Friday, December 26, 2008

Kata Hati: I am not that strong

 

Desember menjelang lagi.   Empat tahun terakhir ini bulan Desember selalu menarik saya kembali pada kejadian akhir tahun 2004 lalu. Saat waktu seakan berhenti untuk saya.  Entah sampai kapan saya akan merasakan hal seperti ini.  Lantas dimanakah saya berada kini ?  Ini pertanyaan rutin bagi diri saya sendiri setiap akhir tahun

 

Sejak masih di Leeds sampai sekarang setahun sesudah kembali ke kampung halaman, saya sering mendengar komentar teman-teman bahwa begitu kuat dan tabahnya saya menghadapi musibah yang telah membawa hampir semua keluarga besar saya kembali kepada-Nya.

 

 

Benarkah demikian ?  Kadang saya terbebani juga dengan komentar mereka.  Secara fisik mungkin tak banyak orang yang tahu saya masih menyimpan duka yang teramat dalam.  Habis, saya masih suka ber ha...ha..hi..hi sana sini kalau lagi ngumpul dengan teman-teman.  Semangat saya masih cukup tinggi untuk terus belajar berbagai hal. Saya juga tak kurang semangat untuk mengajar dan berdiskusi dengan mahasiswa.   Belum lagi berat badan saya yang naik terus sejak pulang ke tanah air.  Itu kan berarti saya bisa makan enak.  Masa sih saya masih sedih ?

 

 

But believe me my friends.  I am not that strong.  Saya masih saja tersedak dan kehilangan selera makan saat di suatu hajatan bertemu teman alm Ibu yang dengan wajah polos bertanya bagaimana kabar ibu saya.

 

Air mata saya masih mengalir tak terasa setiap melewati jalan-jalan atau lokasi yang sering saya datangi bersama alm adik-adik saya dulu. 

 

Saya masih saja merasa sesak saat bertemu teman-teman alm adik-adik saya di kampus.  Saya sering terhenyak tak mampu berbicara ketika anak-anak saya dengan riangnya bercerita tentang kenangan manis bersama kakek-nenek mereka dulu.  Tentang Bunda cut (pangilan mereka untuk alm dik Susy) dan Abit (alm dik Adi) yang begitu penuh perhatian kepada mereka.

 

 

Saya masih sering sedih  setiap mendengar ucapan bahwa tsunami telah banyak membawa hikmah bagi Aceh.  Malah ada yang berkata tsunami adalah rahmat bagi orang Aceh.

 

 

Bukan saya mengelak dari kenyataan bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmahnya.  Saya hanya sulit sekali menerima bahwa seakan-akan kesedihan akan  begitu banyak  kematian orang di Aceh dapat dihapuskan begitu saja dengan banyaknya materi yang mengalir ke daerah saya.   Bagi sebagian orang, korban tsunami mungkin hanya sekedar angka dan data statistik yang dimunculkan bila perlu.   Tapi bagi saya mereka adalah jiwa orang-orang yang begitu saya kasihi dan cintai.

 

 

Saya dan adik saya, Haris, sampai kini tak pernah lagi menyinggung kejadian hari itu.  Kami seakan memilih untuk bercerita hal lain yang tidak membangkitkan kenangan akan hari-hari pahit pasca tsunami dulu.

 

Bukan saya tidak berusaha untuk menghapus duka.  Si Abang selalu mengingatkan saya, sudah waktunya bagi saya untuk bisa mengingat mereka yang telah tiada dengan hati yang ringan dan riang, demi kenangan indah saat masih bersama dulu.  Ingat masa-masa manis dan bahagia bersama mereka dulu !  Itu kata si abang selalu saat berpaling kepadanya ketika rasa duka begitu menyeruak dari hati saya.

 

 

Saya berusaha dan berdoa.  Lebaran lalu, saya memutusakan untuk menggantung foto terakhir kami empat bersaudara.  Foto itu diambil saat Idul Fitri akhir tahun 2002.  Walaupun terkadang saya masih terpaku sedih setiap memandang foto tesebut, si Abang menguatkan saya bahwa saya pasti bisa mengatasinya. 

  

Saya lebih memilih untuk pergi menghindar atau setidaknya tak berkomentar apapun setiap ada obrolan tentang hari Minggu 26 Desember 2004 lalu.  Saya baik-baik saja selama pikiran dan hati saya tak terbawa kepada mereka yang telah tiada.

