Tuesday, June 24, 2008

‘Horee…, I am through ‘

Seruan gembira itu keluar dari mulut si bungsu Ilman, Sabtu pagi 21 Juni kemarin begitu melihat hasil raportnya.   Rupanya ucapan gurunya di kelas bahwa kalau nilai ujian mereka jelek bisa mengakibatkan mereka tinggal kelas, begitu mempengaruhi Ilman.  Sejak bagun tidur Sabtu pagi-pagi dia sudah beberapa kali bertanya pada saya dengan wajah kuatir: ‘ Will I go to year 6 ?’  Or ‘Will I stay in year 5 ?’

 

 

Alhamdulillah nilai yang tercantum di Raport Ilman dan Irham tidak mengecewakan.  Mereka berdua masuk 10 besar dalam kelas.   Untuk mereka yang baru 6 bulan kembali ke tanah air, keberhasilan ini cukup menggembirakan saya dan Ayah-nya. 

 

 

Sekolah Irham di SMP memang tidak lagi mencantumkan ranking siswa di raport mereka, namun wali kelasnya menunjukkan pada saya posisi Irham di kelas.  Sedangkan sekolah Ilman di SD masih menuliskan capaian ranking siswa di raport.  Sepertinya memang sedang terjadi pergeseran ke arah tidak berlakunya ranking kelas.  Di Sekolah Ilman penulisan ranking dibatasi sampai level tertentu saja, kalau tidak salah ranking 15.  Setelah itu ranking murid tak lagi dicantumkan di raport mereka.

 

 

Untuk beberapa pelajaran, Ilman masih harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalannnya.  IPS, PPKN, dan Bahasa Indonesia misalnya.  Yang tak kalah penting adalah pelajaran Agama dan ’derivat’nya.   Iya..nih, anak SD sekarang harus belajar Qur’an –Hadist, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, masing-masih merupakan pelajaran terpisah.   Tentu saja...Ilman kebingungan, meskipun dia sudah bisa mengaji.   Belum lagi Bahasa Arab.   Waduh...ibu-nya juga ikut pusyingggg ....

 

 

Anyway,  mereka sekarang boleh lega sejenak.  Liburan tiga minggu mudah-mudahan bisa menyegarkan hati dan pikiran mereka sebelum siap berjuang lagi mulai pertengahan Juli lagi.  Karena Irham dan Ilman akan menghadapi Ujian Nasional SMP dan SD yang tiap tahun menjadi sumber ’ketakutan’ setiap siswa dan orangtua.

 

 

Banda Aceh, 22 Juni 2008

lily

Sekolah Baru: Six Months On...(2)

Suatu malam, ketika  Irham dan Ilman sedang serius belajar untuk ujian esok harinya, saya mendengar mereka berbicara.

‘I miss the school in Leeds’,  Ilman membuka percakapan.  ‘Me too’, balas Irham.  ‘It was so much fun’, lanjutnya.

 

Saya menduga itulah yang mereka rindukan.  ’Fun..!’   Rupanya rasa inilah yang hilang dari hati mereka dalam proses kembali ke sekolah di Banda Aceh.  Meskipun kami sudah mempersiapkan mereka untuk kembali sekolah di tanah air, mereka yang awalnya begitu semangat pulang  kampung, kini merasa rindu akan sekolah di Leeds.

 

Saya menganggap perasaan mereka ini normal saja.  Ketika mereka begitu banyak dijejali dengan segala hal yang harus mereka ingat dan hafal, wajar kalau mereka merindukan rasa ’fun’ akan proses belajar yang menyenangkan di Leeds.

 

Tentu saja saya tahu bagaimana anak-anak kita umumnya dididik di sekolah kini.  Mereka dipaksa meraup semua bahan pelajaran demi mengejar target kurikulum yang berbasis kompetensi.  Itu tujuan idealnya.  Ini tidak salah.., dalam kehidupan yang kini semakin sarat dengan persaingan dalam berbagai hal, anak-anak memang harus dipersiapkan untuk mampu bersaing secara akademis di masa depan nanti.

