleh bergabung dengan haji luneg mungkin berbeda di setiap negara.

Tidak ada persiapan khusus menjelang keberangkatan.  Untuk manasik awalnya kami hanya belajar sendiri dari buku2 penuntun dan atau youtube.  Menjelang keberangkatan, Alhamdulillah diselenggarakan teori dan praktik manasik haji di KBRI.  Itu saja.  Sederhana namun sarat makna.
Tidak ada perlakuan istimewa bagi jemaah haji luneg, meskipun di antara jemaah ada beberapa dubes Indonesia dari beberapa Negara.   Semuanya dianggap sama. Jemaah haji luneg dari berbagai negara tiba dalam batas waktu yang sudah diberikan panitia.  Pihak panitia haji luneg menyambut kami di bandara Jeddah setelah melewati proses imigrasi yang cukup panjang.  Dari bandara kami dibawa naik bus menuju Mekah. 

Di Mekah kami ditempatkan di hotel sederhana (setara dengan hotel melati), bapak2 terpisah dari ibu2.  Kamar kami ditempati enam orang ibu2 yang kebetulan dari Bangkok semua.  Demikian juga Bapak2.  Di hotel inilah kami bertemu dengan jemaah haji luneg dari negara2 lain.  Beberapa anggota kelompok Bangkok bertemu dengan teman2 diplomat dari negara lain.  Jadinya seperti reuni gitu…
Hotel kami berjarak sekitar 800 meter dari Masjidil Haram, dengan lokasi yang cukup tinggi untuk didaki setiap saat.  Alhamdulillah jarak ini masih cukup dekat untuk berjalan kaki ke Masjidil Haram untuk shalat fardhu.  Saya bersyukur untuk ini, karena saya dengar pemondokan jemaah haji Indonesia reguler ditempatkan di pemondokan yang berjarak 2 sampai 7 km.  Sehingga harus bergantung pada bus shuttle yg jumlahnya terbatas dan taxi yang argonya tidak jelas untuk menuju dan pulang dari Masjidil Haram.  Bus dan taxi bahkan tidak berjalan lagi menjelang wukuf sampai selesainya hari2 tasyrik.

Urusan makan selama di sana di-handle sepenuhnya oelh panitia haji luneg.  Jangan membayangkan makanan mewah atau maknyus seperti di rumah, tapi saya tidak complain untuk urusan satu ini.  Kalau lagi pengen makan yg beda, banyak resto atau food court seputar masjidil haram yang menyediakannya.  Tinggal pilih aja. Harus bayar tentu saja.

Alhamdulillah untuk urusan transport selama ibadah haji juga cukup memuaskan. Untuk bus menuju Arafah, Musdalifah, Mina sampai ke Madinah dan kembali ke Jeddah,  kelompok haji luneg sudah disiapkan bus dengan nomor tetap.  Setiap bus berisi 25-40 jemaah (tergantung ukuran bus), dengan total ada 5 bus untuk semua jemaah haji luneg.  Masing2 bus ditemani oleh 1-2 pemandu (mutawif) yang merupakan mhs. Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mekah, Madinah atau Jeddah.  Kehadiran mereka sangat membantu kami dalam menjalankan ibadah terutama saat thawaf, sa’i dan melempar jumrah.

Saat wukuf tenda kami berdekatan dengan kelompok jemaah haji Indonesia lainnya (yg dari Indonesia) dalam maktab 116.  Kehadiran tim kesehatan yang selalu siaga juga sangat membantu.  Mungkin karena lelah dan kurang tidur, tekanan darah saya sempat naik cukup tinggi, Alhamdulillah dapat obat segera untuk menurunkannya.
Sebagian besar waktu kami dihabiskan di Mekah, yaitu sejak seminggu sebelum wukuf sampai usainya hari tasyrik (14 Zulhijjah).  Karena singkatnya waktu perjalanan haji, kami hanya 3 hari berada di Madinah. Otomatis, jemaah haji luneg tidak bisa melakukan ibadah sunnah shalat arba’in (shalat fardhu 40 waktu) di Masjid Nabawi. Beberapa ulama masih berselisih tentang keutamaaan shalat arba’in ini (salah satunya bisa dilihat di sini http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyorot-shalat-arbain-di-masjid-nabawi.html)

