Wednesday, April 25, 2007

Bisnis Ilman


Setelah beberapa lama tinggal di UK, mengajarkan anak untuk tetap berbahasa Indonesia memang merupakan tantangan sendiri bagi saya sebagai orang tua.  Saat ini, ketiga anak saya lebih banyak berbahasa Inggris sesama mereka.  Namun, saya dan suami tetap membiasakan mereka berbahasa Indonesia kalau berbicara dengan kami.  Begitu juga kalau mereka berbicara dengan keluarga Indonesia lainnya.


 


Kedua anak laki-laki saya (si tengah dan bungsu) tiga tahun lalu sama sekali belum bisa Berbahasa Inggris.  Bulan-bulan pertama kami di UK mereka selalu rajin bertanya terjemahan suatu kata/kalimat dalam Bahasa Indonesia kedalam Bahasa Inggris.  Kini justru sebaliknya, terutama si bungsu Ilman (kini  9 tahun), pertanyaan terjemahan banyak diajukan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.  Saya juga memperhatikan Ilman kalau mau membicarakan sesuatu dengan saya atau ayahnya, terkadang dia harus berpikir dulu kalimat/kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia.


 


Usaha Ilman pantas diacungi jempol, meskipun kadang terjemahannya jadi kedengaran lucu atau salah arti dalam bahasa Indonesia.  Beberapa hari lalu suami saya tiba di rumah, sehabis menjemput Ilman pulang sekolah, sambil senyum-senyum sendiri.  Berikut ini adalah ceritanya kepada saya.


 


Saat berjalan ke rumah, Ilman dan ayahnya berpapasan dengan seorang anak laki-laki sebaya dengan si tengah Irham (12 tahun).


 


‘Itu kawan Bang Awam ya..Dik Man ?’, tanya Ayah.


 


‘Ya.  Dia satu sekolah dengan Bang Awam di High School’, jawab Ilman .


 


Ayah masih bertanya lagi: ‘Dik Man tahu siapa namanya ?’


 


‘Nggak’, jawab Ilman tak acuh.


 


Sang Ayah masih mengejar Ilman, ‘Koq, nggak tahu. Dik Man kan harus tahu juga nama kawan Bang Awam’


 


Dengan serius Ilman menjawab: ‘Kenapa Dik Man harus tahu ?  Itu kan bukan bisnis Dik Man’.


 


Sesaat Ayah bingung.  Apa maksudnya ?   O la la.., ternyata Ilman menerjemahkan kalimat : ‘That’s not my business’ dalam bahasa Inggris menjadi  ‘itu bukan bisnis saya’.  Tentu saja artinya jadi jauh berbeda.


 


Begitulah, tak urung campur-campur bahasa kerap terjadi saat dia berbicara dengan kami.  Namun, saya tetap berusaha agar anak-anak saya tidak kehilangan Bahasa Indonesia.  Saya ingin mengurangi stress mereka saat pulang ke Indonesia nanti.  Ada yang punya pengalaman sama atau berbeda tentang hal ini ?


 


 


Leeds, 25 April 2007


 


 


 


 

15 comments:

  1. hehehe... gak punya pengalaman mbak... tapi disini juga sama, anak-anak indo pada pake bahasa inggris, lebih lancar dibanding kita-kita dan accent-nya itu loh, bule banget! *geleng geleng kepala*

    ReplyDelete
  2. bener nih kak lily.. meskipun saya selalu berbahasa Indonesia dengan Khansa.. tapi sekarang Khansa lebih aktif nya berbahasa Inggris. Meskipun dia ngerti setiap kata yg saya ucapkan dlm b.indonesia cuma dia selalu bicara dlm b.inggris.. kadang nyampur.. seperti kalo lagi main di hlm blkg.. lalu ada bee atau fly maka dia akan lari sambil bilang.. I takut....selain itu khansa kayak nya juga bisa menempatkan kata2 , seperti kalo mau minta sedotan sama daddy nya dia pake kata straw kalo sama saya di pake kata pipet (itu kata yg saya ajarkan pd dia buat straw...)..anyway.. saya selalu niat berbahasa indonesia pada khansa.. karena sayang kalau dia ngak bisa bahasa ibu nya.. lagian suami juga minta saya ngajarin bahasa indonesia pada khansa (sebenarnya dia pingin saya ngajarin bahasa minang.. cuma anatara b.indo dan minang ngak jauh beda nya..)