 

 Jadi di sanalah saya masih berada kini.  Saya tidak tahu kapan saya pindah ke level selanjutnya.  Saya tidak tahu butuh berapa lama lagi bagi saya untuk bisa ‘normal’ seperti duluuuu sekali.  Atau akankah waktu itu tiba ?  Kepada Allah jua saya berserah diri.

 

 

Banda Aceh, 4 Desember 2008

 

Wednesday, December 17, 2008

Menuai Angin di Spurn Point....

‘Spurn Point National Nature Reserve’ adalah salah satu lokasi yang kami kunjungi untuk melihat habitat pantai dan pengelolaannya, ketika tahun lalu saya mengikuti kuliah ‘Habitat Mangement’. 

Kalau dilihat di peta UK secara lengkap, lokasi ‘spurn point’ (yang juga dikenal dengan nama ‘Spurn Head’) ini sangat unik.  ‘Spurn’ merupakan semenanjung sempit yang menjorok ke laut yang kalau dilihat dari atas jadi indah sekali. Bentuknya yang memanjang dan sempit, dengan ukuran panjang sekitar 4.8 km dan lebar hanya sekitar 46 meter membuat Spurn mirip ekor mungil dari suatu binatang raksasa kalau dilihat dari atas. 

Saya ingat saat itu bulan Februari 2006, cuaca masih sangat dingin, namun jadwal kunjungan kami tetap ‘on’.  Berangkat dengan mini van dari kampus sekitar pukul 8.45 am, kami yang berjumlah 15 sudah membekali  diri dengan pakaian yang ‘rain dan wind proof’ plus makanan dan minuman secukupnya. 

Dari Leeds kami menuju kota Hull yang berada di bagian timur Yorkshire.  Letak Spurn memang tidak begitu jauh dari Hull, tepatnya di bagian utara jalur masuk ke ‘River Humber’ yang terkenal dengan ‘Humber Bridge’-nya.

 

Setelah terkantuk-kantuk di mobil selama dua jam lebih, sampailah kami ke lokasi tujuan.  Sebelumnya dosen kami sudah mengingatkan untuk mencukupi bekal makan dan minum di desa terdekat, karena lokasi yang kami tuju tak ada fasilitas untuk isi perut. Begitu turun dari mobil di aera parkir, kami disambut salah satu staf ‘National Nature Reserves’ yang bertanggung jawab untuk Spurn. 

Tanpa banyak penjelasan di area parkir, kami segera memulai perjalanan menyusuri ‘spurn point’ yang merupakan habitat berpasir tebal plus rumput jenis ‘marram’ dan ‘sea buckthorn’.  Kondisi ini membuat berjalan terasa sulit karena langkah kaki gampang terbenam dalam pasir. 

 

Namun udara dingin yang  menembus 4 lapis pakaian yang saya pakai, plus angin yang menusuk tulang memaksa kami untuk tetap bergerak.  Lha, kalau berhenti..bisa..beku kedinginan !  Walaupun begitu saya agak lega, melihat mobil kami merayap perlahan mengikuti di belakang, saya pikir kalau-kalau saya KO, paling tidak ada mobil yang akan membawa saya.

Di tempat-tempat tertentu kami memang berhenti untuk mendengarkan penjelasan sang instruktur.  Biasanya dia memang memilih area yang sedikit terlindung angin, di balik bukit kecil misalnya.  Angin hari itu memang berhembus lumayan kencang..rasanya ..brrr..dingin sekali.  Suara angin lepas yang berhembus dari pantai ke pantai kadang mengalahkan suara ombak yang menghempas pantai.

 Ketika tiba saatnya makan siang, kami memilih untuk berteduh dalam mobil.  Dengan angin dan udara yang menggigit seperti itu, tidak mungkin kami bisa duduk makan di udara terbuka.

Selama berjalan sepanjang Spurn, saya hampir tidak pernah mengeluarkan ke dua tangan yang sudah bersarung tangan tebal dari kantong jaket, apalagi membuka sarung tangan.   Wuih…dingin sekali ! 

Menurut sang dosen, group kami tahun itu lebih beruntung, karena tahun sebelumnya saat group ‘Habitat Management’ mengunjungi Spurn, angin kencang disertai hujan es menerpa mereka.  Terpaksa mereka mencari tempat berteduh dan menunggu badai reda. 

Situasi di lapangan saat itu membuat saya tak bisa menggunakan kamera untuk mengambil foto selama kunjungan, saya lebih mementingkan urusan tubuh yang kedinginan daripada motret lokasi.  Belakangan nyesel juga sih...koq gak berusaha lebih keras untuk bisa motret.

