Tuesday, May 15, 2007

Sistem Pendidikan di England (2): Kurikulum yang mendukung kreatifitas anak

 

Kali ini saya ingin menuliskan suasana belajar di Primary School, berdasarkan pengalaman menyekolahkan  anak-anak saya di Leeds.

 

Seperti halnya di Indonesia , sekolah dasar di UK (Primary School) juga terdiri dari kelas satu sampai enam (year 1-6).  Selama di Primary School murid melalui dua tahap yang disesuaikan dengan kurikulum nasional.  Kedua tahap tersebut dikenal dengan ‘key stage 1’ untuk kelas ‘reception (sebelum kelas 1 SD), kelas 1, dan kelas 2.  Sedangkan ‘key stage 2’ diberlakukan untuk kelas 3,4,5, dan 6.

 

Setiap subjek (pelajaran) yang diajarkan kepada murid didasarkan pada kurikulum nasional UK.  Subjek yang diajarkan terdiri dari subjek inti, yaitu Bahasa Inggeris, Matematika, dan Science (IPA).  Selain itu juga ada pelajaran dasar yaitu Sejarah, Geografi, Kesenian, Musik, Teknologi,  Pendidikan Agama, dan Pendidikan Olahraga.  Dalam kurun waktu 6 tahun anak-anak bersekolah di SD, hanya ada 2 kali ujian Nasional, yaitu di akhir ‘key stage 1’ (kelas 2 SD) dan di akhir ‘key stage 2’ (kelas 6 SD).  Subjek yang diuji adalah Bhs. Inggeris, Matematika, dan Science.  Nilai yang didapat oleh setiap anak kemudian akan dicantumkan dalam sebuah sertifikat yang dikeluarkan oleh ‘Dinas Pendidikan’.  Sedangkan rata-rata nilai murid untuk setiap subjek dari setiap sekolah akan dimumkan dalam ‘League Tables’ (table liga) yang bisa diakses oleh masyarakat umum.

 

Selain ujian nasional di atas, tak ada ujian lain yang harus diikuti murid. Info terakhir saya dapat sekarang malah tidak ada lagi ujian nasional untuk kelas 2, hanya tinggal untuk kelas 6. Alasannya anak-anak tidak boleh ‘stress’ dengan ujian !  Tak ada ujian tengah semester, ujian semester, dsb (bandingkan dengan anak-anak di Indonesia).  Walaupun demikian murid tetap mendapatkan ‘raport’ (seperti di Indonesia) berisi penilaian guru kelas untuk setiap subjek yang diajarkan.  Raport ini dibagikan setahun sekali, biasanya pada akhir semester, menjelang libur musim panas (bulan Juli).   Nilai yang dicantumkan dalam raport didasarkan pada penilaian sehari-hari di kelas plus ujian kelas bisa dilakukan kapan saja oleh guru.

 

Yang menarik nilai yang tercantum bukan dalam bentuk angka 1-100 atau huruf A,B,C,D atau E, tapi berupa angka 1,2,3,4 atau 5 diikuti huruf a,b,dan c yang menunjukkan level nilai si anak.  Jadi nilai 1a berarti lebih tinggi dari 1c, atau dengan kata lain anak dengan nilai 1a artinya dia paling top di level 1.  Nilai 4a berarti lebih tinggi dari 4c, dst.  Selain itu..raport anak juga berisikan uraian guru bagaimana sikap, usaha, dan kemampuan anak terhadap masing-masing subjek.

 

Guru yang mengajar di Primary School di UK, mirip dengan guru mengajar di SD Indonesia. Bedanya, setiap kelas diajarkan oleh 2 guru tetap, plus 1 guru tambahan, namun yang menjadi penanggung jawab kelas  1 orang guru (wali kelas). Karena itu si guru tahu persis bagaimana tingkah laku si anak sehari-hari selama di sekolah, dan di kelas khususnya.  Ini semua dicantumkan dalam raport si anak.  Dan yang pasti tak ada yang tinggal kelas, setiap tahun si anak naik terus ke kelas di atasnya !

 

Terus terang sistem raport seperti ini sangat menarik perhatian saya.  Di Indonesia berdasarkan pengalaman anak-anak saya saat TK, hanya untuk anak TK diberlakukan raport seperti ini (please correct me, if I am wrong).  Sedangkan di SD, SMP, dan SMA kemampuan murid hanya dinilai berdasarkan kemampuan akademiknya.  Kalaupun ada hal lain yang tertulis hanya kolom tambahan seperti ini kelakuan:  baik (rasanya saya belum pernah melihat ada raport yang bertuliskan jelek).

 

Hal lain yang menarik adalah tak ada anak yang bodoh di dalam kelas.  Anak yang kurang pandai Matematika atau Science, bukan berarti dia tak pintar, karena bisa jadi dia pintar dalam menggambar atau olaharaga, atau sejarah, dsb.  Potensi inilah yang digali oleh guru pada setiap murid.

