Suatu malam, ketika Irham dan Ilman sedang serius belajar untuk ujian esok harinya, saya mendengar mereka berbicara.
‘I miss the school in
Saya menduga itulah yang mereka rindukan. ’Fun..!’ Rupanya rasa inilah yang hilang dari hati mereka dalam proses kembali ke sekolah di Banda Aceh. Meskipun kami sudah mempersiapkan mereka untuk kembali sekolah di tanah air, mereka yang awalnya begitu semangat pulang kampung, kini merasa rindu akan sekolah di Leeds.
Saya menganggap perasaan mereka ini normal saja. Ketika mereka begitu banyak dijejali dengan segala hal yang harus mereka ingat dan hafal, wajar kalau mereka merindukan rasa ’fun’ akan proses belajar yang menyenangkan di Leeds.
Tentu saja saya tahu bagaimana anak-anak kita umumnya dididik di sekolah kini. Mereka dipaksa meraup semua bahan pelajaran demi mengejar target kurikulum yang berbasis kompetensi. Itu tujuan idealnya. Ini tidak salah.., dalam kehidupan yang kini semakin sarat dengan persaingan dalam berbagai hal, anak-anak memang harus dipersiapkan untuk mampu bersaing secara akademis di masa depan nanti.
Hanya saja..sering timbul pertanyaan yang sama di hati saya setelah ikut membaca bahan ajar mereka dari buku pegangan. Sudahkah semua target yang ingin dicapai disesuaikan dengan perkembangan emosi dan jiwa anak seusia mereka ? Sudahkah semua bahan yang diajarkan disesuaikan dengan kemampuan mencerna rata-rata anak seusia mereka ? Atau memang semua ini sudah diteliti oleh ahlinya. Barangkali saya aja yang masih konvensional menganggap belajar itu seharusnya adalah proses yang menyenangkan dan memancing rasa ingin tahu anak, yang akhirnya memicu intelegensia si anak untuk terus berkembang.
Melihat banyaknya materi dan tingginya capaian yang ditargetkan untuk anak-anak kita di Indonesia, tak heran ada seorang teman bule saya yang rajin bolak-balik UK-Indonesia berkomentar: ’Anak-anak Indonesia jenius semua ya..?’ ’Rasanya kalau di UK anak-anak gak akan sanggup menampung semua pelajaran seperti di Indonesia’. Nah lo.., apa memang benar begitu ?
Seorang teman yang juga ’concern’ dengan sistem pendidikan kita pernah berkata, ibarat sebuah gelas..anak-anak kita sudah dijejali penuh dengan air sejak di SD (bahkan dari TK) sampai SMA. Makanya ketika kuliah gelasnya sudah penuh, kalau diisi air lagi..tumpah terus. Analogi ini mungkin bisa sedikit menjelaskan pengalaman saya menghadapi mahasiswa yang terkadang tak bisa lagi mengerti logika sederhana atau hitungan matematika yang sangat sederhana sekalipun. Tentu saja hal ini tidak terjadi pada semua anak. Selalu saja ada anak cerdas atau super cerdas yang punya kemampuan lebih dalam mencerna semua materi pelajaran.
Hal lain yang saya amati dalam sistem pendidikan sekolah kita umumnya adalah, kurangnya komunikasi antara guru dan orangtua. Kalau di UK setiap semester ada pertemuan guru-orangtua, sebagai ajang guru menjelaskan kemajuan si anak, sekaligus sebagai orangtua bertanya tentang ini-itu seputar pendidikan si anak. Mungkin di sekolah-sekolah swasta mahal, pertemuan seperti ini sudah ada, tapi saya diperhatikan di sekolah Irham dan Ilman, acara seperti ini tidak ada sama sekali.
Karena itu saya yang memang selalu cerewet bertanya tentang anak-anak saya jadi harus membatasi diri. Seorang teman mengingatkan saya bahwa tidak semua guru bisa menerima kritikan atau masukan dari orangtua. Apalagi kalau saya membanding-bandingkan dengan sistem di UK. Bisa gawat...!!
Bukan maksud saya bertubi-tubi memberi kesan negatif akan pendidikan kita. Wong saya juga produk pendidikan dalam negeri koq. Sampai S1..saya sekolah di Indonesia teruss, dan hasilnya not bad at all (hi..hi...muji diri dikit). Atau mungkin ini karena sistem pendidikan saat saya di SD-SMA dulu berbeda dengan sekarang ?