Kelelahan dan kedinginan berjalan lebih dari 4 jam, terobati dengan indahnya Spurn Spoint ini.  Spurn dulunya merupakan benteng pertahanan militer untuk mempertahankan diri dari serangan musuh lewat laut.  Sisa-sisa benteng pertahanan ini masih jelas terlihat di sana.

Kini Spurn seperti merupakan laboratorium alami untuk mengamati alam.  Ada laboratorium sederhana untuk mengamati jenis dan populasi burung.  Berbagai metoda penghitungan ada di sana.  Sayangnya hari itu petugasnya lagi tidak di tempat, jadi kami tidak bisa nanya-nanya tentang hal ini.

Spurn point merupakan lokasi ’lifeboat station’ yang menurut Wikipedia merupakan satu-satunya di UK yang mempunyai full-time staf yang dibayar penuh.  Saat kami ke sana, ada 11 keluarga lifeboat crew yang tinggal di rumah-rumah yang dibangun khusu untuk mereka.

Hal lain yang paling menarik menurut saya adalah ’LighthHouse’ alias mercusuar yang ada di Spurn.  Bangunan tinggi menjulang berwarna hitam dan putih yang sangat menonjol, seaakan tak pernah goyah diterpa  kencangnya angin.  Light house yang masih berfungsi sekarang ini, dibangun antara tahun 1893-1895 menggantikan light house sebelumnya yang dianggap terlalu kecil.

Melihat ’Lighthouse’ di sana, tanpa sadar angan saya langsung melayang pada cerita seri ’Lima Sekawan’ alias ’Famous Five’-nya Enid Blyton yang kami (saya dan adik-adik) baca dulu.  Saya jadi membayangkan petualangan George dan para sepupunya yang sembunyi di Lighthouse saat dikejar-kejar penjahat.

Saya ingat waktu kecil dulu, saya dan adik-adik sering sekali berdiskusi tentang serunya petualangan ’Lima Sekawan’ di tempat-tempat menarik di Inggris.  Siapa yang menyangka, puluhan tahun kemudian  saya bisa melihat langsung lukisan dan background cerita ’Lima Sekawan’?   

 Honestly, saat berada di Spurn saya sempat bergumam sedih, ’Susi dan Adi, Cutkak sudah melihat langsung setting cerita ’lima sekawan’, sayangnya kalian tak lagi punya waktu untuk mendengar cerita ini’.

Lha..koq ceritanya jadi sedih ?

Kembali ke Spurn.  Menurut info dari petugas pendamping kami, Spurn sangat indah saat Spring.   Berbagai bunga liar mekar warna-warni bak  permadani cantik menutupi hampir semua hamparan terbuka di Spurn.   Kebayang kan ?   Fantastic….!! (minjam istilah yang sering digunakan the boys).

Leeds,  Juni 2007.

'Can we do two jobs at the same time ?'

Catatan:

Saat bersih-bersih file di komputer, saya menemukan beberapa tulisan yang belum sempat posting.  Meski sudah kadaluarsa, saya putuskan untuk postingin sekarang.  Minimal bisa jadi pengingat cerita untuk saya.

 

salam,

lily (18 Desember 2008)

 

 

************* 

 Kegagalan tim ganda campuran Indonesia merebut medali emas (ada di sini)  rupanya belum hilang dari ingatan Ilman.   Senin pagi-pagi tadi dia terlibat diskusi serius dengan Irham tentang hal ini.   Saat saya melintas di depan mereka, Ilman mengajukan pertanyaan di atas kepada saya.

 

Saya yang sedang bersih-bersih, sesaat bingung dengan pertanyaan tersebut. Apa hubungannya dengan topik diskusi mereka ?

 

‘It depends on what kind of jobs you want to do ‘, saya menjawab kemudian.

‘How about an architect and a badminton player at the same time ?’, Ilman balik bertanya.

 

Bukan rahasia lagi di rumah kami.., Ilman sejak lama sudah bercita-cita ingin menjadi arsitek yang andal.  Dia ingin mendisain jembatan tercanggih di dunia..  ‘I would go to MIT for that..’  suatu kali dia berkata.

 

Tapi kenapa sekarang Ilman sekaligus ingin menjadi pemain bulutangkis ?  

 

’I will show the world what Indonesia capable of.... I  will beat China..in Olympics game.   We should have won last night, they cheated us..’.  Dan Ilman kembali terisak….

 

 

Ha..ha….rupanya Ilman belum bisa terima kekalahan Nova Widianto dan Lilyana Natsir.   Dia ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia mampu mengalahkan pemain bulutangkis Cina.

 

 

Banda Aceh, 18 Agustus 2008

Friday, November 21, 2008

Jauh di mata dekat di hati.....