Waktu yang singkat ini, bagi saya tidak mengurangi nilai ibadah haji itu sendiri.  Justru karena waktu yang sempit ini mendorong kami berdua untuk setiap saat shalat fardhu di Masjidil Haram.  Sayang rasanya kalau hanya shalat di hotel sementara waktu perjalanan haji kami cukup singkat dibandingkan jemaah haji Indonesia regular dari Indonesia.   Untuk bisa dapat tempat di dalam masjid saat shalat shubuh, hampir setiap malam saya dan suami keluar hotel pukul 02.00 dinihari berjalan kaki menuju masjid, dan baru kembali ke hotel usai dhuha. Sekali waktu bahkan harus keluar lebih cepat demi bisa merasakan thawaf dekat ka’bah.  Itupun sudah pakai acara berdesak2an.   Masjidil Haram memang tak pernah sepi, jam berapapun kami ke sana.   Kadang saya harus skip salah satu waktu shalat fardhu, antara Dhuhur dan Ashar, karena tidak sanggup berjalan kembali ke Masjid saking panasnya cuaca yang mencapai 42 0C.  Kalau  kami Dhuhur di hotel, sorenya kami akan tinggal di Masjid sejak Ashar sampai Isya. 

Setiap malam paling saya hanya tidur 3-an jam di kamar hotel.  Saat di Mina..kondisi saya mulai ambruk.  Akhirnya flu dan batuk menghampiri juga.  Oleh2 yang terbawa sampai kini di Bangkok hehehe.

Alhamdulillah saya dan suami bisa menjalankan semua rukun dan wajib haji dengan baik, sesuai dengan yang disyaratkan.  Rasa syukur dan haru menghampiri saya sejak akan berangkat sampai kini sesudah tiba kembali di Bangkok.  Bagi saya pengalaman berhaji ini sungguh perjalanan ibadah yang tidak mudah, karena harus bertahan secara fisik dan emosi.  Kepasrahan diri pada Allah saya tanamkan sejak awal.  Niat saya hanya untuk ibadah sebaik2nya.  Hanya Allah yang Maha Tahu, dan biarlah Allah yang menilai ibadah kita apapun itu bentuknya.


Dengan segala kerendahan hati dan niat baik,

Bangkok, 16 Oktober 2014.  Lily.

Tuesday, July 22, 2014

Sie Balu – Daging asin ala Aceh


Ramadhan telah memasuki hari ke-23.  Cepat sekali rasanya waktu berlalu.  Alhamdulillah tahun ini kami bisa berkumpul lengkap sekeluarga.  Lima sekawan menjalani kegiatan beribadah hari-hari di bulan suci ini bersama-sama di Bangkok.  Melihat ke-tiga anak2 kami berkumpul dan bercerita sesama mereka saat di rumah atau sepanjang jalan saat pergi-pulang tarawih mengingatkan saya akan masa2 saya seusia mereka.  Saat2 ketika kami empat bersaudara masih berkumpul dengan alm. Bapak-Ibu.  Kenangan indah yang senantiasa menetap di hati, dan muncul dengan pekat terutama saat bulan Ramadhan seperti sekarang.

Anyway, itu hanya pembuka.  Ada hal lain yang ingin saya ceritakan di sini.  Sejak kecil saya terbiasa melihat kegiatan rutin orangtua saya menjelang Ramadhan.  Sekitar seminggu sebelumnya, Bapak biasanya telah berkeliling kebun di halaman samping rumah kami, mencari ranting bagus untuk dibersihkan dan diraut dengan halus.  Ranting kayu dipotong sekitar 50-75 cm dengan diameter kira2 1.5 cm.  Ranting kayu yang sudah bersih dan halus ini dibuat runcing di salah satu ujungnya, lalu dijemur oleh Bapak selama beberapa hari.

Tiga-empat hari sebelum puasa, Bapak mengantar Ibu ke pasar daging untuk membeli daging sapi.  Tak banyak yang dibeli Ibu, biasanya hanya 1 kg saja daging bagian paha yang bagus dan tanpa gapah (lemak).  Setiba di rumah, daging dipotong2 oleh Ibu kira2 selebar telapak tangan dengan ketebalan 2 cm.  Potongan daging ini kemudian akan diberi garam secara merata dan disimpan dalam wadah tertutup selama beberapa jam.

Kemudian Bapak akan menyambung kegiatan ini.  Potongan daging ditusukkan pada ranting kayu di atas, dan dijejerkan 5-7 potong per ranting.  Pada ke dua ujung ranting akan di ikat dengan tali rafia.  Daging siap di jemur dan digantungkan di kawat jemur khusus di bawah sinar matahari dan dijauhkan dari hujan.  Kalau cuaca cukup cerah tanpa hujan, 3-4 hari biasanya daging sudah mengering dan siap dimakan setelah diolah terlebih dahulu.  Pekerjaan ini akan diulangi Ibu sehari menjelang Ramadhan atau dikenal dengan hari ‘meugang’, hari ketika daging sapi di jual massal di pasar dan tempat2 tertentu dan menjadi menu utama hampir di  setiap keluarga di Aceh.