 

Hanya saja..sering timbul pertanyaan yang sama di hati saya setelah ikut membaca bahan ajar mereka dari buku pegangan.  Sudahkah semua target yang ingin dicapai disesuaikan dengan perkembangan emosi dan jiwa anak seusia mereka ?  Sudahkah semua bahan yang diajarkan disesuaikan dengan kemampuan mencerna rata-rata anak seusia mereka ?  Atau memang semua ini sudah diteliti oleh ahlinya.  Barangkali saya aja yang masih konvensional menganggap belajar itu seharusnya adalah proses yang menyenangkan dan memancing rasa ingin tahu anak, yang akhirnya memicu intelegensia si anak untuk terus berkembang.

 

Melihat banyaknya materi dan tingginya capaian yang ditargetkan untuk anak-anak kita di Indonesia, tak heran ada seorang teman bule saya yang rajin bolak-balik UK-Indonesia berkomentar: ’Anak-anak Indonesia jenius semua ya..?’  ’Rasanya kalau di UK anak-anak gak akan sanggup menampung semua pelajaran seperti di Indonesia’.  Nah lo.., apa memang benar begitu ?

 

Seorang teman yang juga ’concern’ dengan sistem pendidikan kita pernah berkata, ibarat sebuah gelas..anak-anak kita sudah dijejali penuh dengan air sejak di SD (bahkan dari TK) sampai SMA.  Makanya ketika kuliah gelasnya sudah penuh, kalau diisi air lagi..tumpah terus.   Analogi ini mungkin bisa sedikit menjelaskan pengalaman saya menghadapi mahasiswa yang terkadang tak bisa lagi mengerti logika sederhana atau hitungan matematika yang sangat sederhana sekalipun.  Tentu saja hal ini tidak terjadi pada semua anak.  Selalu saja ada anak cerdas atau super cerdas yang punya kemampuan lebih dalam mencerna semua materi pelajaran.  

 

Hal lain yang saya amati dalam sistem pendidikan sekolah kita umumnya adalah, kurangnya komunikasi antara guru dan orangtua.  Kalau di UK setiap semester ada  pertemuan guru-orangtua, sebagai ajang guru menjelaskan kemajuan si anak, sekaligus sebagai orangtua bertanya tentang ini-itu seputar pendidikan si anak.  Mungkin di sekolah-sekolah swasta mahal, pertemuan seperti ini sudah ada, tapi saya diperhatikan di sekolah Irham dan Ilman, acara seperti ini tidak ada sama sekali.

 

Karena itu saya yang memang selalu cerewet bertanya tentang anak-anak saya jadi  harus membatasi diri.  Seorang teman mengingatkan saya bahwa tidak semua guru bisa menerima kritikan atau masukan dari orangtua.  Apalagi kalau saya membanding-bandingkan dengan sistem di UK.  Bisa gawat...!!

 

Bukan maksud saya  bertubi-tubi memberi kesan negatif akan pendidikan kita.  Wong saya juga produk pendidikan dalam negeri koq.   Sampai S1..saya sekolah di Indonesia teruss, dan hasilnya not bad at all  (hi..hi...muji diri dikit).  Atau mungkin ini karena sistem pendidikan saat saya di SD-SMA dulu berbeda dengan sekarang ?

 

Karena persaingan yang begitu ketat untuk mendapat pendidikan yang baik, anak-anak kita terpacu untuk belajar keras dan meraih prestasi.  Menurut saya itu sisi positif.   Ketika di UK dulu.., saya mengamati  umumnya anak-anak kita yang bersekolah di sana cenderung sopan-sopan, patuh dan gak pernah bikin ribut.  Bagi guru-guru di UK ini sangat menyenangkan.  Itu juga sisi positif sistem pendidikan kita.   Bener kan ?

 

Jadi kawan, tulisan saya sama sekali tak bermaksud melulu menjelek-jelekkan sistem pendidikan kita.  Ini hanya ungkapan rasa hati dan pikiran saya sebagai orangtua yang juga bersinggungan sedikit dengan dunia pendidikan di Indonesia. 

 

Bagi anak-anak saya, kesempatan sekolah di UK selama beberapa tahun saya harapkan menjadi pengalaman berharga untuk mereka, yang mungkin belum terasa sekarang.  Kelak.., Insya Allah mereka bisa menghargai kesempatan itu...dan menjadikannya sebagai bagian dari setumpuk bekal yang harus mereka kumpulkan dalam meniti hari depan.

 

Banda Aceh, 20 Juni 2008

Lily

.