 

 Saya ingat pada saat pertama kali saya dan suami menghadiri ‘parent evening’ (pertemuan orangtua dan guru) yang diadakan secara regular 2 kali setahun, untuk membahas bagaimana ‘performance’ anak.  Guru kelas Ilman, bungsu saya yang masih kelas 1 saat itu, memperlihatkan pekerjaan Ilman di kelas.  Hampir setiap subjek, kecuali matematika, berisi gambar !  Dengan tersenyum sang guru mengatakan bahwa Ilman punya imaginasi dan daya ungkap yang bagus sekali.  Mulanya saya tidak mengerti maksud si ibu guru.  Kemudian saya baru nyambung, rupanya karena kosa kata Bahasa Inggeris Ilman masih terbatas, dia mengungkapkan pikiran dan jawaban atas pertanyaan guru dengan gambar !  Walah..

 

Lain halnya dengan Irham, yang waktu itu kelas 4 SD.  Secara lisan Bahasa Inggerisnya sudah oke, tapi saat menulis dia sepertinya punya masalah dengan tenses.  Dia tidak bisa membedakan kapan harus pakai kata kerja past atau present dalam kalimatnya.  Ketika kami memberitahukan bahwa dalam Bahasa Indonesia tidak ada perbedaan kata kerja yang digunakan sehubungan dengan waktu, si guru baru mengerti sambil manggut-manggut.  Dengan simpatik dia berkata:  ‘This is not his fault, then’.   ‘I will focus more on this matter, until he gets the sense of it’.   Wah, lega rasanya..

 

Di Indonesia, kini sudah mulai diterapkan sistem tanpa ranking di kelas yang dulunya dibuat untuk membedakan kemampuan intelektual satu anak dengan anak lainnya.  Karena menurut para ahli hal ini bisa membuat anak stress dan semakin tertinggal di kelas.  Di UK setahu saya memang sama sekali tidak ada sistem ranking di kelas.  Lantas bagaimana penghargaan diberikan untuk anak-anak yang punya kemampuan lebih ?  Pengalaman dengan sekolah anak-anak saya di Leeds (saya yakin begitu juga di kota lain di UK), saya melihat cara yang cukup simpatik dan mendorong si anak untuk terus berkarya lebih baik.

 

Setiap hari, menjelang saat pulang sekolah, guru mengumumkan ‘star of the day’di setiap kelas.  Kepada si murid terpilih hanya diberikan kertas print out warna-warni yang bertuliskan namanya sebagai ‘star of the day’.  Pemberian penghargaan semacam ini tidak melulu didasarkan pada kemampuan akademiknya di kelas hari itu, tapi mencakup segala hal. Apakah karena hari itu dia telah bekerja keras mengerjakan soal sulit (walaupun dia menjawab nggak benar), apakah karena si anak yang biasanya ribut di kelas hari itu bersikap manis, atau bisa juga karena hari itu untuk pertama kali dia berhasil menghabiskan makan siangnya, dsb.

 

Selain penghargaan setiap hari, juga ada ‘star of the week’ yang dicatat dibuku dan diletakkan di lobby sehingga bisa dibaca setiap orang tua yang datang.  Untuk setiap pekerjaan rumah, atau tugas, atau apapun yang dikerjakan si anak dengan baik, diberikan satu ‘stamp’ yang ditempelkan pada buku khusus dan disimpan di sekolah.  Akhir tahun jumlah ‘stamp’ yang didapat masing-masing anak dihitung, dan yang paling banyak akan mendapatkan hadiah dari guru berupa alat tulis, voucher untuk beli buku, dll. 

 

Secara umum saya melihat bahwa pendidikan dasar anak-anak di UK tidak melulu didasarkan pada kemampuan intelektual (IQ) tapi juga kemampuan emosional (EQ).  Di Indonesia anak-anak sejak usia SD (bahkan TK) sudah harus ikut berbagai les (matematika, Bhs Inggris, musik, renang, dsb) di luar jadwal sekolah, pokoknya anak harus serba pintar dalam setiap pelajaran, nggak peduli dia suka atau tidak (Tapi kalau ke TPA untuk belajar mengaji, bagi saya 'wajib' hukumnya).   Anak-anak kita di Indonesia terbiasa menghafal rumus tanpa mengerti rumus itu datangnya darimana (saya dulu juga gitu lho).  Karena itu nggak heran, anak-anak keluarga Indonesia di Leeds,  pintar-pintar terutama untuk Matematika.  Tapi kalau disuruh cerita atau menulis, biasanya baru kelihatan tersendat.