Daging asin ini dikenal dengan nama Sie Balu. Seingat saya sejak kecil saya sudah memperhatikan bahwa sie balu ini hanya tersedia sebagai lauk di keluarga saya di bulan Ramadhan saja.  Sie balu terutama dimakan saat sahur. Sepanjang bulan Ramadhan sie balu ini digantung ibu di dapur tak jauh dari kompor dan di potong langsung dari kayu gantungannya.  Sie balu yang sudah kering dan mengeras ini dipotong kecil2 sebesar jari kelingking dan kadang direndam air sejenak agar sedikit lembut sebelum digoreng singkat dalam minyak panas.
Menurut cerita Bapak,  zaman perang dulu sie balu merupakan makanan mewah bagi bagi gerilyawan yang bersembunyi di gunung2.

Itu kisah saya di masa lalu.  Kembali ke masa kini, ternyata cerita sie balu berlanjut dalam keluarga saya. Sie balu menjadi andalan suami untuk memancing nafsu makannya di saat sahur. Untuk menambah rasa, terkadang saya merendamnya sejenak dalam air jeruk sebelum digoreng.  Ramadhan kali ini saya melihat si tengah saya juga mulai ketularan makan sie balu saat sahur.

Hanya saja rutinitas menyiapkan sie balu sejak dari mencari ranting kayu untuk gantungannya sudah tidak ada lagi.  Saya kini dibuat manja dengan sie balu siap olah yang bisa dibeli di toko langganan  Alhamdulillah dengan ketersediaan sie balu siap oleh seperti sekarang memudahkan saya membawanya kemana2 saat tidak berpuasa di kampung halaman.  So, mau Ramadhan di Leeds atau di Bangkok, sie balu ini tetap ikut menjadi bagian dari menu saat sahur.  Alhamdulillah selama beberapa tahun sie balu yang sudah dikemas rapi dalam kotak dengan label jelas selalu lolos melewati bandara masuk ke UK, baik Headrow ataupun Manchester. 

Begitulah, berjalan boleh kemana saja.  Makanan halal pun tetap bisa ditemukan di belahan bumi manapun kami berada.  Alhamdulillah kami sekeluarga juga bisa menyesuaikan diri dengan makanan lokal pada saat2 jauh dari kampung halaman (selama tersedia sambel, pasti semua enak disantap hehehe).  Tapi ‘rasa’ yang terbawa dari rumah sejak kecil akan tetap melekat di lidah kemanapun kami sekeluarga berada.

Saya pasti tidak sendiri. Saya percaya hal yang sama juga dirasakan oleh banyak teman yang kini hidup jauh dari tanah air.  Ayo, mari berbagi cerita tentang makanan unik dalam setiap keluarga….





Phitsanulok, Thailand, 21 Juli 2014


Wednesday, December 7, 2011

Ayo nulis lagi...!!

Sudah lama tak menulis,kadang kangen bisa punya waktu banyak untuk menulis seperti dulu2.  Tapi mau gimana lagi., student umur begini...    Dikejar deadline terus..  Yang meeting ama supervisor lah, yang kerja di lab lah, dll. Mungkin memang harus disempatkan ya...  ?  Mudah2an..  

Tuesday, April 12, 2011

Dari bandara ke bandara...

‘Bandara memang tempat romantis untuk bertemu ya..’?   Seorang teman pernah berkomentar  atas status saya di FB.  Sebenarnya kalimat ini bukan baru pertama kali saya dengar.  Sebelumnya..beberapa orang teman juga pernah membagi cerita tentang perjumpaan mereka di bandara dengan sang pujaan hati pendamping hidup.  Tapi kali ini.., saya tercenung.  Bandara memang mempunyai arti tersendiri bagi saya, bukan mengandung arti romantis bertemu belahan jiwa, tapi lebih kepada perjalanan keluarga kami selama 21 tahun terakhir.  Ya.., bandara seperti menyimpan cerita suka duka,  simpang siur pertemuan dan perpisahan dalam keluarga.

Kalau ditarik lebih ke belakang lagi, sentuhan saya dengan bandara (Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh) mulai terjadi pada tahun 1982, saat saya diantar oleh keluarga untuk memulai perjalanan pertama saya dalam hidup merantau.  Sejak itu bandara seperti menjadi bagian dalam kehidupan saya terutama setelah menikah dan punya tiga orang anak.