Thursday, June 19, 2008

Bungaku Cantik Sekali




Sejak kembali ke rumah sendiri di Banda Aceh, saya jadi bisa kembali melakukan kegiatan yang menjadi hobby saya, yaitu mengurus tanaman di halaman !

Sebagai langkah awal.., saya hanya menata dan merapikan kembali semua tanaman yang telah ada di halaman saya. Memangkas tanaman, mengganti tanah, mengganti pot, dsb itulah yang saya lakukan beberapa bulan terakhir ini. Hasilnya..., Alhamdulillah tanaman saya terlihat lebih segar dan bunga-bunga bermunculan.

Saya ingin membagi keindahan bunga-bunga tropis ini dengan teman semua. Ini adalah album pertama sejak saya kembali ke kampung halaman. Bunga-bunga ini saya tangkap dari halaman saya sesudah hujan reda. Menikmati tanaman pasca hujan memang kesenangan saya juga.

Selamat menikmati...

Tuesday, June 17, 2008

Sekolah Baru: Six Months On….(1)

Ujian kenaikan kelas alias ujian akhir semester bagi anak-anak SD dan SMP sudah usai.  Saya ikut lega.  Iya..nih, setelah ikut deg-degan mendampingi anak-anak belajar setiap hari, saya bisa bernafas lega.  Tinggal tunggu hasilnya.

 

Selama 6 bulan saya memang terus mendampingi proses penyesuaian the boys di sekolah baru mereka.  Secara aktif saya berusaha memudahkan adaptasi mereka, terutama dengan sistem pembelajaran  dan subjek pelajaran yang jauh berbeda dengan yang mereka jalani selama di UK.

 

Bagi Irham, si tengah, yang kini duduk di kelas 2 SMP, kelihatannya proses ini sedikit lebih mudah.  Mungkin karena Irham sempat bersekolah sampai kelas IV SD sebelum kami berangkat ke leeds 2004 lalu.  Namun, bagi Ilman si bungsu, prosesnya sedikit lebih lamban.  Praktis dia memulai sekolah SD-nya di UK, karena dia masuk kelas I primary school di Leeds.  Sekarang ketika kembali ke SD di Banda Aceh, Ilman sudah duduk di kelas V.  Banyak sekali yang harus dikejar Ilman, untuk menyesuaikan diri dengan sekolah baru-nya.

 

Terus terang saya ikut mengerutkan kening melihat materi pelajaran anak-anak SD, terutama kelas V SD.  Terlalu berat dan padat  !  Itu sih menurut saya.  Beban anak-anak terlalu berlebihan dan sudah diluar kemampuan anak-anak seusia mereka.  Aduh…bisa-bisa saya dikejar Departemen Pendidikan Nasional karena mengatakan hal ini.

 

Kembali ke anak-anak saya, Irham memang lebih santai dan rilek menghadapi sekolah barunya, meskipun tak jarang dia komplain juga tentang sistem yang berlaku.  Bagi Ilman yang lebih serius dan gampang cemas, hari-hari sekolah tidak selalu membuatnya nyaman dan gembira.  Sewaktu di Leeds, sepanjang jalan pulang sekolah dengan gembira dan penuh semangat dia bercerita tentang aktivitas sekolahnya, tentang pelajaran baru, tentang teman-temannya, tentang guru-gurunya, dsb.  Kini, segalanya berubah.  Sepanjang perjalanan pulang sekolah, di dalam mobil Ilman lebih banyak diam dengan wajah lesu.  Kalaupun menjawab pertanyaan saya, Ilman lebih memilih jawaban singkat tanpa penjelasan macam-macam.  ’ I am tired’, itu selalu katanya.

 

 Saya kehilangan semangat dan keceriaan Ilman.  Semangatnya bercerita baru kembali usai menonton acara-acara yang disukainya di National Geographic TV.  Mendengar dia menjelaskan tentang bagaimana tsunami terjadi, tentang pesawat airbus type A380 yang begitu menakjubkan hatinya, tentang ’amazing structures in the world’, membuat saya kadang ikut takjub dengan pengetahuannya.  Secara subjektif sebagai ibu, saya menganggap si bungsu Ilman mempunyai pengetahuan umum yang rata-rata sedikit di atas anak-anak seusianya (mudah-mudahan saya tidak terkesan sombong).