Selama hampir 20 tahun pernikahan kami, berjauhan dengan si Abang bukanlah hal asing untuk saya.  Kami baru menikah selama 4 bulan dan saya sedang hamil 3 bulan ketika pertama kali harus berjauhan dengan si Abang.  

 

 

Gak tanggung-tanggung dia harus pergi selama 6 bulan untuk ikut Intensive English Course di Yogya.  Saya sempat ke sana sebentar saat kehamilan saya memasuki usia 5-6 bulan.   Juni 1989 si Abang pulang untuk mendampingi saya melahirkan, untuk kemudian terbang lagi ke Canada saat usia Kak Lila baru saja 1 bulan.

 

 

Hampir setahun kemudian baru kami berkumpul kembali saat saya ikut sekolah ke Canada.   Tapi tidak dengan Kak Lila yang harus tinggal dulu beberapa bulan, sebelum saya menjemputnya untuk bergabung dengan kami di sana.

 

Sejak kepulangan kami ke tanah air pada 1994, berkali-kali  si Abang pergi jauh selama 2- 6 bulan ke berbagai negara.  Praktis saya sedikit sekali merasakan dimanjakan suami saat hamil.   Dari ke tiga anak kami, hanya saat kehamilan Irham saya didampingi terus sampai melahirkan.  Soalnya saat itu saya hamilnya di Canada sih..

 

Walaupun demikian sejak awal saya..sudah pasang aturan, dia boleh pergi (kan demi masa depan..gitu..), asal saat saya melahirkan si Abang harus selalu mendampingi saya.  Alhamdulillah keinginan ini tercapai.

 

Meskipun sering berjauhan, komunikasi antara kami sebisa mungkin tetap berlangsung dengan media apa saja yang mungkin.  Di awal 90-an, saat kami berjauhan, komunikasi lebih sering kami lakukan via surat.  Sekali-sekali si Abang menelpon.   Repotnya waktu itu.., di rumah ortu saya belum ada telpon, jadi kalau mau bicara sama saya..si Abang akan telpon dulu ke rumah tante saya meminta saya datang ke rumah tante.   Cukup repot memang. 

 

Waktu itu cerita antara kami lebih banyak mengalir lewat surat.  Kami punya kebiasaan unik tentang surat menyurat ini.  Saya dan si Abang menulis surat tidak harus menunggu balasan dulu.  Kalau mau nulis ya..nulis.  Anytime.   Satu surat bisa ditulis berhari-hari, kapan mood.   Gak..heran, satu surat bisa sampai 11-15 halaman.   Bahkan seingat saya rekor surat terpanjang dari si Abang adalah 22 halaman !.   Tulis tangan lho.

 

 

 

Saking panjangnya surat-surat kami, Ibu saya (alm) sering heran :’Itu tulis surat atau novel sih  ?’   Gitu komentarnya.   Saat membaca balasan si Abang yang juga berlembar-lembar, saya memberi pengumuman pada Ibu dan adik-adik (alm): ’Tolong jangan ganggu Cut Kak, mau baca novel balasan nih ’!  

 

 

Apa saja yang kami tulis di surat-surat tsb ?   It can be anything.   Biasanya saya cerita tentang anak-anak, bagaimana perkembangan mereka, plus bagaimana rasa hati saya berjauhan dengannya (eehm..hmm).  Itu saat anak-anak masih kecil.  Si Abang banyak cerita tentang bagaimana adaptasinya di negara lain, tentang lingkungan barunya, tentang kegiatannya.   Kami juga saling berbagi cerita tentang harapan dan keinginan jangka pendek dan panjang.   Tentang rasa  cinta yang terus tumbuh.   Dsb.

 

 

Era menulis surat dengan tangan kemudian beralih ke media internet.  Surat tak lagi dikirim via kantor pos tapi lewat email.  Belum musim chatting via YM sih.., karena saat itu kami belum punya internet di rumah.   Tapi kuantitas dan kualitas surat masih sama.  Malah lebih intens, karena surat bisa dikirim langsung.

 

 

Bagaimana sekarang ?    Saat si Abang sedang di University of Kentucky, Lexington, USA Oktober sampai Nov kemarin, nyaris setiap hari kami berbicara via YM.   Biasanya saya dan anak-anak online sore hari WIB, berarti pagi hari yang sama waktu Lexington.  Pertanyaan untuk saya dan anak-anak jadi rutin di awal pembicaraan; ’How was your day ?’.   Sebaliknya saya dan anak-anak mulai dengan :’ How is your schedule today ?   What are you going to do ?’  Saat anak-anak sudah besar begini, kami jadi jarang sekali ngobrol secara pribadi kalau online di rumah.   Pasti Irham dan Ilman yang berebut berbicara.  Sambil ngobrol, si Abang juga mengirim foto-fotonya di sana plus bercerita tentang background foto tsb pada anak-anak.

