Desember menjelang lagi. Empat tahun terakhir ini bulan Desember selalu menarik saya kembali pada kejadian akhir tahun 2004 lalu. Saat waktu seakan berhenti untuk saya. Entah sampai kapan saya akan merasakan hal seperti ini. Lantas dimanakah saya berada kini ? Ini pertanyaan rutin bagi diri saya sendiri setiap akhir tahun
Sejak masih di
Benarkah demikian ? Kadang saya terbebani juga dengan komentar mereka. Secara fisik mungkin tak banyak orang yang tahu saya masih menyimpan duka yang teramat dalam. Habis, saya masih suka ber ha...ha..hi..hi sana sini kalau lagi ngumpul dengan teman-teman. Semangat saya masih cukup tinggi untuk terus belajar berbagai hal. Saya juga tak kurang semangat untuk mengajar dan berdiskusi dengan mahasiswa. Belum lagi berat badan saya yang naik terus sejak pulang ke tanah air. Itu kan berarti saya bisa makan enak. Masa sih saya masih sedih ?
But believe me my friends. I am not that strong. Saya masih saja tersedak dan kehilangan selera makan saat di suatu hajatan bertemu teman alm Ibu yang dengan wajah polos bertanya bagaimana kabar ibu saya.
Air mata saya masih mengalir tak terasa setiap melewati jalan-jalan atau lokasi yang sering saya datangi bersama alm adik-adik saya dulu.
Saya masih saja merasa sesak saat bertemu teman-teman alm adik-adik saya di kampus. Saya sering terhenyak tak mampu berbicara ketika anak-anak saya dengan riangnya bercerita tentang kenangan manis bersama kakek-nenek mereka dulu. Tentang Bunda cut (pangilan mereka untuk alm dik Susy) dan Abit (alm dik Adi) yang begitu penuh perhatian kepada mereka.
Saya masih sering sedih setiap mendengar ucapan bahwa tsunami telah banyak membawa hikmah bagi Aceh. Malah ada yang berkata tsunami adalah rahmat bagi orang Aceh.
Bukan saya mengelak dari kenyataan bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Saya hanya sulit sekali menerima bahwa seakan-akan kesedihan akan begitu banyak kematian orang di Aceh dapat dihapuskan begitu saja dengan banyaknya materi yang mengalir ke daerah saya. Bagi sebagian orang, korban tsunami mungkin hanya sekedar angka dan data statistik yang dimunculkan bila perlu. Tapi bagi saya mereka adalah jiwa orang-orang yang begitu saya kasihi dan cintai.
Saya dan adik saya, Haris, sampai kini tak pernah lagi menyinggung kejadian hari itu. Kami seakan memilih untuk bercerita hal lain yang tidak membangkitkan kenangan akan hari-hari pahit pasca tsunami dulu.
Bukan saya tidak berusaha untuk menghapus duka. Si Abang selalu mengingatkan saya, sudah waktunya bagi saya untuk bisa mengingat mereka yang telah tiada dengan hati yang ringan dan riang, demi kenangan indah saat masih bersama dulu. Ingat masa-masa manis dan bahagia bersama mereka dulu ! Itu kata si abang selalu saat berpaling kepadanya ketika rasa duka begitu menyeruak dari hati saya.
Saya berusaha dan berdoa. Lebaran lalu, saya memutusakan untuk menggantung foto terakhir kami empat bersaudara. Foto itu diambil saat Idul Fitri akhir tahun 2002. Walaupun terkadang saya masih terpaku sedih setiap memandang foto tesebut, si Abang menguatkan saya bahwa saya pasti bisa mengatasinya.
Saya lebih memilih untuk pergi menghindar atau setidaknya tak berkomentar apapun setiap ada obrolan tentang hari Minggu 26 Desember 2004 lalu. Saya baik-baik saja selama pikiran dan hati saya tak terbawa kepada mereka yang telah tiada.
Banda Aceh, 4 Desember 2008



