Ramadhan telah memasuki hari
ke-23. Cepat sekali rasanya waktu
berlalu. Alhamdulillah tahun ini kami
bisa berkumpul lengkap sekeluarga. Lima
sekawan menjalani kegiatan beribadah hari-hari di bulan suci ini bersama-sama
di Bangkok. Melihat ke-tiga anak2 kami
berkumpul dan bercerita sesama mereka saat di rumah atau sepanjang jalan saat pergi-pulang
tarawih mengingatkan saya akan masa2 saya seusia mereka. Saat2 ketika kami empat bersaudara masih
berkumpul dengan alm. Bapak-Ibu.
Kenangan indah yang senantiasa menetap di hati, dan muncul dengan pekat
terutama saat bulan Ramadhan seperti sekarang.
Anyway, itu hanya pembuka. Ada hal lain yang ingin saya ceritakan di
sini. Sejak kecil saya terbiasa melihat
kegiatan rutin orangtua saya menjelang Ramadhan. Sekitar seminggu sebelumnya, Bapak biasanya
telah berkeliling kebun di halaman samping rumah kami, mencari ranting bagus
untuk dibersihkan dan diraut dengan halus.
Ranting kayu dipotong sekitar 50-75 cm dengan diameter kira2 1.5
cm. Ranting kayu yang sudah bersih dan
halus ini dibuat runcing di salah satu ujungnya, lalu dijemur oleh Bapak selama
beberapa hari.
Tiga-empat hari sebelum puasa,
Bapak mengantar Ibu ke pasar daging untuk membeli daging sapi. Tak banyak yang dibeli Ibu, biasanya hanya 1
kg saja daging bagian paha yang bagus dan tanpa gapah (lemak). Setiba di rumah, daging dipotong2 oleh Ibu
kira2 selebar telapak tangan dengan ketebalan 2 cm. Potongan daging ini kemudian akan diberi
garam secara merata dan disimpan dalam wadah tertutup selama beberapa jam.
Kemudian Bapak akan menyambung
kegiatan ini. Potongan daging ditusukkan
pada ranting kayu di atas, dan dijejerkan 5-7 potong per ranting. Pada ke dua ujung ranting akan di ikat dengan
tali rafia. Daging siap di jemur dan
digantungkan di kawat jemur khusus di bawah sinar matahari dan dijauhkan dari
hujan. Kalau cuaca cukup cerah tanpa
hujan, 3-4 hari biasanya daging sudah mengering dan siap dimakan setelah diolah
terlebih dahulu. Pekerjaan ini akan
diulangi Ibu sehari menjelang Ramadhan atau dikenal dengan hari ‘meugang’, hari
ketika daging sapi di jual massal di pasar dan tempat2 tertentu dan menjadi
menu utama hampir di setiap keluarga di
Aceh.
Daging asin ini dikenal dengan
nama Sie Balu. Seingat saya sejak kecil saya sudah memperhatikan bahwa sie balu
ini hanya tersedia sebagai lauk di keluarga saya di bulan Ramadhan saja. Sie balu terutama dimakan saat sahur.
Sepanjang bulan Ramadhan sie balu ini digantung ibu di dapur tak jauh dari
kompor dan di potong langsung dari kayu gantungannya. Sie balu yang sudah kering dan mengeras ini
dipotong kecil2 sebesar jari kelingking dan kadang direndam air sejenak agar
sedikit lembut sebelum digoreng singkat dalam minyak panas.
Menurut cerita Bapak, zaman perang dulu sie balu merupakan makanan
mewah bagi bagi gerilyawan yang bersembunyi di gunung2.
Itu kisah saya di masa lalu. Kembali ke masa kini, ternyata cerita sie
balu berlanjut dalam keluarga saya. Sie balu menjadi andalan suami untuk
memancing nafsu makannya di saat sahur. Untuk menambah rasa, terkadang saya
merendamnya sejenak dalam air jeruk sebelum digoreng. Ramadhan kali ini saya melihat si tengah saya
juga mulai ketularan makan sie balu saat sahur.
Hanya saja rutinitas menyiapkan
sie balu sejak dari mencari ranting kayu untuk gantungannya sudah tidak ada
lagi. Saya kini dibuat manja dengan sie
balu siap olah yang bisa dibeli di toko langganan Alhamdulillah dengan ketersediaan sie balu
siap oleh seperti sekarang memudahkan saya membawanya kemana2 saat tidak berpuasa
di kampung halaman. So, mau Ramadhan di
Leeds atau di Bangkok, sie balu ini tetap ikut menjadi bagian dari menu saat
sahur. Alhamdulillah selama beberapa
tahun sie balu yang sudah dikemas rapi dalam kotak dengan label jelas selalu
lolos melewati bandara masuk ke UK, baik Headrow ataupun Manchester.
Begitulah, berjalan boleh kemana
saja. Makanan halal pun tetap bisa
ditemukan di belahan bumi manapun kami berada.
Alhamdulillah kami sekeluarga juga bisa menyesuaikan diri dengan makanan
lokal pada saat2 jauh dari kampung halaman (selama tersedia sambel, pasti semua
enak disantap hehehe). Tapi ‘rasa’ yang terbawa
dari rumah sejak kecil akan tetap melekat di lidah kemanapun kami sekeluarga
berada.
Saya pasti tidak sendiri. Saya
percaya hal yang sama juga dirasakan oleh banyak teman yang kini hidup jauh dari
tanah air. Ayo, mari berbagi cerita
tentang makanan unik dalam setiap keluarga….
Phitsanulok, Thailand, 21 Juli 2014
No comments:
Post a Comment