    ReplyDelete
  3. Bener..anak-anak memang lebih cepat bisa berbahasa Inggris daripada saya, dan itu..pake dialek lokal lagi. Makanya kadang saya nggak anngkap apa yang mereka bicarakan

    ReplyDelete
  4. Wah..ini dia baru seru. Saya juga percaya anak-anak bisa diajari Bahasa lebih dari satu sekaligus. Namun tetap aja ..ada satu yang lebih 'unggul'. Ketika di Indonesia dulu, anak-anak saya semua bisa berbahasa Aceh. Kini hanya si sulung yang masih lancar bicara Bhs Aceh. Tapi saya nggak begitu kuatir, ntar kalo pulang ya..belajar lagi. Kalu Ning konsisten, saya yakin Khansa juga akan bisa Bhs Indonesia disini. Good luck ya..

    ReplyDelete
  5. Wah ternyata berat juga tantangannya agar anak-anak bisa berbahasa indonesia ya mbak...., saya belum punya momongan (walau sudah kepingin sekali), sepertinya saya harus siap2 dari sekarang nih.. di Montreal bhs pengantar pertama bhs Perancis, baru Inggris.... , bakalan lebih berat nih...

    ReplyDelete
  6. hehehhee..... ibu ibunya pada kalah yah???/

    ReplyDelete
  7. Benar juga ya... Berada di Montreal kita seperti berada di Eropa bukan di Kanada. Btw, Bhs Perancis Mbak Nura..pasti sudah canggih ya..

    ReplyDelete
  8. He..he..kadang saya berpikir apa lidah mereka nggak 'keseleo' ya..

    ReplyDelete
  9. saya masih belajar nih mbak lily.. tiap hari pergi ke sekolah... tapi.. sekarang lagi libur sekolahnya:)

    ReplyDelete
  10. Ini yang menarik perhatian saya selama tinggal di London.Orang kita malah bangga kalau anaknya ngga bisa bahasa Indonesia. Pernah saya jumpa keluarga Indonesia yang baru 6 bulan tinggal di PAris, sangat bangga mengatakan 'anak saya bahasa indonesia nya sudah kacau'. Dan saya lihat sendiri bagaimana orangtua tersebut sangat memaksakan berbahasa Inggris dengan anaknya. Padahal menurut saya bahasa Inggris mereka sendiri masih 'asli terjemahan Indonesia- Inggris',yang kedengarannya aja aneh. Kalau nanya pendapat ke saya, saya kagum kalau melihat seseorang bisa lebih dari satu bahasa!

    ReplyDelete
  11. Assalamualaikum mbak Lily, saya baru buka blog mbak malam ini, maklum, sibuk dengan ujian nasional berikut ujian-ujian selanjutnya. Baru buka aja, belum dibaca. Baru ngintip dikiit di bagian tsunami. Subhanallah mbak...saya gak bisa bicara.Biarkan air mata saya menjadi bagian dari persahabatan ini, biarkan air mata saya menjadi bukti ikut merasakan kehilangan mbak yang amat sangat..

    ReplyDelete
  12. Mungkin sebagian orang tua memang begitu Tia. Saya dan suami justru bangga anak-anak masih bisa berbahasa Indonesia (plus Bhs Aceh bacut).

    ReplyDelete
  13. Waalaikumsalam mbak Henie. Terima kasih atas perhatiannya. Musibah itulah yang mengawali saya menulis. Untuk menyalurkan duka hati. Meskipun lebih dua tahun kemudian saya baru sanggup membaginya dengan orang lain. Teman, sahabat..adalah harta yang tak ternilai harganya.. Sekali lagi trims

    ReplyDelete