 

  Selain itu, komunikasi kami juga bisa lewat sms tentu saja.   Kalau sms benar-benar bisa kapan saja, baik antara saya dan si Abang atau si Abang dan anak-anak.   Kadang kami lupa kalau WIB itu selisih 12 jam dengan waktu Lexington.  Reflek sih.., begitu ada yang ingin ditanya dan  butuh jawaban segera, sms langsung terkirim.   Setelah itu baru sadar…’upss….si Abang pasti  belum bangun nih’.

 

 

Ini yang terjadi beberapa minggu lalu.   Saya terbangun oleh bunyi sms masuk di Hp saya.  Setelah menghidupkan lampu, saya lihat jam..03.30 pagi.  Siapa yang sms saya dinihari begitu ?   Eh, si Abang rupanya.   Ada apa ?    Segera saya baca.  Isinya ..dia bilang sedang di toko pakaian..pengen beli sweater untuk the boys, warna apa bagusnya untuk mereka ?   Waduh,  masa hanya mau nanya warna aja si Abang tega ngirim sms saya dinihari begitu ?

 

 

Ternyata dia gak sadar kalau di Banda masih malam,  reflek aja dia ngirim sms ke saya.   Kalaupun ada sedikit kesal di hati saya karena terbangun dari tidur nyenyak..., rasa itu langsung menguap.   Saya bersyukur si abang selalu menganggap pendapat saya penting.  Coba kalau dia lebih suka nanya pada orang lain ?  Wah..bisa sewot saya...

 

 

Banda Aceh,

17 November 2008

Tuesday, November 11, 2008

Aduh....masih jet lag sudah mau pergi lagi ?

Setelah sempat menginap di Hongkong dan Medan, Alhamdulillah si Abang tiba kembali di rumah kemarin, Selasa 11 November 2008, pukul 10.00 pagi.  Anak-anak sangat exited mendengar sang Ayah akan pulang (tentu saja saya juga begitu he..he….). Pasti dong…, doi pergi sebulan penuh.

 

Mereka gembira sekali ketika siang kemarin sang Ayah yang menjemput mereka pulang sekolah.  ‘Horee…daddy is home, where is my Guinness World Book Record ?’,  tanya Ilman saat melihat Ayahnya di mobil.

 

Si Abang sendiri sampai menjelang dhuhur kelihatan cukup segar dan bersemangat.   Usai makan siang  dia mulai kelihatan ngantuk berat dan tak sanggup lagi melayani anak-anak berbicara.  

 

Olala..doi masih jetlag rupanya.   Soalnya di Kentucky  saat itu kan sedang dinihari.   Tak sanggup melawan kantuk akhirnya si Abang menyerah dan pergi tidur. 

 

Saat Ashar saya membangunkannya untuk shalat.   Sesudah itu doi menghilang lagi, entah kemana.   Saya cari..cari…eh rupanya si Abang tertidur lagi di kamar kak Lila.  Karena the boys ribut mencarinya, si Abang berusaha bangun dan duduk mengobrol dengan anak-anak di sofa ruang tengah.    Hanya bertahan sebentar…, doi sudah tertidur lagi di sofa….   

 

‘Oh my God, are you sleeping again, daddy ?’, tanya Irham setelah si Abang tak menjawab pertanyaannya.

 

Begitulah cerita hari pertama si Abang kembali ke rumah.   Ada rasa lega..dan ringan di hati saya.   Soalnya ini adalah kepergiannya terlama dari rumah selama hampir 5 tahun terakhir.  Rasanya gak enak banget berjauhan selama itu.

 

Pagi tadi Rabu, 12 Nov saya dan si Abang berangkat bersama lagi ke kampus.  Setelah mengantar saya ke kantor, dia kemudian menuju ke kantornya sendiri.   Rasanya baru 30 menit saya duduk di depan komputer, ketika telpon saya berdering.   Dari si Abang rupanya. 

 

‘Mau melapor nih’, katanya serius.   ‘Ada apa ?’  saya bertanya dengan heran.    Doi cerita dia baru saja diberi tahu harus berangkat ke Padang minggu depan.  Ada presentasi proposal yang ditulisnya beberapa bulan lalu.