Karena persaingan yang begitu ketat untuk mendapat pendidikan yang baik, anak-anak kita terpacu untuk belajar keras dan meraih prestasi. Menurut saya itu sisi positif. Ketika di UK dulu.., saya mengamati umumnya anak-anak kita yang bersekolah di sana cenderung sopan-sopan, patuh dan gak pernah bikin ribut. Bagi guru-guru di UK ini sangat menyenangkan. Itu juga sisi positif sistem pendidikan kita. Bener kan ?
Jadi kawan, tulisan saya sama sekali tak bermaksud melulu menjelek-jelekkan sistem pendidikan kita. Ini hanya ungkapan rasa hati dan pikiran saya sebagai orangtua yang juga bersinggungan sedikit dengan dunia pendidikan di Indonesia.
Bagi anak-anak saya, kesempatan sekolah di UK selama beberapa tahun saya harapkan menjadi pengalaman berharga untuk mereka, yang mungkin belum terasa sekarang. Kelak.., Insya Allah mereka bisa menghargai kesempatan itu...dan menjadikannya sebagai bagian dari setumpuk bekal yang harus mereka kumpulkan dalam meniti hari depan.
Banda Aceh, 20 Juni 2008
Lily
.
kak Lily memang bener soal keadaan sekolah kita disini..
ReplyDeletemakanya kalo menurutku kak....inilah gunanya keluarga... (hasil umek cari cara bagaimana anak2ku tetap bisa fun)
memberikan keseimbangan buat si anak...kalo di sekolah terlalu "ini", maka kita yang akan menyediakan "itu" buat anak2...soalnya kan kita susah juga mau merubah sistem yang sudah ada...jadi akhirnya aku merasa bahwa lebih baik mencari cara untuk adjust.... dengan mengkondisikan suasana keluarga sedemikian rupa itu...
halah...ini ngomong apaan ya hihihi
Pengalaman saya ketika memegang kelas semester pertama dengan hampir 200 mahasiswa, makin hari makin capek ngajarnya. Semester pertama itu khan masih pengenalan jurusan. Dan saya mengajar memang dasar2 pengertian ilmu arsitektur dimana banyak menggunakan waktu untuk berkreasi dalam studio gambar. Makin kesini, makin tidak mengenal gambar 3 dimensi. Gambar proyeksi setiap tahun harus mengulang dari dasar. Bahkan memakai segitiga aja sulit banget. Segitu parahnyakah? Kapan donk saya bisa menjelaskan tentang design?
ReplyDeleteYang saya dengar memang pelajaran menggambar itu ditiadakan apalagi barangkali pelajaran ilmu ukur ruang ya??
Sekarang saya sudah gak pegang lagi kelas satu (semester 1 dan 2) tapi pegang kelas akhir yang mau menghadapi seminar. Ini lebih mudah untuk saya dan sekarang udah mau pensiun beneran. (pensiun pegawai negerinya udah sejak ketika suami sakit; sekarang mau pensiun pegawai swastanya, he he he)....
jadi inget banyak temen2 yg stres pas mo balik ke indo, mikir sekolah anaknya!
ReplyDeleteuntung dilara blom mulai sekolah
ayo Irham... Ilman... kamu bisssaaaa!!!
Akur mb Wahida. Peran kita sebagai orang tua plus tambahan anggota keluarga lainnya bisa menyeimbangkan kegiatan dan perkembangan pikiran anak dengan apa yang didapat dari sekolah. Mau merubah sistem..? Nanti deh kalau saya jadi mendiknas ya....(hi..hi...) Salam sayang buat Abe dan Bea
ReplyDeleteHa..ha...Ni pop, sama persis nih pengalaman kita. Sejak lama saya diminta masuk tim mengajar mata kuliah dasar, Matematika dan bhs Inggris. Mau saya sih sepulang dari UK kemarin, saya ngajar mata kuliah jurusan aja. Eh.., taunya saya gak bisa menghindar ketika diminta lagi mengajar 2 kuliah tsb. Aduh...pusying...bener.
ReplyDeleteWalah Yuana, Dilara kan baru beberapa bulan usianya. Makanya ..enjoy aja dulu...sebelum dipusingkan urusan sekolah anak. Mendingan pusing mikirin kuliah sendiri dulu ya...(hi..hi..)
ReplyDelete