Saya ingat kalau ada peristiwa paling membuat saya sangat sedih di bandara, itu adalah saat saya berangkat ke Kanada akhir 1991.  Saat itu K lila baru berusia setahun lebih sedikit.  Untuk sementara saya harus meninggalkan dia bersama ortu dan adik2 saya.  Pesawat yang saya tumpangi berangkat pagi2 sekali, k lila masih tidur saat saya meninggalkan rumah.  Saya memaksa Ibu (alm) untuk tidak ikut ke bandara, biarlah saya diantar Bapak dan adik2 saja.  Saya berusaha sekuat tenaga menahan air mata sejak meninggalkan rumah sampai menjelang naik pesawat.  Saya tidak ingin yang lain ikut sedih karena kesedihan saya.  Tapi begitu duduk dalam pesawat pertahanan saya bobol.., air mata mengalir begitu deras di balik jendela.  Mirip cerita sinetron kali ya..?

Kehadiran anak2 dalam keluarga kami membuat saya dan si abang berpikir ulang acara mengantar ke bandara.  Saat mereka masih kecil2, mereka selalu sedih seharian usai mengantar Ayah-nya atau saya untuk bepergian. Karena itu kami memutuskan, anak2 tidak perlu ikut mengantar ke bandara..kalau salah satu dari kami yang berangkat. Tapi mereka selalu welcome saat menjemput kami pulang.  Dengan begini suasana sedih di bandara jadi berkurang..

Cerita menyenangkan tentu saja juga banyak terjadi di bandara.  Bertemu kembali dengan suami setelah bepergian jauh dan lama… adalah peristiwa yang membahagiakan.  Saat meilihat si abang melangkah menuju tempat saya menunggu, terasa terbang semua rasa rindu yang begitu menggebu sebelumnya.

Masih lekat dalam ingatan saya satu peristiwa membahagikan di bandara.  Saat itu April 1992, saya pulang ke Banda Aceh menjemput k Lila untuk bergabung bersama saya dan ayahnya.  Dari jauh saya sudah melihat k lila (saat itu usianya 2 tahun kurang) di gendong Bundacut-nya (alm) plus beberapa kelurga lain yg ikut menjemput saya.  Saat mata k lila menangkap saya, dia langsung berteriak: ‘Bunda…!!!’   saya tak dapat menahan tawa gembira.., Alhamdulillah k lila masih ingat sama saya.  Sebelum berangkat saya mewanti2 adik2..untuk setiap hari menunjukkan foto saya pada k lila, dengan harapan dia ingat wajah saya saat bertemu.   Saya juga rajin bercerita lewat telpon dengan k lila, meskipun mungkin dia tidak mengerti artinya saat itu.  Belakangan saya baru tahu, seorang tante saya yang ikut menjemput memang menunggu momen pertemuan  saya dan k lila.  Bersama adik2 saya, mereka bertaruh kecil2an..apakah k lila masih kenal dengan bundanya !   Walah…mereka kalah tuh.

Bandara juga menyimpan pertemuan terakhir saya dengan orang tua dan adik2 saya tahun 2004.  Saat itu kami akan berangkat ke Leeds UK. Saya sekel hanya diantar Bapak dan adik laki2 saya  (alm), sedangkan Ibu ikut bersama kami sampai ke KL untuk bertemu dengan adik perempuan saya di sana.  Saat melepas saya di bandara, Adi (adik bungsu) memberikan sebuah bingkisan untuk saya sambil berkata..’ini untuk c kak sekel, untuk obat rindu kalau teringat kami’.  Saat tiba di leeds, saya buka bingkisannya..sebuah bingkai foto yang berisi potongan foto kel besar kami..dalam berbagai acara, semuanya diatur Adi sendiri ..yang selalu membuat saya tersenyum melihatnya sampai sekarang, sesudah..sebagian besar anggota kel di foto tsb pergi menghadap-Nya.  Benar2 obat rindu..pada mereka !!

Cerita bersambung sampai di bandara Penang.  Adik saya, Susy, dan beberapa orang temannya sudah menunggu kami sekaligus menjemput Ibu.  Saat berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, Susy bertanya: ‘Cut kak gak pulang2 nih sampai Bg Adi selesai ?’  Saat itu saya menjawab: ‘Kalau itu untuk Susy , Cut kak akan pulang tentu saja’.   Siapa yang bisa menduga..bahwa 8 bulan kemudian saya pulang dengan hati sarat duka ?

Bandara (tepatnya Polonia Medan) juga menjadi saksi bagaimana hancurnya hati saya saat mendarat akhir Desember 2004 ketika saya pulang sendiri menyusul musibah yang menimpa keluarga besar kami.  Saya harus menunggu hampir 12 jam dalam suasana penuh duka di Polonia sebelum akhirnya dapat seat untuk terbang ke Banda Aceh menjelang tengah malam.

