Friday, December 26, 2008

Kata Hati: I am not that strong

 

Desember menjelang lagi.   Empat tahun terakhir ini bulan Desember selalu menarik saya kembali pada kejadian akhir tahun 2004 lalu. Saat waktu seakan berhenti untuk saya.  Entah sampai kapan saya akan merasakan hal seperti ini.  Lantas dimanakah saya berada kini ?  Ini pertanyaan rutin bagi diri saya sendiri setiap akhir tahun

 

Sejak masih di Leeds sampai sekarang setahun sesudah kembali ke kampung halaman, saya sering mendengar komentar teman-teman bahwa begitu kuat dan tabahnya saya menghadapi musibah yang telah membawa hampir semua keluarga besar saya kembali kepada-Nya.

 

 

Benarkah demikian ?  Kadang saya terbebani juga dengan komentar mereka.  Secara fisik mungkin tak banyak orang yang tahu saya masih menyimpan duka yang teramat dalam.  Habis, saya masih suka ber ha...ha..hi..hi sana sini kalau lagi ngumpul dengan teman-teman.  Semangat saya masih cukup tinggi untuk terus belajar berbagai hal. Saya juga tak kurang semangat untuk mengajar dan berdiskusi dengan mahasiswa.   Belum lagi berat badan saya yang naik terus sejak pulang ke tanah air.  Itu kan berarti saya bisa makan enak.  Masa sih saya masih sedih ?

 

 

But believe me my friends.  I am not that strong.  Saya masih saja tersedak dan kehilangan selera makan saat di suatu hajatan bertemu teman alm Ibu yang dengan wajah polos bertanya bagaimana kabar ibu saya.

 

Air mata saya masih mengalir tak terasa setiap melewati jalan-jalan atau lokasi yang sering saya datangi bersama alm adik-adik saya dulu. 

 

Saya masih saja merasa sesak saat bertemu teman-teman alm adik-adik saya di kampus.  Saya sering terhenyak tak mampu berbicara ketika anak-anak saya dengan riangnya bercerita tentang kenangan manis bersama kakek-nenek mereka dulu.  Tentang Bunda cut (pangilan mereka untuk alm dik Susy) dan Abit (alm dik Adi) yang begitu penuh perhatian kepada mereka.

 

 

Saya masih sering sedih  setiap mendengar ucapan bahwa tsunami telah banyak membawa hikmah bagi Aceh.  Malah ada yang berkata tsunami adalah rahmat bagi orang Aceh.

 

 

Bukan saya mengelak dari kenyataan bahwa setiap peristiwa pasti ada hikmahnya.  Saya hanya sulit sekali menerima bahwa seakan-akan kesedihan akan  begitu banyak  kematian orang di Aceh dapat dihapuskan begitu saja dengan banyaknya materi yang mengalir ke daerah saya.   Bagi sebagian orang, korban tsunami mungkin hanya sekedar angka dan data statistik yang dimunculkan bila perlu.   Tapi bagi saya mereka adalah jiwa orang-orang yang begitu saya kasihi dan cintai.

 

 

Saya dan adik saya, Haris, sampai kini tak pernah lagi menyinggung kejadian hari itu.  Kami seakan memilih untuk bercerita hal lain yang tidak membangkitkan kenangan akan hari-hari pahit pasca tsunami dulu.

 

Bukan saya tidak berusaha untuk menghapus duka.  Si Abang selalu mengingatkan saya, sudah waktunya bagi saya untuk bisa mengingat mereka yang telah tiada dengan hati yang ringan dan riang, demi kenangan indah saat masih bersama dulu.  Ingat masa-masa manis dan bahagia bersama mereka dulu !  Itu kata si abang selalu saat berpaling kepadanya ketika rasa duka begitu menyeruak dari hati saya.

 

 

Saya berusaha dan berdoa.  Lebaran lalu, saya memutusakan untuk menggantung foto terakhir kami empat bersaudara.  Foto itu diambil saat Idul Fitri akhir tahun 2002.  Walaupun terkadang saya masih terpaku sedih setiap memandang foto tesebut, si Abang menguatkan saya bahwa saya pasti bisa mengatasinya. 

  

Saya lebih memilih untuk pergi menghindar atau setidaknya tak berkomentar apapun setiap ada obrolan tentang hari Minggu 26 Desember 2004 lalu.  Saya baik-baik saja selama pikiran dan hati saya tak terbawa kepada mereka yang telah tiada.