 

Aduh..baru semalam di rumah, belum lagi hilang jet lag dan lelah akibat penerbangan yang cukup panjang, si Abang sudah mau pergi lagi ?  Cape....deh.....

 

 

(PS. Untuk Yuana di NZ:    paling tidak doi gak kayak bang toyib kan ?)

Banda Aceh 12 Nov 2008

lily

   

Wednesday, August 27, 2008

Selamat Menyambut Ramadhan...

Assaalamualaikum teman-teman,

Bulan suci Ramadhan..Insya Allah akan segera tiba.   Ini adalah Ramadhan pertama kami sekeluarga di kampung halaman setelah empat tahun berpuasa di Leeds, UK.  Ada kegembiraan di hati bisa berpuasa kembali di kampung halaman, ada juga rasa sedih terselip..karena ini Ramadhan pertama di rumah tanpa orangtua dan adik-adik kami lagi. Semoga Allah melapangkan kubur mereka.  Amin.

Izinkan saya pada mengucapkan selama berpuasa untuk teman semua.  Semoga kita mendapat berkah dan rahmat dari Allah Swt di bulan suci ini.   Amin.   Perkenankan saya juga memohon banyak maaf atas kekhilafan saya selama kita berteman di dunia maya...

Banda Aceh, 28 Agustus 2008

Wassalam,

lily

Thursday, July 24, 2008

Sabang dan Pantai-nya




Berbicara tentang Sabang tentu saja tak terlepas dari pantai yang mengelilinginya. Topografi Sabang yang berbukit membuat laut terlihat dari banyak tempat di kota ini. Pantai-pantai di Sabang menurut saya masih sangat alami dan bersih, dibandingkan pantai di Banda Aceh. Airnya yang jernih membuat hati terasa ikut jernih memandangnya.

Tak jauh dari pantai Iboih, ada sebuah pulau menarik bernama P. Rubiah. Pulau ini hanya berjarak 20-30 menit naik boat dari pantai Iboih. Taman bawah laut di sekitar pulau ini menarik perhatian banyak pengunjung untuk bersnorkling atau diving di sana. Kami juga ikutan nonton warna-warni kehidupan bawah laut di Pulau Rubiah. Tapi dari boat aja…, maklum kami tak punya persiapan untuk snorkling…lagian saya cuma bisa berenang.. satu gaya, yaitu gaya batu…(he..he..)

Pantai lain yang tak kalah menarik adalah pantai Anoi Itam alias pantai pasir hitam. Pantai ini tergolong sebagai salah satu pantai tercantik di Indonesia versi majalah Garuda Indonesia. Keindahan pantai satu ini terletak pada pasirnya yang hitam yang kelihatan kontras dengan batu-batu putih yang tersebar di atasnya. Terus terang baru kali ini saya melihat pantai berpasir hitam.

Melihat laut bukanlah hal asing bagi saya. Meskipun tak bisa berenang (aneh ya..padahal tinggal dekat laut), sejak kecil saya memang sudah akrab dengan pantai. Berada di Sabang dan melihat laut lepas..saya seperti melihat kembali masa kecil saya dan adik-adik saat kami diajak piknik oleh Bapak-Ibu. Siapa yang dapat menduga ternyata air laut-lah yang telah menyebabkan mereka kembali kepada-Nya ? Semua memang kuasa Allah Swt.

Anyway, tak ingin terhanyut rasa duka, saya berterima kasih bagi teman-teman yang sempat membuka album ini.


Banda Aceh, Juli 2008

Sunday, July 20, 2008

Seputar Sabang




Foto-foto di album ini adalah hasil jeprat-jepret saya saat berkunjung ke Sabang akhir Juni lalu.

Selain pantainya yang masih sangat alami, di seputar kota Sabang masih banyak dijumpai ‘bunker’ peninggalan zaman jepang dulu. Ceritanya saat Jepang masuk ke Indonesia (mengusir Belanda) sekitar tahun 1940-an, Jepang menjadikan Sabang salah satu pelabuhan utama sebagai pintu masuk Indonesia dari sebelah barat.

Sebenarnya sejak zaman Belanda, Sabang sudah menjadi pelabuhan utama sekaligus kota tempat para pejabat Belanda di Aceh berlibur. Ini bisa dilihat dari foto-foto lama yang masih tersimpan baik di beberapa rumah di Sabang. Makanya saat itu Sabang juga dikenal sebagai tempat ‘dansa-dansi’-nya orang Belanda.