 

Selain subjek yang didasarkan pada kurikulum nasional, anak-anak juga diajarkan bahwa beda pendapat itu adalah hal biasa, bahwa setiap anak itu adalah unik, beda dengan lainnya. Bahwa mereka harus bisa menghormati dan menghargai orang lain yang berbeda dengan mereka, baik warna kulit, budaya, atau agama.  Saya percaya hal ini penting dalam pembentukan pribadi anak dan akan mempengaruhi kemampuannya dalam hidup bermasyarakat kelak mereka dewasa.    Kebetulan sekolah anak-anak saya ini merupakan sekolah multi-cultural dari berbagai background etnis di dunia.  Karena letaknya di antara perumahan International Student dan kampus, sebagian murid adalah putra-putri  mahasiswa yang notabene berasal dari berbagai negara dan benua. 

 

Sistem pembelajaran juga tidak melulu harus di dalam kelas.  Pada saat mereka diajarkan tentang tumbuhan misalnya, mereka diajak keluar kelas untuk mengamati berbagai jenis tumbuhan di sekitar sekolah mereka.  Kepada mereka juga dibagikan benih tanaman tertentu yang berbeda untuk setiap anak yang kemudian ditanam di dalam pot.  Anak-anak bertanggung jawab terhadap pot mereka masing-masing dengan menyiram dan mengamati pertumbuhan tanaman tersebut.  Semua itu kemudian ditulis menjadi sebuah karangan.  Kebiasaan menulis ini juga dilakukan sehabis anak-anak bepergian ke luar sekolah, apakah ke ‘farm’, ‘park’ atau museum.  Tak ada batasan untuk menulis seperti keinginan guru.  Si anak boleh menulis apa saja sehubungan dengan perjalanan mereka.

 

Di Leeds anak-anak usia SD benar-benar menikmati masa kanak-kanaknya.   Mereka bisa main seusai sekolah, tidak selalu harus berkutat dengan pr yang segunung.  Sebagai orang tua, saya ikut senang melihat anak-anak saya gembira di sekolah, dan gembira bermain di luar jam sekolah. (Tapi..dasar Ibu Indonesia, saya kadang malah berpikir anak-anak di sini koq santai banget ya..).

 

Kini di Indonesia banyak bermunculan sekolah unggul (umumnya berasrama) yang mengandalkan keunggulan akademik (IQ) dan pendidikan agama (SQ) untuk murid-muridnya.  Apakah pendidikan yang terkait EQ juga sudah diperhatikan ?  Saya tidak berani berkomentar,  karena tidak tahu banyak tentang hal ini.

 

Sesudah lebih tiga tahun di Leeds, anak-anak saya sudah sangat terbiasa dengan pola pengajaran di sini.  Karena kami segera pulang ke Indonesia setelah suami selesai sekolahnya, saya mulai berpikir bagaimana sekolah anak-anak saat pulang nanti ?  Tentu mereka butuh waktu untuk bisa beradaptasi lagi dengan sistem di Indonesia (kan nggak mungkin saya yang mengubah sistemnya, ha..ha..).  Terpikir oleh saya bahwa untuk mempermudah anak-anak beradaptasi di sekolah, saya akan masukkan mereka les-les privat untuk pelajaran di sekolah.  Lho ?  Iya..nih, kembali ke Indonesia..nanti ..pikirannya jadi gaya Indonesia lagi.   Payahhh …..

 

 

 

 

 

 

16 comments:

  1. Mbak ada yg ketinggalan, ujian MIST.... yg biasanya dilakukan setelah libur akhir tahun di year 1.
    Btw mbak primary dimulai dr reception, bukan year one. Jadi year one itu disebut primary 2. Sebab saya pernah akses worksheet bacaan anak di sekolah lewat cambridge reading atau oxford reding gitu deh disitu ditulis primary 2/year 1, primary 3/year 2.
    Kalau disini sih bukan les privat untuk mata pejaran yah mbak.... hehehe
    kalau disini saya malah seneng banget masukin anak les2 olahraga, eh malah si anak sekarang nodong minta dilesin musik.

    ReplyDelete
  2. Makasih Mbak yaa, tulisannya bermanfaat sekali. Insyaallah tahun ini anak2 kami akan memasuki sekolah di UK, tentu manfaat banget tulisannya. salam kenal dari Guildford UK. Salam buat keluarga

    ReplyDelete
  3. Sampai sekarang, setahu saya di Indonesia, untuk sekolah negerinya, nilai masih jadi acuan 'pintar' atau tidaknya siswa mbak lily. Tapi untuk sekolah privat, sudah mulai menghargai kreativitas anak selain pelajaran wajib saja. Dulu di sby saya ngajar privat siswa sd dan smp, kebetulan mereka belajar di sekolah swasta, memang hasilnya lebih baik dibanding siswa saya yang bersekolah di negeri yang lebih banyak berorientasi nilai semata (saya punya murid juga yang bersekolah di negeri)