 

 Jadi di sanalah saya masih berada kini.  Saya tidak tahu kapan saya pindah ke level selanjutnya.  Saya tidak tahu butuh berapa lama lagi bagi saya untuk bisa ‘normal’ seperti duluuuu sekali.  Atau akankah waktu itu tiba ?  Kepada Allah jua saya berserah diri.

 

 

Banda Aceh, 4 Desember 2008

 

Wednesday, December 17, 2008

Menuai Angin di Spurn Point....

‘Spurn Point National Nature Reserve’ adalah salah satu lokasi yang kami kunjungi untuk melihat habitat pantai dan pengelolaannya, ketika tahun lalu saya mengikuti kuliah ‘Habitat Mangement’. 

Kalau dilihat di peta UK secara lengkap, lokasi ‘spurn point’ (yang juga dikenal dengan nama ‘Spurn Head’) ini sangat unik.  ‘Spurn’ merupakan semenanjung sempit yang menjorok ke laut yang kalau dilihat dari atas jadi indah sekali. Bentuknya yang memanjang dan sempit, dengan ukuran panjang sekitar 4.8 km dan lebar hanya sekitar 46 meter membuat Spurn mirip ekor mungil dari suatu binatang raksasa kalau dilihat dari atas. 

Saya ingat saat itu bulan Februari 2006, cuaca masih sangat dingin, namun jadwal kunjungan kami tetap ‘on’.  Berangkat dengan mini van dari kampus sekitar pukul 8.45 am, kami yang berjumlah 15 sudah membekali  diri dengan pakaian yang ‘rain dan wind proof’ plus makanan dan minuman secukupnya. 

Dari Leeds kami menuju kota Hull yang berada di bagian timur Yorkshire.  Letak Spurn memang tidak begitu jauh dari Hull, tepatnya di bagian utara jalur masuk ke ‘River Humber’ yang terkenal dengan ‘Humber Bridge’-nya.

 

Setelah terkantuk-kantuk di mobil selama dua jam lebih, sampailah kami ke lokasi tujuan.  Sebelumnya dosen kami sudah mengingatkan untuk mencukupi bekal makan dan minum di desa terdekat, karena lokasi yang kami tuju tak ada fasilitas untuk isi perut. Begitu turun dari mobil di aera parkir, kami disambut salah satu staf ‘National Nature Reserves’ yang bertanggung jawab untuk Spurn. 

Tanpa banyak penjelasan di area parkir, kami segera memulai perjalanan menyusuri ‘spurn point’ yang merupakan habitat berpasir tebal plus rumput jenis ‘marram’ dan ‘sea buckthorn’.  Kondisi ini membuat berjalan terasa sulit karena langkah kaki gampang terbenam dalam pasir. 

 

Namun udara dingin yang  menembus 4 lapis pakaian yang saya pakai, plus angin yang menusuk tulang memaksa kami untuk tetap bergerak.  Lha, kalau berhenti..bisa..beku kedinginan !  Walaupun begitu saya agak lega, melihat mobil kami merayap perlahan mengikuti di belakang, saya pikir kalau-kalau saya KO, paling tidak ada mobil yang akan membawa saya.

Di tempat-tempat tertentu kami memang berhenti untuk mendengarkan penjelasan sang instruktur.  Biasanya dia memang memilih area yang sedikit terlindung angin, di balik bukit kecil misalnya.  Angin hari itu memang berhembus lumayan kencang..rasanya ..brrr..dingin sekali.  Suara angin lepas yang berhembus dari pantai ke pantai kadang mengalahkan suara ombak yang menghempas pantai.

 Ketika tiba saatnya makan siang, kami memilih untuk berteduh dalam mobil.  Dengan angin dan udara yang menggigit seperti itu, tidak mungkin kami bisa duduk makan di udara terbuka.

Selama berjalan sepanjang Spurn, saya hampir tidak pernah mengeluarkan ke dua tangan yang sudah bersarung tangan tebal dari kantong jaket, apalagi membuka sarung tangan.   Wuih…dingin sekali ! 

Menurut sang dosen, group kami tahun itu lebih beruntung, karena tahun sebelumnya saat group ‘Habitat Management’ mengunjungi Spurn, angin kencang disertai hujan es menerpa mereka.  Terpaksa mereka mencari tempat berteduh dan menunggu badai reda. 

Situasi di lapangan saat itu membuat saya tak bisa menggunakan kamera untuk mengambil foto selama kunjungan, saya lebih mementingkan urusan tubuh yang kedinginan daripada motret lokasi.  Belakangan nyesel juga sih...koq gak berusaha lebih keras untuk bisa motret.

