Teman-teman pasti masih ingat lagu ‘Dari Sabang sampai Merauke’
Saya boleh saja berbangga hati karena sudah pernah hidup survive sendiri selama beberapa tahun di P. Jawa. Atau pernah merantau dan menjelajah sampai ke Benua Amerika dan Eropah, tapi saya selalu ditertawakan teman-teman karena belum pernah menginjakkan kaki di Pulau Weh. Masa lahir dan besar di Banda Aceh, tapi belum pernah ke kota selalu disebut dalam lagu wajib anak SD? Lho..emang apa sih istimewanya kota satu ini ?
Sejak sebelum masa liburan kenaikan kelas anak-anak tiba, saya sudah sepakat dengan si Abang untuk memperkenalkan kota Sabang pada anak-anak (sebenarnya sih..saya yang mau mengenal kota ini hi..hii). Kota yang saat ujian IPS Ilman di kelas V merupakan jawaban dari pertanyaan : ’Kota manakah yang terletak paling barat dari wilayah Indonesia ?’ Kebetulan pada saat yang bersamaan si sulung juga pulang liburan semester pendek, jadi lengkaplah liburan kami sekeluarga.
Kami berangkat pagi hari Kamis, 26 Juni melalui pelabuhan sementara Ulee Lheue dengan menumpang KM Express Bahari. Kapal motor yang kami tumpangi tsb cukup bersih dan nyaman, full AC, dengan harga satu kursi sebesar Rp. 60.000,-. Cuaca cukup cerah sepanjang perjalanan laut yang hanya butuh waktu 45 menit ini.
Tiba di Pelabuhan Balohan, Sabang, kami di sambut teman lama si Abang yang berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada kami selama liburan di sana. Sesudah kangen-kangenan, kami segera beranjak meninggalkan pelabuhan. Berbekal ingatan si Abang mengunjungi Sabang di masa lalu, mulailah..’lima sekawan’ dari Banda ini bertualang mengubek-ngubek pulau Weh yang luasnya 153 km persegi. Tujuan pertama adalah mencari penginapan.
Memasuki jalan utama di kota perpenduduk sekitar 22.000-an jiwa ini, saya langsung merasakan suasana yang berbeda dengan di Banda Aceh. Jalan-jalan terlihat sepi dan bersih. Tak ada kemacetan, tak ada yang terburu-buru, tak ada klakson mobil atau motor. Padahal hari itu tengah hari kerja.., yang meskipun liburan sekolah, seharusnya kelihatan sibuk dimana-mana. Suasana seperti ini terus terasa selama 2 hari kami di sana. Kesibukan baru terlihat kalau kita menyusuri Jl. Perdagangan, suasana khas pasar dan arena jual beli. Sampai-sampai Kak Lila berkomentar: ’It seems time passes very slowly here, nobody in a rush..’
Yang paling menyenangkan adalah jalan-jalan utama yang membelah Sabang masih sangat teduh oleh jejeran pohon rindang yang sudah berusia puluhan tahun. Akibatnya cuaca jadi tak terasa sepanas Banda Aceh.
Atas rekomendasi seorang sepupu kami mendatangi penginapan ’Santai Sumur Tiga’ yang terletak di lereng berbukit di tepi pantai ’Sumur Tiga’. Saya cukup yakin akan mendapat kamar di ‘beach house’ yang dikelola seorang bule asal Afrika Selatan ini. Ternyata kami harus menggigit jari, semua kamar penuh ! Padahal setelah melihat suasana penginapan yang begitu cantik dan alami, anak-anak sudah sangat semangat untuk bermalam di
Setelah mengubeg-ubeg beberapa penginapan tepi pantai yang semuanya penuh (oleh wisatawan asing dan group kantor yang sedang ber-workshop), kami akhirnya memutuskan untuk menginap di guest house kecil di tengah kota. Usai bongkar barang dan shalat zuhur.., kami jalan lagi untuk cari makan siang.
Perut kenyang plus alunan musik di mobil membuat si bungsu Ilman mulai mengantuk. ’Let’s go back to the hotel. I am so sleepy’, katanya. Keinginan si bungsu ditolak Ayah-nya. Lho..mau jalan-jalan koq malah ngendon di kamar hotel. Siang itu kami keliling Sabang, melihat situasi sebelum memutuskan jalan kemana. Ketika melihat tanda di jalan yang menunjukkan ’Tugu Kilometer Nol’, kami memutuskan untuk menuju ke sana.
Ya..kalau ada yang belum tahu, salah satu monumen penting di Sabang adalah Tugu Kilometer Nol Indonesia, lokasi darimana wilayah tanah air kita ini mulai diukur. Letaknya sebenarnya tidak begitu jauh dari pusat kota Sabang, sekitar 29 km sebelah barat kota. Hanya saja medan yang dilalui cukup rumit, penuh tanjakan dan belokan tiba-tiba di tepi tebing yang curam berbatas laut. Belum lagi jalan yang mulai berbatu sejak 15 km menjelang tiba di lokasi.