 

Di sekolah, menurut guru kelasnya Ilman termasuk anak yang cerdas, terutama untuk pelajaran matematika dan IPA.  Ilman memang menyukai kedua pelajaran ini.  Sedangkan untuk pelajaran Bhs Inggris, alhamdulillah dia juga gak punya masalah.  Dia sering jadi tempat bertanya bagi teman-temannya kala mereka kebingungan atau tidak mengerti dalam bhs Ingggris.  Ilman pernah berkata pada saya: ’My friends are better and better in English now ’.   Ketika saya bertanya: ‘ How come ?’ Dengan bangga dia berkata:  ‘Because I teach them ‘ (he..he...).

Bagaimana pelajaran lain ?  Tentu saja tidak gampang mengejar 5 tahun ketinggalannya, terutama untuk pelajaran yang berhubungan dengan ke-indonesiaan, seperti B. Indonesia, PPKN,  dan IPS.  Ilman agak kelabakan dengan semua pelajaran ini.  Bukan hanya dengan isi pelajarannya, tapi masalah bahasa juga menjadi kendala besar bagi Ilman, terutama dalam hal menulis.  Seringkali saya dan Ayah-nya harus menjelaskan dulu setiap kalimat yang dibacanya ke dalam bhs Inggris baru menuliskan lagi ke bhs Indonesia.  Itu sebuah proses memang, yang mau tidak mau harus dilalui Ilman.

 

Yang membuat saya kadang ikut prihatin adalah hilangnya semangat dan keceriaan Ilman menjalani aktivitas sekolahnya.  Terlebih saat ujian kemarin.  Hampir setiap hari dia bertanya: ’How will I do in the exams ?’  ‘What happened if I fail?’  ‘Will I stay in year 5 for another year?’.  Saya merasa iba dan terenyuh mendengar semua pertanyaannya.  Kelihatannya dia begitu kuatir dan cemas.  Bagitu ujian usai Ilman sempat demam dan mual selama beberapa hari.  Saya duga ini berhubungan dengan tekanan hatinya saat ujian.  Dia stress…gitu.

 

Saya senantiasa berusaha untuk tidak menambah beban mereka.  Saya tidak pernah memaksa mereka untuk menjadi yang murid yang paling pintar di kelas.  Saya selalu mengatakan pada ketiga anak saya: ’Do your best ’.  ’Don’t worry too much about the results’.  

 

Sayangnya guru Ilman di kelas tanpa disadari justru menambah level stress si bungsu saya ini.  Mungkin dengan maksud membakar semangat mereka yang tidak terlalu bagus nilainya saat ujian semester I, sang ibu guru memajang ranking semua anak di kelas 5 semester lalu (Des-Jan).  Dan Ilman yang saat itu baru sebulanan berada di tanah air harus puas dengan ranking 8 dari bawah diantara teman-teman lain.   Niat ibu guru tidak sejalan dengan akibat yang dirasakan Ilman.  Dia pulang ke rumah dengan wajah sedih dan berkata: ‘ I think I am now is one of the stupid pupils in the class’.  Jadi siapa bilang sistem ranking di kelas tidak mempengaruhi jiwa anak ?  

 

Kini setelah ujian usai, Ilman terlihat lebih ceria.  Dia tak terlalu kuatir lagi bakal tinggal kelas.  ’I think I could answer around 50-60 % of the question in most subjects’.  ‘Would it be enough for me to go to year 6 ?’  Saya meyakinkannya dengan berkata: ‘ I know you worked very hard’ .  ‘Sure you will pass the exams…’.

  

Raport akan dibagikan Sabtu 21 Juni ini.  Saya cukup yakin Insya Allah mereka akan baik-baik saja.  Mereka sudah belajar keras untuk bisa beradaptasi di kelas.  Mereka hanya masih butuh waktu  untuk bisa merasa nyaman dan mengejar ketinggalan mereka.  Terutama dengan sistem ujian di sekolah kita.  Soalnya saat di Leeds, anak-anak SD tidak pernah menjalani ujian yang bikin stress begitu.

