Tuesday, July 22, 2014

Sie Balu – Daging asin ala Aceh


Ramadhan telah memasuki hari ke-23.  Cepat sekali rasanya waktu berlalu.  Alhamdulillah tahun ini kami bisa berkumpul lengkap sekeluarga.  Lima sekawan menjalani kegiatan beribadah hari-hari di bulan suci ini bersama-sama di Bangkok.  Melihat ke-tiga anak2 kami berkumpul dan bercerita sesama mereka saat di rumah atau sepanjang jalan saat pergi-pulang tarawih mengingatkan saya akan masa2 saya seusia mereka.  Saat2 ketika kami empat bersaudara masih berkumpul dengan alm. Bapak-Ibu.  Kenangan indah yang senantiasa menetap di hati, dan muncul dengan pekat terutama saat bulan Ramadhan seperti sekarang.

Anyway, itu hanya pembuka.  Ada hal lain yang ingin saya ceritakan di sini.  Sejak kecil saya terbiasa melihat kegiatan rutin orangtua saya menjelang Ramadhan.  Sekitar seminggu sebelumnya, Bapak biasanya telah berkeliling kebun di halaman samping rumah kami, mencari ranting bagus untuk dibersihkan dan diraut dengan halus.  Ranting kayu dipotong sekitar 50-75 cm dengan diameter kira2 1.5 cm.  Ranting kayu yang sudah bersih dan halus ini dibuat runcing di salah satu ujungnya, lalu dijemur oleh Bapak selama beberapa hari.

Tiga-empat hari sebelum puasa, Bapak mengantar Ibu ke pasar daging untuk membeli daging sapi.  Tak banyak yang dibeli Ibu, biasanya hanya 1 kg saja daging bagian paha yang bagus dan tanpa gapah (lemak).  Setiba di rumah, daging dipotong2 oleh Ibu kira2 selebar telapak tangan dengan ketebalan 2 cm.  Potongan daging ini kemudian akan diberi garam secara merata dan disimpan dalam wadah tertutup selama beberapa jam.

Kemudian Bapak akan menyambung kegiatan ini.  Potongan daging ditusukkan pada ranting kayu di atas, dan dijejerkan 5-7 potong per ranting.  Pada ke dua ujung ranting akan di ikat dengan tali rafia.  Daging siap di jemur dan digantungkan di kawat jemur khusus di bawah sinar matahari dan dijauhkan dari hujan.  Kalau cuaca cukup cerah tanpa hujan, 3-4 hari biasanya daging sudah mengering dan siap dimakan setelah diolah terlebih dahulu.  Pekerjaan ini akan diulangi Ibu sehari menjelang Ramadhan atau dikenal dengan hari ‘meugang’, hari ketika daging sapi di jual massal di pasar dan tempat2 tertentu dan menjadi menu utama hampir di  setiap keluarga di Aceh.

Daging asin ini dikenal dengan nama Sie Balu. Seingat saya sejak kecil saya sudah memperhatikan bahwa sie balu ini hanya tersedia sebagai lauk di keluarga saya di bulan Ramadhan saja.  Sie balu terutama dimakan saat sahur. Sepanjang bulan Ramadhan sie balu ini digantung ibu di dapur tak jauh dari kompor dan di potong langsung dari kayu gantungannya.  Sie balu yang sudah kering dan mengeras ini dipotong kecil2 sebesar jari kelingking dan kadang direndam air sejenak agar sedikit lembut sebelum digoreng singkat dalam minyak panas.
Menurut cerita Bapak,  zaman perang dulu sie balu merupakan makanan mewah bagi bagi gerilyawan yang bersembunyi di gunung2.

Itu kisah saya di masa lalu.  Kembali ke masa kini, ternyata cerita sie balu berlanjut dalam keluarga saya. Sie balu menjadi andalan suami untuk memancing nafsu makannya di saat sahur. Untuk menambah rasa, terkadang saya merendamnya sejenak dalam air jeruk sebelum digoreng.  Ramadhan kali ini saya melihat si tengah saya juga mulai ketularan makan sie balu saat sahur.

Hanya saja rutinitas menyiapkan sie balu sejak dari mencari ranting kayu untuk gantungannya sudah tidak ada lagi.  Saya kini dibuat manja dengan sie balu siap olah yang bisa dibeli di toko langganan  Alhamdulillah dengan ketersediaan sie balu siap oleh seperti sekarang memudahkan saya membawanya kemana2 saat tidak berpuasa di kampung halaman.  So, mau Ramadhan di Leeds atau di Bangkok, sie balu ini tetap ikut menjadi bagian dari menu saat sahur.  Alhamdulillah selama beberapa tahun sie balu yang sudah dikemas rapi dalam kotak dengan label jelas selalu lolos melewati bandara masuk ke UK, baik Headrow ataupun Manchester. 

Begitulah, berjalan boleh kemana saja.  Makanan halal pun tetap bisa ditemukan di belahan bumi manapun kami berada.  Alhamdulillah kami sekeluarga juga bisa menyesuaikan diri dengan makanan lokal pada saat2 jauh dari kampung halaman (selama tersedia sambel, pasti semua enak disantap hehehe).  Tapi ‘rasa’ yang terbawa dari rumah sejak kecil akan tetap melekat di lidah kemanapun kami sekeluarga berada.

Saya pasti tidak sendiri. Saya percaya hal yang sama juga dirasakan oleh banyak teman yang kini hidup jauh dari tanah air.  Ayo, mari berbagi cerita tentang makanan unik dalam setiap keluarga….





Phitsanulok, Thailand, 21 Juli 2014