Kini, setelah anak-anak saya besar dan mulai meninggalkan rumah, persentuhan kami dengan bandara semakin meningkat frekwensinya. Anak-anak saya jadi terbiasa hilir mudik di bandara dimana saja. Walaupun demikian saya dan Ayahnya tetap mengontrol dan memberi instruksi dari jauh.  Kadang ada hal mendebarkan juga.  Ketika pulang liburan April 2010 lalu, si sulung k lila hampir saja batal terbang.  Dia terlambat tiba di LCCT Kuala Lumpur, check in counter sudah tutup.  Setelah sedikit merayu dan cerita memelas karena alasan paspor yang telat diurus oleh International Office kampusnya, akhirnya k lila diizinkan masuk pesawat yang sudah siap terbang.

K lila kemudian mengirim sms untuk saya: ‘I managed to get it.  I am boarding now, but I was late, will arrive in Bna 12.20’.  Saya di Leeds dan Ayahnya di Banda Aceh menarik napas lega, karena tidak harus membeli tiket lain untuk k lila (heheheeh).

Peristiwa lebih mendebarkan sebenarnya terjadi awal Jan 2010, saat k Lila pulang liburan dr KL ke Banda Aceh melalui Medan.  Dari Medan dia naik pesawat Lion jam terakhir sekitar pukul 7-an malam.  Tapi sampai 2 jam kemudian pesawat belum take off.  K lila mengirim sms: ‘It’s raining very hard in Polonia, the flight is delayed’.  Pesawat berangkat juga akhirnya, tiba di Bandara SIM sekitar 22.30, belum mendarat tapi kami sudah bisa melihat pesawat mulai turun.  Namun hujan yg juga sedang turun dengan derasnya di  bandara ternyata membuat pilotnya membatalkan pendaratan.  Pesawat kembali berbalik arah menuju Medan.  Aduh…!!  Kebayang kan gimana perasaan saya dan Ayahnya yg menjemputnya di bawah hujan.  Singkat cerita k lila akhirnya baru tiba di banda Aceh, esok harinya..pagi2 sekali.  Semalaman kami di rumah tidak bisa tidur mengingat bagaimana keadaan k lila di bandara Polonia (ternyata semua penumpang diantar ke hotel untuk istirahat..Alhamdulillah).

Pengalaman beredar seputar bandara kini sudah merambah pada si bungsu Ilman.  Bulai Mei 2010 dia harus terbang sendiri dari Banda Aceh ke Jakarta untuk mengurus visa.  Ayahnya yang sudah terlebih dahulu di Jakarta, meminta seorang kenalan baik kami untuk melepas Ilman pada pihak garuda di bandara.   Kegundahan saya karena dia harus terbang sendiri ternyata berbuah pengalaman manis untuk Ilman.  Dia sempat diajak masuk ke cockpit plus dipindahkan ke business class menjelang mendarat.  Saat bertemu Ayahnya  yg menjemput di cengkareng, dengan penuh antusias Ilman bercerita pengalaman pertamanya  terbang sendiri.  Alhamdulillah.

Si tengah Irham, juga tak kalah serunya untuk urusan singah-menyinggah di bandara.  Baru  setahun lebih dia terbang sendiri untuk pertama kalinya ke Singapore.  Kini  bandara Changi sudah menjadi bagian dari mondar-mandirnya Irham saat pulang liburan. Terkadang dia rada kesal juga, aturan airline Singapore mengharuskan anak2 di bawah 16 tahun untuk mengisi form UM (Unaccompanied Minority) kalau mau terbang sendiri.  Itu artinya Irham dikawal terus kemana-mana sejak di bandara.  Dia komplain:  ‘I can’t believe it.  They even follow me to the toilet !’ .  Walaupun demikian, Changi tetap bandara yang paling nyaman menurut Irham.  Tak jarang saat mendarat di Changi usai liburan dia ‘hang out’ dulu sampai satu jam di bandara.

