Ujian kenaikan kelas alias ujian akhir semester bagi anak-anak SD dan SMP sudah usai. Saya ikut lega. Iya..nih, setelah ikut deg-degan mendampingi anak-anak belajar setiap hari, saya bisa bernafas lega. Tinggal tunggu hasilnya.
Selama 6 bulan saya memang terus mendampingi proses penyesuaian the boys di sekolah baru mereka. Secara aktif saya berusaha memudahkan adaptasi mereka, terutama dengan sistem pembelajaran dan subjek pelajaran yang jauh berbeda dengan yang mereka jalani selama di UK.
Bagi Irham, si tengah, yang kini duduk di kelas 2 SMP, kelihatannya proses ini sedikit lebih mudah. Mungkin karena Irham sempat bersekolah sampai kelas IV SD sebelum kami berangkat ke leeds 2004 lalu. Namun, bagi Ilman si bungsu, prosesnya sedikit lebih lamban. Praktis dia memulai sekolah SD-nya di UK, karena dia masuk kelas I primary school di Leeds. Sekarang ketika kembali ke SD di Banda Aceh, Ilman sudah duduk di kelas V. Banyak sekali yang harus dikejar Ilman, untuk menyesuaikan diri dengan sekolah baru-nya.
Terus terang saya ikut mengerutkan kening melihat materi pelajaran anak-anak SD, terutama kelas V SD. Terlalu berat dan padat ! Itu sih menurut saya. Beban anak-anak terlalu berlebihan dan sudah diluar kemampuan anak-anak seusia mereka. Aduh…bisa-bisa saya dikejar Departemen Pendidikan Nasional karena mengatakan hal ini.

Kembali ke anak-anak saya, Irham memang lebih santai dan rilek menghadapi sekolah barunya, meskipun tak jarang dia komplain juga tentang sistem yang berlaku. Bagi Ilman yang lebih serius dan gampang cemas, hari-hari sekolah tidak selalu membuatnya nyaman dan gembira. Sewaktu di Leeds, sepanjang jalan pulang sekolah dengan gembira dan penuh semangat dia bercerita tentang aktivitas sekolahnya, tentang pelajaran baru, tentang teman-temannya, tentang guru-gurunya, dsb. Kini, segalanya berubah. Sepanjang perjalanan pulang sekolah, di dalam mobil Ilman lebih banyak diam dengan wajah lesu. Kalaupun menjawab pertanyaan saya, Ilman lebih memilih jawaban singkat tanpa penjelasan macam-macam. ’ I am tired’, itu selalu katanya.
Saya kehilangan semangat dan keceriaan Ilman. Semangatnya bercerita baru kembali usai menonton acara-acara yang disukainya di National Geographic TV. Mendengar dia menjelaskan tentang bagaimana tsunami terjadi, tentang pesawat airbus type A380 yang begitu menakjubkan hatinya, tentang ’amazing structures in the world’, membuat saya kadang ikut takjub dengan pengetahuannya. Secara subjektif sebagai ibu, saya menganggap si bungsu Ilman mempunyai pengetahuan umum yang rata-rata sedikit di atas anak-anak seusianya (mudah-mudahan saya tidak terkesan sombong).
Di sekolah, menurut guru kelasnya Ilman termasuk anak yang cerdas, terutama untuk pelajaran matematika dan IPA. Ilman memang menyukai kedua pelajaran ini. Sedangkan untuk pelajaran Bhs Inggris, alhamdulillah dia juga gak punya masalah. Dia sering jadi tempat bertanya bagi teman-temannya kala mereka kebingungan atau tidak mengerti dalam bhs Ingggris. Ilman pernah berkata pada saya: ’My friends are better and better in English now ’. Ketika saya bertanya: ‘ How come ?’ Dengan bangga dia berkata: ‘Because I teach them ‘ (he..he...).