Anyway, saat Jepang masuk..mereka juga menjadikan Sabang sebagai lokasi pengintaian musuh. Mereka membangun banyak ’bunker’ di tepi pantai yang menghadap langsung ke laut lepas. ’Bunker-bunker’ ini masih bisa kita lihat sampai sekarang. Sebagian ada yang sudah tak utuh lagi. Tapi ada yang masih utuh, sehingga kita bisa masuk dan melakukan pengintaian. Sayangnya untuk masuk rada-rada ngeri juga.. Takut ada yang nyambar dari dalam (hi..hi....)

Banda Aceh, Juli 2008

Sunday, July 13, 2008

Liburan Kami : ‘Dari Sabang sampai….?’

Teman-teman pasti masih ingat lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke’ kan ?.  Ya.., Sabang adalah kota paling barat kalau kita melihat peta Indonesia.  Kota ini terletak di pulau kecil yang bernama ’Pulau Weh ’ (pulau yang pindah atau terpisah).  Bersama banyak pulau kecil lainnya yang berdekatan satu sama lain di sekitarnya, Pulau Weh yang hanya mempunyai satu kota in termasuk dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Saya boleh saja berbangga hati karena sudah pernah hidup survive sendiri selama beberapa tahun di P. Jawa. Atau pernah merantau dan menjelajah sampai ke Benua Amerika dan Eropah, tapi saya selalu ditertawakan teman-teman karena belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Weh.  Masa lahir dan besar di Banda Aceh, tapi belum pernah ke kota selalu disebut dalam lagu wajib anak SD?  Lho..emang apa sih istimewanya kota satu ini ?

 

 

Sejak sebelum masa liburan kenaikan kelas anak-anak tiba, saya sudah sepakat dengan si Abang untuk memperkenalkan kota Sabang pada anak-anak (sebenarnya sih..saya yang mau mengenal kota ini  hi..hii). Kota yang saat ujian IPS Ilman di kelas V merupakan jawaban dari pertanyaan :  ’Kota manakah yang terletak paling barat dari wilayah Indonesia ?’  Kebetulan pada saat yang bersamaan si sulung juga pulang liburan semester pendek, jadi lengkaplah liburan kami sekeluarga.

 

Kami berangkat pagi hari Kamis, 26 Juni melalui pelabuhan sementara Ulee Lheue dengan menumpang KM Express Bahari. Kapal motor yang kami tumpangi tsb cukup bersih dan nyaman, full AC, dengan harga satu kursi sebesar Rp. 60.000,-. Cuaca cukup cerah sepanjang perjalanan laut yang hanya butuh waktu 45 menit ini.

 

 

Tiba di Pelabuhan Balohan, Sabang, kami di sambut teman lama si Abang yang berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada kami selama liburan di sana. Sesudah kangen-kangenan, kami segera beranjak meninggalkan pelabuhan.  Berbekal ingatan si Abang mengunjungi Sabang di masa lalu, mulailah..’lima sekawan’ dari Banda ini bertualang mengubek-ngubek pulau Weh yang luasnya 153 km persegi.    Tujuan pertama adalah mencari penginapan.

 

Memasuki jalan utama di kota perpenduduk sekitar 22.000-an jiwa ini, saya langsung merasakan suasana yang berbeda dengan di Banda Aceh.  Jalan-jalan terlihat sepi dan bersih.  Tak ada kemacetan, tak ada yang terburu-buru, tak ada klakson mobil atau motor.  Padahal hari itu tengah hari kerja.., yang meskipun liburan sekolah, seharusnya kelihatan sibuk dimana-mana. Suasana seperti ini terus terasa selama 2 hari kami di sana. Kesibukan  baru terlihat  kalau kita menyusuri  Jl. Perdagangan, suasana khas pasar dan arena jual beli.  Sampai-sampai Kak Lila berkomentar: ’It seems time passes very slowly here, nobody in a rush..’

 

Yang paling menyenangkan adalah jalan-jalan utama yang membelah Sabang masih sangat teduh oleh jejeran pohon rindang yang sudah berusia puluhan tahun.  Akibatnya cuaca jadi tak terasa sepanas Banda Aceh.

 

 Atas rekomendasi seorang sepupu kami mendatangi penginapan ’Santai Sumur Tiga’ yang terletak di lereng berbukit di tepi pantai ’Sumur Tiga’.  Saya cukup yakin akan mendapat kamar di ‘beach house’ yang dikelola seorang bule asal Afrika Selatan ini.  Ternyata kami harus menggigit jari, semua kamar penuh !  Padahal setelah melihat suasana penginapan yang begitu cantik dan alami, anak-anak sudah sangat semangat untuk bermalam di sana.  Apa boleh buat, kami terpaksa mencari penginapan lain.