Ya…, bandara memang mencatat suka duka mereka yang pulang dan mereka yang akan pergi.  Berangkat ke bandara untuk menjemput yang tercinta tentu saja menimbulkan kegembiraan  tersendiri di hati.  Dengan perasaan itu pulalah saya berangkat ke Stansted airport London Juni 2010 lalu.  Gembira akan bertemu suami dan si bungsu setelah hampir 4 bulan menahan rindu.  Sampai di sana , saya masih harus bersabar hampir 2 jam menunggu mereka antri di imigrasi.  But after all…pertemuan di bandara memang selalu bikin hati gembira..meskipun tidak selalu harus romantis..hehehehe

Bandara LCCT Kuala Lumpur kini juga menjadi bagian dari mondar-mandirnya kel kami.  Soalnya dari bandara inilah pesawat Air Asia terbang kemana saja.  Desember lalu Si Abang terbang dr Banda Aceh dan si tengah Irham terbang dr Singapore menuju LCCT.  Mereka berdua kemudian terbang ke Stansted London untuk menghabiskan liburan akhir tahun di Leeds bersama saya dan si bungsu Ilman.  Liburan usai mereka berdua kembali terbang menuju LCCT KL.  Kali ini si sulung K Lila yg tinggal di Bangi menyempatkan diri menemui Ayah dan adiknya sambil menjemput oleh2 dari Leeds.  Jadilah mereka bertiga ber-reuni singkat sambil sarapan pagi.  Menjelang siang mereka bubaran, K lila kembali ke asrama-nya di Uniten, Irham terbang ke Changi Singapore, dan si Abang terbang ke Medan sebelum terbang kembali ke Banda Aceh.  Saat ini.., kami sedang berada di pos masing-masing.., sampai perjalanan berikutnya …   

Mungkin  ada yang komentar…’cape deh..ngelihat jadwal perjalanan yg simpang siur begitu’.  Heheheeh..gpp, saya sudah sering dengar kalimat itu sebelumnya.

 So, what is your story ?

 

Leeds, awal February 2011

Tuesday, April 5, 2011

Nettle si Penyengat

Sampai menjelang tidur  malam tadi lutut kiri saya masih terasa panas berdenyut seperti di sengat serangga.  Rasanya sangat tidak nyaman.  Alhamdulillah pagi ini sudah enakan, meskipun kalau tersentuh tangan masih terasa nyut--nyut.  Apa penyebabnya? Kemarin  sore saya tersengat tanaman nettle di salah satu taman kampus.

Cuaca yg cerah seharian kemarin menarik saya untuk berjalan seputar kampus sambil cuci mata melihat bunga daffodil yg mulai bermekaran.  Tujuan utama saya adalah St. George Field, taman yg melintasi  kampus yang sering saya lewati tahun lalu.

Hamparan bunga daffodil kuning di taman ini sungguh memikat, mengalihkan mata dan pikiran sejenak dari  layar computer yang terkadang sangat melelahkan. 

Saya mencoba berlutut di tanah saat mencari posisi bagus untuk memotret bunga daffodil.  Saat itulah baru terlihat oleh saya tunas-tunas tanaman nettle yg baru bermunculan di permukaan tanah.  Dalam hitungan detik sy harus mengambil keputusan.  Bangkit segera  dari posisi akan berlutut dengan resiko bisa terjerembab ke belakang (dan justru ‘memberikan’ permukaaan tubuh lebih luas ke hamparan nettle) atau tetap dengan rencana awal, berlutut  yg berarti ‘menyerah’ kan bagian kaki saya di sengat nettle.

Insting dan logika refleks mengarahkan saya untuk tetap berlutut.  Sesaat saya tidak merasakan apa2.., syukurlah berarti  duri2 halus di permukaan batang dan daun nettle tidak menembus celana jeans saya.   Ternyata saya salah.., saat akan bangkit kembali saya meyadari rasa panas seperti disengat tawon di lutut kiri yg datang berulang sampai tadi malam. 

Seperti apakah tanaman nettle itu ?  Mungkin ada baiknya teman2 terutama yg punya anak balita mengenal tanaman ini, agar tak terjebak dalam rumpun nettle yang sengatannya bisa menembus pakaian.

Dalam bahasa inggris, tanaman ini dikenal dengan nama ‘stinging nettle’ atau ‘common nettle’ dengan nama latin Urtica dioica.  Tanaman perdu yang tumbuh berumpun ini mulai bermunculan di lahan yg banyak terkena sinar matahari pada awal musim semi.  Kebanyakan tanaman nettle yang saya jumpai  kemarin sore baru mempunyai beberapa daun yang muncul dr permukaan tanah.  Makanya gampang terlewatkan oleh mereka yg tidak mengenalnya dengan baik.