Bagaimana pelajaran lain ? Tentu saja tidak gampang mengejar 5 tahun ketinggalannya, terutama untuk pelajaran yang berhubungan dengan ke-indonesiaan, seperti B. Indonesia, PPKN, dan IPS. Ilman agak kelabakan dengan semua pelajaran ini. Bukan hanya dengan isi pelajarannya, tapi masalah bahasa juga menjadi kendala besar bagi Ilman, terutama dalam hal menulis. Seringkali saya dan Ayah-nya harus menjelaskan dulu setiap kalimat yang dibacanya ke dalam bhs Inggris baru menuliskan lagi ke bhs Indonesia. Itu sebuah proses memang, yang mau tidak mau harus dilalui Ilman.
Yang membuat saya kadang ikut prihatin adalah hilangnya semangat dan keceriaan Ilman menjalani aktivitas sekolahnya. Terlebih saat ujian kemarin. Hampir setiap hari dia bertanya: ’How will I do in the exams ?’ ‘What happened if I fail?’ ‘Will I stay in year 5 for another year?’. Saya merasa iba dan terenyuh mendengar semua pertanyaannya. Kelihatannya dia begitu kuatir dan cemas. Bagitu ujian usai Ilman sempat demam dan mual selama beberapa hari. Saya duga ini berhubungan dengan tekanan hatinya saat ujian. Dia stress…gitu.
Saya senantiasa berusaha untuk tidak menambah beban mereka. Saya tidak pernah memaksa mereka untuk menjadi yang murid yang paling pintar di kelas. Saya selalu mengatakan pada ketiga anak saya: ’Do your best ’. ’Don’t worry too much about the results’.
Sayangnya guru Ilman di kelas tanpa disadari justru menambah level stress si bungsu saya ini. Mungkin dengan maksud membakar semangat mereka yang tidak terlalu bagus nilainya saat ujian semester I, sang ibu guru memajang ranking semua anak di kelas 5 semester lalu (Des-Jan). Dan Ilman yang saat itu baru sebulanan berada di tanah air harus puas dengan ranking 8 dari bawah diantara teman-teman lain. Niat ibu guru tidak sejalan dengan akibat yang dirasakan Ilman. Dia pulang ke rumah dengan wajah sedih dan berkata: ‘ I think I am now is one of the stupid pupils in the class’. Jadi siapa bilang sistem ranking di kelas tidak mempengaruhi jiwa anak ?
Kini setelah ujian usai, Ilman terlihat lebih ceria. Dia tak terlalu kuatir lagi bakal tinggal kelas. ’I think I could answer around 50-60 % of the question in most subjects’. ‘Would it be enough for me to go to year 6 ?’ Saya meyakinkannya dengan berkata: ‘ I know you worked very hard’ . ‘Sure you will pass the exams…’.
Raport akan dibagikan Sabtu 21 Juni ini. Saya cukup yakin Insya Allah mereka akan baik-baik saja. Mereka sudah belajar keras untuk bisa beradaptasi di kelas. Mereka hanya masih butuh waktu untuk bisa merasa nyaman dan mengejar ketinggalan mereka. Terutama dengan sistem ujian di sekolah kita. Soalnya saat di Leeds, anak-anak SD tidak pernah menjalani ujian yang bikin stress begitu.
Saya sendiri kadang bersikap mendua tentang masalah yang dihadapi anak-anak saya di sekolah. Di satu sisi, secara pribadi banyak hal yang tidak saya setujui dengan sistem yang berlaku, di sisi lain saya justru mengajarkan anak-anak saya untuk menghadapi semua itu sebagai bagian dari hal yang harus mereka terima. Mungkin keputusan saya tidak ideal, tapi saat ini itulah keputusan yang saya anggap bijaksana, mengingat saya harus berhati-hati sekali kalau mau mengkritik atau memberi saran untuk guru. Not many teachers will be happy to hear that !
Untuk teman-teman semua, mohon saran untuk saya ya...
Banda Aceh, 17 Juni 2008
lily