Tapi semua kerumitan itu berbuah hal indah bagi kami sekeluarga yang memang senang bertualang. Untuk mencapai Tugu Km Nol tsb, kami harus melalui pantai-pantai yang terlihat sangat cantik dari atas bukit, ada Pantai Gapang, Pantai Iboih yang merupakan lokasi favorit wisatawan asing untuk ber-snorkling atau diving. Kami juga harus melalui hutan lindung yang sarat dengan berbagai jenis pohon tropis. Kanopi pohon saling-silang menutupi bagian atas jalan yang kami lewati. Kami terasa melewati hutan belantara untuk mencari harta karun.... Suasananya sangat alami..dengan kicauan burung yang bersahut-sahutan.
Bukan itu saja..., saat sedang terpesona dengan suasana indah ini..(tentu saja tidak indah bagi mereka yang tidak suka suasana alami nan sepi..), kami dikejutkan oleh kemunculan
sekelompok monyet/kera yang muncul tiba-tiba di tengah jalan. Kelompok monyet ini kelihatan sangat ’friendly’. Mereka rupanya menunggu pengendara motor/mobil melemparkan makanan. He..he..ada keasyikan sendiri melihat bagaimana mereka berebut makanan yang kami lemparkan.
Tak banyak pengunjung yang terlihat di ’Tugu Kilometer Nol’ saat kami tiba di
Tugu Kilometer Nol terletak pada ketinggian 43.6 m, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Tugu ini sebenarnya baru ditetapkan pada tahun 1997, setelah penelitian ulang dengan menggunakan GPS untuk menentukan lokasi paling barat
Berada di lokasi tugu ini, ada yang membuat saya sedikit tak nyaman. Tugunya berbentuk unik dan dibangun di atas fondasi yang cukup tinggi. Di sekitarnya ada beberapa prasasti yang menandai tugu kilometer nol. Hanya saja..ini..dia..,di mana-mana penuh coretan tidak jelas. Belum lagi sampah berserakan yang bikin sakit mata. ( Kapan ya…masyarakat kita bisa menghargai kebersihan dan keteraturan ruang publik ?)
Saat kami meninggalkan lokasi tugu sore itu, Irham berkomentar: ’So, we have been here..,the westernest part of
Banda Aceh, awal Juli 2008
ke merauke... siapa takut... heheheh gak usah ajak2 ya irham, mo liat fotonya aja deh... tapi kalo ke sabang lagi boleh deh ajak2 ya, moga2 lain kali santai sumur tiga-nya lowong yah...
ReplyDeletewaaaaaaaaaaaaaaa huaaaaaaaaahuaaaaaaaaaa...............
ReplyDeletekangen dengan Sabangkuuuuuuuuuu............
bu lili dah sampe akhirnya ya bu ke Sabang akmal nan permai hehehe
Kerinduan akan Sabang, kampung halamanku semakin membara nih hiks hiks hiks
kak lily.. senang baca cerita petualangan 5 sekawan lagi... kangen banget ama kak lily sekeluarga.. sampai si khansa pun masih ingat ama bang ilman dan irham.. btw.. k' lila lagi liburan juga yah kak ?.. pingin banget main ke aceh someday... salam kangen buat kak lily sekeluarga dari kami.. btw.. sejak 2 juli hingga 11 agust nanti ..cuma saya dan khansa yg di rumah kak.. philip dapet tugas ngajar di Winchester, Portsmouth
ReplyDeletehiks,,,pulanggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
ReplyDeletegggggggggggggggggggggggggggggggggggggg
irham benar tu kak lily, harus pergi ke merauke kapan2 hehehe...pasti lebih seruuu
ReplyDeleteayo..Yuana, Serkan dan Dilara.., ke Sabang kita rame-rame.... Nginap di Santai Sumur Tiga...he..he...
ReplyDeletesaat di sana kami teringat rumah Akmal dimana ya.... Ntar kalau Akmal pulang...ajak saya main ke Sabang lagi ya...
ReplyDeleteIya..Ning, kami juga sering cerita tentang Khansa. Insya Allah nanti kalau Ning sekel jadi mudik ke Padang.., main ke Banda ya... Pokoknya akomodasi aman.., tinggal beli tiket padang-banda aja. Sippp kan ? Good luck buat Philip !
ReplyDeleteayo pulang kampung Yudi....saya tunggu
ReplyDeleteiya sih...ntar dia aja yang pergi..,Cicik mau ikut ?
ReplyDeleteWah Bu Lily, hesti juga sempat malu kalau ada teman kuliah di Bogor yang nanya Sabang seperti apa. Habis, belum pernah berkunjung ke sana sih. Alhasil setelah beberapa hari nikah, hesti langsung ke sana bareng suami hehehe...
ReplyDeletehe..he...ternyata saya tidak sendiri nih. Tapi lebih parah saya ya Hesti. Baru sekarang perginya. Btw, pa kabar ?
ReplyDeleteSaya juga baru saja menghabiskan liburan tiga hari di Iboih. Indah betul yaa di sana....
ReplyDeletebener kan |? Tapi saya dengar coral reef-nya banyak yang sudah rusak lho !
ReplyDeletetugu kilometer nol adalah tugu baru yang lebih representatif, sementara tugu "asli" nya yang merupakan tugu kembar dg yang di merauke ada 7 km dari tugu km 0 tersbut, selengkapnya dapat dibaca di http://b0cah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=694&Itemid=45, semoga bermanfaat
ReplyDeletetrims info-nya
ReplyDeletewahh wahh mbak, saya punya rencana kesana neh..
ReplyDeletenanti boleh tanya2 referensi tempat asyik disana ya..
boleh...aja...kapan rencananya ?
ReplyDelete