Kelelahan dan kedinginan berjalan lebih dari 4 jam, terobati dengan indahnya Spurn Spoint ini.  Spurn dulunya merupakan benteng pertahanan militer untuk mempertahankan diri dari serangan musuh lewat laut.  Sisa-sisa benteng pertahanan ini masih jelas terlihat di sana.

Kini Spurn seperti merupakan laboratorium alami untuk mengamati alam.  Ada laboratorium sederhana untuk mengamati jenis dan populasi burung.  Berbagai metoda penghitungan ada di sana.  Sayangnya hari itu petugasnya lagi tidak di tempat, jadi kami tidak bisa nanya-nanya tentang hal ini.

Spurn point merupakan lokasi ’lifeboat station’ yang menurut Wikipedia merupakan satu-satunya di UK yang mempunyai full-time staf yang dibayar penuh.  Saat kami ke sana, ada 11 keluarga lifeboat crew yang tinggal di rumah-rumah yang dibangun khusu untuk mereka.

Hal lain yang paling menarik menurut saya adalah ’LighthHouse’ alias mercusuar yang ada di Spurn.  Bangunan tinggi menjulang berwarna hitam dan putih yang sangat menonjol, seaakan tak pernah goyah diterpa  kencangnya angin.  Light house yang masih berfungsi sekarang ini, dibangun antara tahun 1893-1895 menggantikan light house sebelumnya yang dianggap terlalu kecil.

Melihat ’Lighthouse’ di sana, tanpa sadar angan saya langsung melayang pada cerita seri ’Lima Sekawan’ alias ’Famous Five’-nya Enid Blyton yang kami (saya dan adik-adik) baca dulu.  Saya jadi membayangkan petualangan George dan para sepupunya yang sembunyi di Lighthouse saat dikejar-kejar penjahat.

Saya ingat waktu kecil dulu, saya dan adik-adik sering sekali berdiskusi tentang serunya petualangan ’Lima Sekawan’ di tempat-tempat menarik di Inggris.  Siapa yang menyangka, puluhan tahun kemudian  saya bisa melihat langsung lukisan dan background cerita ’Lima Sekawan’?   

 Honestly, saat berada di Spurn saya sempat bergumam sedih, ’Susi dan Adi, Cutkak sudah melihat langsung setting cerita ’lima sekawan’, sayangnya kalian tak lagi punya waktu untuk mendengar cerita ini’.

Lha..koq ceritanya jadi sedih ?

Kembali ke Spurn.  Menurut info dari petugas pendamping kami, Spurn sangat indah saat Spring.   Berbagai bunga liar mekar warna-warni bak  permadani cantik menutupi hampir semua hamparan terbuka di Spurn.   Kebayang kan ?   Fantastic….!! (minjam istilah yang sering digunakan the boys).

Leeds,  Juni 2007.

'Can we do two jobs at the same time ?'

Catatan:

Saat bersih-bersih file di komputer, saya menemukan beberapa tulisan yang belum sempat posting.  Meski sudah kadaluarsa, saya putuskan untuk postingin sekarang.  Minimal bisa jadi pengingat cerita untuk saya.

 

salam,

lily (18 Desember 2008)

 

 

************* 

 Kegagalan tim ganda campuran Indonesia merebut medali emas (ada di sini)  rupanya belum hilang dari ingatan Ilman.   Senin pagi-pagi tadi dia terlibat diskusi serius dengan Irham tentang hal ini.   Saat saya melintas di depan mereka, Ilman mengajukan pertanyaan di atas kepada saya.

 

Saya yang sedang bersih-bersih, sesaat bingung dengan pertanyaan tersebut. Apa hubungannya dengan topik diskusi mereka ?

 

‘It depends on what kind of jobs you want to do ‘, saya menjawab kemudian.

‘How about an architect and a badminton player at the same time ?’, Ilman balik bertanya.

 

Bukan rahasia lagi di rumah kami.., Ilman sejak lama sudah bercita-cita ingin menjadi arsitek yang andal.  Dia ingin mendisain jembatan tercanggih di dunia..  ‘I would go to MIT for that..’  suatu kali dia berkata.

 

Tapi kenapa sekarang Ilman sekaligus ingin menjadi pemain bulutangkis ?  

 

’I will show the world what Indonesia capable of.... I  will beat China..in Olympics game.   We should have won last night, they cheated us..’.  Dan Ilman kembali terisak….

 

 

Ha..ha….rupanya Ilman belum bisa terima kekalahan Nova Widianto dan Lilyana Natsir.   Dia ingin menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia mampu mengalahkan pemain bulutangkis Cina.

 

 

Banda Aceh, 18 Agustus 2008