 

Saya sendiri kadang bersikap mendua tentang masalah yang dihadapi anak-anak saya di sekolah.  Di satu sisi, secara pribadi banyak hal yang tidak saya setujui dengan sistem yang berlaku, di sisi lain saya justru mengajarkan anak-anak saya untuk menghadapi semua itu sebagai bagian dari hal yang harus mereka terima.  Mungkin keputusan saya tidak ideal, tapi saat ini itulah keputusan yang saya anggap bijaksana, mengingat saya harus berhati-hati sekali kalau mau mengkritik atau memberi saran untuk guru.  Not many teachers will be happy to hear that !

 

Untuk teman-teman semua, mohon saran untuk saya ya...

 

Banda Aceh, 17 Juni 2008

lily

 

Tuesday, June 3, 2008

Tugu Mini Pengingat Tsunami

Banda Aceh kini terlihat semakin padat.  Terutama di pusat kota. Sekilas tak terlihat lagi bekas hantaman tsunami, meskipun  beberapa sudut kota sempat berantakan diterjang gelombang air hampir empat tahun lalu. Tapi cobalah menyusuri wilayah Banda Aceh yang berbatasan dengan pantai, jejak tsunami masih tersisa dengan jelas di sana.

 

Kalau Anda menyusuri Ulee Lheu misalnya.  Ulee Lheu adalah salah satu pelabuhan laut yang berjarak sekitar 10 km dari pusat kota.  Di antara geliat bangunan baru yang sedang bermunculan, terselip bekas reruntuhan rumah, sekolah atau bangunan lainnya yang menjadi saksi bisu besarnya gelombang yang menghempas kota.  Ada bagian dari tangga rumah, bagian dari bak kamar mandi, atau tiang-tiang bagian dari kelas sebuah sekolah. 

 

 

Melihat sisa-sisa bangunan itu ada rasa yang begitu sulit diungkapkan.  Rasa yang menghimpit hati dan pikiran, yang akhirnya lagi-lagi menyadarkan saya, betapa lemahnya kita manusia di hadapan-Nya.  Berada di antara sisa-sisa reruntuhan itu, saya masih bisa merasakan aura kehidupan di sana.  Saya seperti bisa merasakan anak-anak yang berlari riang di Minggu pagi, atau kesibukan orang tua menjalani aktivitas sehari-hari.  Terutama mungkin karena saya tahu begitu padatnya wilayah tersebut sebelum tsunami.

 

 

Apakah itu saja pengingat musibah besar di kota saya tahun 2004 lalu ?  Kalau kita jeli, ada hal lain yang akan selalu mengingatkan kita akan kejadian Minggu pagi itu.  Di setiap wilayah yang terkena hempasan air kini dibangun tugu kecil sederhana pertanda bagaimana situasi di wilayah tersebut.  Tugunya berkontruksi beton dengan bentuk segi empat pada bagian dasarnya.  Di atas landasan beton ini, berdiri beton bulat tinggi seperti tiang dengan diameter sekitar 40 cm.  Di puncak tiang ini terdapat kontruksi berbentuk oval, mirip bunga melati sebelum mekar. 

 

Ketinggian tiang menggambarkan tingginya air yang menerjang wilayah tersebut saat tsunami. Ketinggian air ditandai dengan garis biru melingkar pada pangkal kontruksi oval. Keterangan tertulis dijumpai di bagain dasar tiang.  Di sini ditulis info no tugu, pembangun tugu (Rakyat Jepang).  Juga  tertulis ketinggian air dalam satuan meter, jarak lokasi tugu dari pantai terdekat, juga perkiraan tibanya air di lokasi tersebut.  Sederhana memang.  Tapi tugu ini sudah cukup menggambarkan musibah hari itu.

 

 

Tugu-tugu mini ini umumnya dibangun dalam pekarangan bangunan umum, seperti halaman sekolah atau pusat perbelanjaan.  Tentu saja makin dekat lokasi tugu dengan pantai terdekat, makin tinggi air tercatat di wilayah itu.  Di Alue Deah teungoh, misalnya.  Desa yang berjarak 0, 5 km dari pantai ini, ketinggian air mencapai lebih dari 7 meter.   Ditambah kecepatan gelombangnya yang hampir 500 km/jam, air yang menghantam  desa asal suami saya ini praktis membuat hampir semua bangunannya menjadi rata dengan tanah.

 

Ada berapa jumlah tugu ini di seputar Banda Aceh ?  Aduh..sorry banget ya..kawan, saya belum sempat menghitung semuanya.

Banda Aceh, awal Juni 2008