Saat summer  rumpun nettle bisa mencapai ketinggian sekitar 50-an cm, dengan bunga kehijauan bertumpuk kecil2.  Sebenarnya tidak sulit mengenal nettle kalau sudah tumbuh tinggi.  Pada batang, cabang, dan daunnya  banyak tumbuh rambut2  yg disebut ‘trichomes’, yg bisa terlihat jelas kl kita mendekat.  Trichome ini bisa berfungsi seperti jarum yg ‘menyuntik’ kulit manusia atau hewan yg menyentuhnya sambil mengalirkan bahan kimia yg menimbulkan rasa menyengat pada  kulit.  Rasa panas menyengat ini tak mudah hilang.  Sengatan pada anak2 kadang bisa membuat tubuh demam, terutama bila bagian tubuh yg terkena itu tidak hanya satu bagian. 

Terlepas dari sengatannya yg bikin gatal dan panas di kulit, tumbuhan satu ini juga banyak gunanya.  Menurut wikipedia..nettle juga sering digunakan sebagai tanaman obat.  Selain itu nettle juga bisa dijadikan the untuk diminum.  Saat ini sudah banyak dijual teh nettle dalam kemasan seperti  teh lainnya.  Nettle juga bisa bisa dijadikan sebagai pupuk karena mengandung unsur  hara yg tinggi.

Si bungsu saya, Ilman, sangat mengenal tanaman satu ini.  Dialah yg dulu mengenalkan saya pada  nettle ini.  Mungkin Ilman nggak akan lupa rasanya disengat nettle saat summer pertamanya di Leeds tahun 2004 lalu.  Saat itu dia masih kelas  1 di Blenheim primary School dan sedang bermain bola  pada jam olahraga di halaman sekolahnya.  Tanpa sengaja dia terjatuh dan kedua pahanya yg telanjang (ilman pki celana pendek) menjadi ‘santapan’ trichome nettle  yg banyak tumbuh di sana.

Sang guru yg tahu betul apa akibatnya bagi Ilman segera membawa Ilman ke kamar mandi dan berusaha membasuh pahanya di bawah keran dengan air yg mengalir kencang.  Saat saya menjemput Ilman, gurunya  meminta maaf atas kejadian ini, dan memberitahu saya  bisa jadi Ilman akan demam malamnya karena sengatan yg diterima Ilman lumayan banyak.

Paha Ilman memang memerah..dan sepanjang malam dia tidak bisa tidur akibat rasa panas yang sangat  mengganggu.  Saya lupa kapan persisnya dia sembuh.  Yang jelas sejak itu dia sangat kenal dengan nettle si penyengat.

Selain nettle ada tanaman mirip yg disebut dengan ‘white dead nettle’ (Labium album) kalau bunganya putih atau ‘red dead nettle’  (Lamium purpureum) kl bunga berwarna merah keunguan  Sekilas ke dua species tanaman ini mirip sekali dengan ‘stinging nettle’, tapi kalau kita mendekat akan terlihat kalau daun dan batangnya tidak ditumbuhi rambut penyengat alias trichome.  Jadi dead nettle aman kalau disentuh.

Mudah2an pengalaman saya dan Ilman ada manfaatnya..dan teman2 bisa menghindarkan diri atau si buah hati dari sentuhan nettle si penyengat.

(catatan: beberapa gambar yg saya sertakan di sini saya copy dari Wikipedia..)

Leeds, 22 maret 201

Thursday, January 6, 2011

Catatan Desember

Desember.   Hari ini enam tahun lalu.  Allah menguji  teramat berat.  Dengan kehilangan mereka yang teramat dekat.

Sampai hari ini  tak pernah lupa. Wajah mereka masih saja terbayang di pelupuk mata.  Suara mereka masih terngiang di telinga.  Ya..mereka masih tetap ‘hidup’ di hati saya.

 

Sudah lama saya mengikhlaskan semuanya.  Meski satu tanya selalu meronta di hati.  Dimanakah kubur Ayah dan Bunda?

Hari ini saya sengaja mengenang kembali . Membiarkan air mata menetes  membasahi meja.  Bukan karena memelihara duka.  Bukan pula ingin  menimbun lara.  Tapi karena rindu dan cinta.  Untuk mereka yang tak pernah sirna.

Hidup memang terus berjalan.  Pesan Ayahanda Insya Allah tak terlupakan. ‘ Tetap lah semangat menghadapi tantangan.   Tidak menyerah menghadapi rintangan.  Tambahkan doa untuk semua usaha.  Serahkan semua pada Allah semata’.

Hari ini.  Seperti juga hari kemarin.  Tak putus doa untuk semua.   Untuk mereka yang telah tiada.  Semoga Allah mengampunkan dosa.   Memberikan tempat yg layak bagi mereka.  Sebagai syuhada pengisi surga.  Amin.