    ReplyDelete
  4. jadi ingat waktu keluarga saya berkunjung summer tahun lalu, pas anak saya dibagi raportnya....
    komentarnya,' ah gak asyik yah, kayak baca raport anak tk, cuman laporan sudah tercapai semua.... gak seru! cuman bangga baca di bagian targetnya doang'.
    hehehe...... emang deh kita yah indonesia bangetttttttt :P
    sudah terbiasa berkompetisi dibidang eksak sejak kecil ;)
    tapi di SMA 8 sekarang juga begitu katanya, adik saya raportnya juga kayak model anak tk begitu yg isinya sudah tercapai atau belum tercapai.
    Repotnya kalau yg kayak begini di Indonesia nih, kalo untuk anak gaul makin asyik, gak usah bagus2 nilainya yg penting lolos targetnya, ngepas juga gpp.
    sorry yah buat anak2 gaul jakarta ......hehehe

    ReplyDelete
  5. ehmmm.....it's interesting. tapi jgn bandingkan dgn inggris deh indonesia. emang udah gak bisa dibandingkan. tapi kalau dibandingkan dgn msia ini baru. indonesia lebih dahulu merdeka tapi kok..........(isi sendiri, bu lili:)

    ReplyDelete
  6. Trims..tambahannya Myr. Key stage 1 memang di mulai dari reception, terus kelas 1, dan kelas 2 Primary school (sumber bacaan saya School of Education-nya Leeds Uni, 'kali memang ada beda-beda istilah sedikit)

    ReplyDelete
  7. Sama-sama. Mohon koreksinya kalau ada yang salah. Salam kenal kembali

    ReplyDelete
  8. Benar mb Nur, saya juga produk sekolah negeri.., nilai tinggi memang jadi acuan pintar atau tidaknya si anak. Bukan itu saja, nilai tinggi untuk pelajaran eksak ! Kalau yang tinggi cuma nilai kesenian atau olahraga, itu sih gak pintar namanya. Syukurlah kalau sudah ada sekolah yang memperhatikan kreatifitas murid

    ReplyDelete
  9. Raport di sini memang mirip raport TK kita di Ina. Tapi SMA 8 (Jkt?) sudah menerapkan sistem begitu ? Wah...asyik, trims infonya Myr.

    ReplyDelete
  10. Saya cuma menggambarkan sistem pendidikan di UK dengan sedikit gambaran bedanya dengan di Ina. Sebenarnya saya sendiri beranggapan..anak-anak Indonesia pintar-pintar koq ! Orang-orang seperti Intan, Zuby, (dll yang bersekolah di negara maju..eh saya juga ding..he..he...) buktinya bisa mengikuti dan cukup pintar untuk menyesuaikan diri dengan pendidikan di negara tsb. Malah banyak yang lulus dengan nilai bagus lagi. Bener kan ?
    Btw.., ide menarik..(walaupun sudah saya isi dalam hati titik-titiknya)..coba kita bandingkan sistem di Ina dan di Msia, hayo dong..Intan..tulis.

    ReplyDelete
  11. pernah suatu waktu ada guru dari jepang mengadakan study banding ke jawa barat tepatnya kecikampek, setelah dia membandingkan kurikulum untuk tingkat sekolah dasar dijepang dengan di Ina, dia sangat tercengang karena menurutnya kurikulum kita terlalu tinggi untuk level sekolah dasar, dan memang anak2 dikita lebih pintar dalam soal teori tapi tapi dalam prakteknya anak2 kita jauh tertinggal, sehingga kreatifitasnya agak tersendat , mungkin karena sarana dan prasarana yg kurang memadai yang menjadi hambatan untuk kita, sukseslah ka lily untuk kedua abang adik jagoan ka Lily

    ReplyDelete
  12. Sebenarnya kalau dipikir sarana dan prasarana kita gak ketinggalan amat..cuma mungkin sistemnya aja yang perlu dibenahi. Btw, kami kan gak selamanya tinggal di UK. Nanti kalau pulang mau..gak..mau..anak-anak saya harus belajar menyesuaikan diri lagi di Ina. Trims tambahan infonya..mb Hilyah.

    ReplyDelete
  13. Mbak crita dong, pengalaman anak2 waktu masuk primary school pertama kali apa sudah siap Bhs. Inggris-nya. Artinya di Indo sebelumnya sudah pernah kursus bhs inggriskah? makasih ya.

    ReplyDelete
  14. Boleh juga nih usulnya..,ntar kalau ada waktu saya tulis deh..

    ReplyDelete
  15. Tahun ini Daffa mau masuk reception nih...Deg-degan juga ntar gimana..:(

    ReplyDelete