 

Setelah mengubeg-ubeg beberapa penginapan tepi pantai yang semuanya penuh (oleh wisatawan asing dan group kantor yang sedang ber-workshop), kami akhirnya memutuskan untuk menginap di guest house kecil di tengah kota.  Usai bongkar barang dan shalat zuhur.., kami jalan lagi untuk cari makan siang.

 

Perut kenyang plus alunan musik di mobil membuat si bungsu Ilman mulai mengantuk.  ’Let’s go back to the hotel.  I am so sleepy’, katanya.  Keinginan si bungsu ditolak Ayah-nya.  Lho..mau jalan-jalan koq malah ngendon di kamar hotel.   Siang itu kami keliling Sabang, melihat situasi sebelum memutuskan jalan kemana.  Ketika melihat tanda di jalan yang menunjukkan ’Tugu Kilometer Nol’, kami memutuskan untuk menuju ke sana.

 

Ya..kalau ada yang belum tahu, salah satu monumen penting di Sabang adalah Tugu Kilometer Nol Indonesia, lokasi darimana wilayah tanah air kita ini mulai diukur.  Letaknya sebenarnya tidak begitu jauh dari pusat kota Sabang, sekitar 29 km sebelah barat kota.  Hanya saja medan yang dilalui cukup rumit, penuh tanjakan dan belokan tiba-tiba di tepi tebing yang curam berbatas laut.   Belum lagi jalan yang mulai berbatu sejak 15 km menjelang tiba di lokasi. 

 

Tapi semua kerumitan itu berbuah hal indah bagi kami sekeluarga yang memang senang bertualang.  Untuk mencapai Tugu Km Nol tsb, kami harus melalui pantai-pantai yang terlihat sangat cantik dari atas bukit, ada Pantai Gapang, Pantai Iboih yang merupakan lokasi favorit wisatawan asing untuk ber-snorkling atau diving.  Kami juga harus melalui hutan lindung yang sarat dengan berbagai jenis pohon tropis.  Kanopi pohon saling-silang menutupi bagian atas jalan yang kami lewati.  Kami terasa melewati hutan belantara untuk mencari harta karun....  Suasananya sangat alami..dengan kicauan burung yang bersahut-sahutan.

 

Bukan itu saja..., saat sedang terpesona dengan suasana indah ini..(tentu saja tidak indah bagi mereka yang tidak suka suasana alami nan sepi..), kami dikejutkan oleh kemunculan

sekelompok monyet/kera yang muncul tiba-tiba di tengah jalan. Kelompok monyet ini kelihatan sangat ’friendly’.  Mereka rupanya menunggu pengendara motor/mobil melemparkan makanan.  He..he..ada keasyikan sendiri melihat bagaimana mereka berebut makanan yang kami lemparkan.

 

Tak banyak pengunjung yang terlihat di ’Tugu Kilometer Nol’ saat kami tiba di sana.  Menurut Bapak penjaga yang sedang bersih-bersih, biasanya pengunjung baru banyak bermunculan menjelang matahari tenggelam.  Mereka ini terutama adalah para wisatawan yang menginap di sekitar Pantai Gapang dan Iboih. 

 

 

Tugu Kilometer Nol terletak pada ketinggian 43.6 m, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.  Tugu ini sebenarnya baru ditetapkan pada tahun 1997, setelah penelitian ulang dengan menggunakan GPS untuk menentukan lokasi paling barat Indonesia.  Sebelumnya terdapat tugu lain yang diyakini sebagai ‘kilometer nol’ Indonesia.  Kini tugu yang lama dinyatakan sebagai kilometer tujuh Indonesia.  Sayangnya kami tak sempat mengunjungi tugu lama tersebut.

 

 

Berada di lokasi tugu ini, ada yang membuat saya sedikit tak nyaman.  Tugunya berbentuk unik dan dibangun di atas fondasi yang cukup tinggi.  Di sekitarnya ada beberapa prasasti yang menandai tugu kilometer nol.  Hanya saja..ini..dia..,di mana-mana penuh coretan tidak jelas.  Belum lagi sampah berserakan yang bikin sakit mata. ( Kapan ya…masyarakat kita bisa menghargai kebersihan dan keteraturan ruang publik ?)

 

Saat kami meninggalkan lokasi tugu sore itu, Irham berkomentar:  ’So, we have been here..,the westernest part of Indonesia.   I think we should go to Merauke then, to complete our journey’.   Waduh…..!!!

 

 

Banda Aceh, awal Juli 2008