 

Terkenang selalu

Mereka yang senantiasa menerbitkan rindu

Ayahanda H. Teuku Harun Al Rasyid

Ibunda H. Djauharah Ahmad

Adinda Suzanna Rabfianni

Adinda Iskandar Agus Harsadi

Adinda Lisa Amanatillah

Ananda Izzan dan Rizqy

Ibunda Saidah Raden

Adinda Rahila Yusuf

Ananda Jihan, dek Gam, dan Oja

 

(Leeds, 26 Desember 2010) 

Doa saya juga untuk semua kerabat, teman, tetangga..yg telah mendahului kami di pagi ahad 6 tahun lalu. 

Lily

Monday, November 29, 2010

Sup Jagung Telur...

Suami saya suka memasak.  Ini bukan hal baru.  Saya tidak tahu pasti sejak kapan.  Yang jelas si Abang tercinta ini tidak keberatan memasak di sela waktu luangnya, atau saat saya tidak di rumah, atau saat anak2 memang meminta Ayah-nya memasak. 

 

Masakan si Abang bukan yang ribet2, sederhana..  Mungkin karena diolah dengan rasa cinta,  saya dan anak2 selalu menyukai apapun masakannya.

Seperti sudah ada aturannya, biasanya saya dan si Abang tidak memasak masakan yang sama.  Masakan2 tertentu di dalam keluarga memang ‘terikat’ dengan si Abang, jadi rasanya adalah rasa’masakan Ayah’.  Anak2 akan meminta Ayah-nya yang masak kalau ingin makan ‘sup jagung telur’ , misalnya.

Itulah yg terjadi tadi sore menjelang makan malam tadi.  Di luar sudah gelap gulita meski baru jam 5.15 pm saat saya tiba di apartmen kami.  Ilman yang pulang satu jam lebih awal sudah menunggu sambil menonton TV di bawah selimut.  Suhu dingin memang sangat terasa, ditambah prediksi salju akan turun malam ini.

‘Mum, I want daddy’s corn soup with scramble eggs on it’.  ‘But Daddy is not here’.   Kata Ilman, saat melihat saya membuka kulkas  memulai proses masak untuk makan malam.

‘I will cook it for you if you want’, jawab saya sambil memegang container kaldu ayam yang saya simpan kemarin.

‘Are you sure ?’  ‘Will it taste the same as daddy’s?’  Ilman balik bertanya dengan sedikit surprise.

‘Well, the same recipe will not always taste the same if it is prepared by different people’.   Jawab saya tidak memberi harapan muluk, bahwa sup-nya bakalan seenak masakan Ayah-nya.

Jadilah malam tadi kami makan malam berdua, nasi panas plus sup jagung telur.  Saat melihat Ilman mulai makan, saya diam saja tanpa komentar.  Setelah beberapa suap, saya bertanya:  ‘Well..., how is it ?’  ‘Do you think you like it ‘? 

Dengan serius Ilman menjawab: ‘You should do like this more often, mummy...’. 

Alhadmulillah.  Bagi saya satu kalimat jawaban di atas sudah cukup.  Saya bersyukur tidak tergoda bertanya pertanyaan sulit untuk anak:  ‘Enak mana?  Masakan Ayah atau masakan Bunda ?’  Pasti sulit bagi seorang anak harus mengatakan salah satu orang tuanya lebih baik dari yg lain.  Biarlah hal itu milik mereka sendiri.

Alhamdulillah.  Ilman cukup ‘wise’ dengan jawabannya.  Dia memilih untuk menjawab hati2 dengan arti tersirat, tanpa harus membuka isi hatinya dengan  sangat terbuka yg mungkin dia kira akan megurangi nilai salah satu orangtua-nya.

Cerita ini mungkin sangat sederhana, tapi bagi saya sangat penting dalam pendidikan anak.  Sebagai orang tua, kita sering tergoda untuk bertanya pada anak yang seringkali sebenarnya menempatkan mereka pada posisi sulit di antara ke-dua orangtuanya, di antara saudara2nya, di antara teman2 dan orangtuanya..., dll.   Insya Allah saya akan terus berusaha untuk tidak mendudukkan anak pada posisi sulit seperti itu, meskipun itu sangat menggoda untuk dilakukan.

Saat sedang berpikir untuk mengambil foto sup telur jagung untuk dikirimkan pada Ayah-nya,  Ilman  beranjak ke dapur.  ‘Mum, Could I have some more ?’  Sambil membawa bowl berisi sup ke meja makan.

Tandas sudah sup jagung telurnya..., bikinnya memang tidak banyak sih....(takut Ilman tidak suka hehehehe...)

PS:  To my beloved husband ;  ‘Thanks for the recipe....’

Leeds,

Wed evening, 24 Nov 2010