Beberapa foto di album ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana hari-hari saya saat kuliah tahun lalu.
Semua foto merupakan kegiatan kuliah lapangan di berbagai 'nature reserve' sekitar Yorkshire
Ketika saya dan anak-anak berangkat ke UK untuk bergabung kembali dengan suami yang sedang sekolah di sana, saya tidak hanya punya keinginan untuk berkumpul kembali setelah 6 bulan terpisah benua. Saya juga punya keinginan lain, yaitu bisa melanjutkan sekolah kembali sambil mendampingi suami dan anak-anak. Keinginan ini bukan tidak beralasan, seperti halnya suami, saya adalah dosen di sebuah perguruan tinggi di Sumatera. Melanjutkan pendidikan sampai jenjang S3 seperti sudah suatu keharusan, karena merupakan bagian dari tri dharma perguruan tinggi.
Lebih 10 tahun lalu, ketika kami berdua baru saja mulai bekerja sebagai dosen dan baru mulai membangun rumah tangga dengan satu anak, kami punya kesempatan untuk sekolah S2 bersama di Kanada. Demi kebersamaan kami waktu itu suami saya ‘terpaksa’ tinggal di kota saya kuliah yang berjarak satu jam naik bus dari kampusnya di kota lain. Pengalaman bersekolah di luar negeri bersama suami plus mengurus keluarga saat itu membuat saya yakin bahwa Insya Allah saya juga akan mampu bersekolah lagi kali ini.
Didukung suami, jauh-jauh hari sebelum berangkat ke UK saya sudah mengirim formulir aplikasi untuk melanjutkan S3 saya di sana. Alhamdulillah saya diterima ‘unconditional’di kampus yang sama dengan suami, yang menjadi kendala adalah saya belum mendapatkan kepastian beasiswa dari pemerintah daerah atau dari kampus tempat saya bekerja. Namun begitu, saya tetap berangkat ke UK awal April 2004 dengan harapan selama enam bulan sebelum pendaftaran saya bisa mendapatkan beasiswa.
Pada kenyataannya sampai tiba saatnya saya mendaftar saya belum mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S3 saya di UK. Beberapa tawaran lain sempat menarik perhatian saya, namun keinginan untuk tetap bisa berkumpul bersama suami dan anak-anak membuat saya menolak untuk sekolah selain di UK. Dengan alasan belum ada beasiswa, saya menunda mendaftarkan diri sampai tahun berikutnya, yaitu akhir tahun 2005.
Mengisi waktu sambil mencari beasiswa, saya mencoba mencari pekerjaan untuk mengisi waktu dan yang paling penting adalah untuk mendukung berputarnya roda ekonomi rumah tangga ! Beasiswa suami yang hanya £650.00/bulan, sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga plus tiga orang anak usia sekolah. Lebih dari separuh jumlah bea siswanya tiap bulan sudah terserap untuk biaya sewa apartemen plus kebutuhan lain seperti biaya listrik, gas, air dan telpon. Pada awalnya saya mencoba melamar pekerjaan yang tidak jauh-jauh dengan kemampuan akademis saya, namun setelah ditolak berkali-kali dengan alasan prioritas pekerjaan lebih pada warga negara Inggris (kemampuan yang saya miliki masih banyak dikuasai oleh mereka), saya mulai berpikir lain.
Seorang teman yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih alias ‘cleaner’ di kampus bertanya apakah saya tertarik untuk bekerja sebagai ‘cleaner’, karena sedang ada lowongan saat itu. Saya tidak terlalu kaget dengan tawaran ini, karena saya tahu banyak mahasiswa S2 dan S3 atau isteri/suami yang harus bekerja apa saja untuk membantu ekonomi keluarga selama sekolah diluar negeri.
Sebelum mengambil keputusan, saya mencoba menguji hati saya untuk menerima tawaran ini. Siapkah saya dengan pekerjaan sebagai ‘cleaner’ ini ? Siapkah saya yang di Indonesia bekerja sebagai dosen, kini justru harus bekerja sebagai tukang bersih-bersih di ruangan kantor para dosen dan mahasiswa ? Siapkah saya yang sudah punya kehidupan lumayan mapan di Indonesia plus punya ‘tukang bersih-bersih’ full time di rumah kini harus menjalani pekerjaan tersebut untuk mendukung ekonomi keluarga di UK ?
Logika saya kemudian mengalahkan ego saya, saya lebih memilih melihat kenyataan yang ada. Saya memilih untuk ikut berperan dalam mendukung kelancaran berputarnya roda rumah tangga dan ketenangan suami sekolah, meskipun untuk itu saya harus melupakan pekerjaan saya sebagai dosen di Indonesia. Jadilah saya bekerja sebagai ‘cleaner’ di Universitas yang sama yang telah menerima saya untuk melanjutkan S3.
Ada rasa tak menentu yang menerjang hati saya ketika memulai pekerjaan sebagai ‘cleaner’ ini. Tapi pekerjaan ini juga kemudian mengajarkan banyak hal untuk saya. Bagaimana menundukkan rasa egois dalam diri adalah salah satunya. Lebih menghargai keberadaan orang lain seberapapun kecilnya peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat adalah pelajaran yang sangat berharga yang tidak mungkin saya dapatkan dari sekolah manapun.
Selain itu bekerja sebagai ‘cleaner’, bukan berarti saya harus kehilangan akses untuk belajar di kampus. Sebagai ‘cleaner’ di Universitas, saya juga berhak menggunakan fasilitas seperti staf lainnya, misalnya hak menggunakan system informasi dan teknologi atau hak menggunakan fasilitas perpustakaan. Saya juga punya hak untuk libur 25 hari kerja selama setahun tanpa pemotongan gaji. Asyik kan ?
Sebagai ‘part time cleaner’, saya bekerja 3 jam/hari dengan jadwal tetap setiap hari. Di Universitas tempat saya bekerja, ada dua shift kerja untuk para ‘cleaner’, yaitu pagi hari pukul 7.00 – 10.00 atau malam hari ketika jam kantor usai, pukul 5.00-20.00. Karena ingin berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah sore hari, saya memilih sebagai ‘morning cleaner’.
Seperti ‘cleaner’ lainnya, saya bertanggung jawab untuk membersihkan area tertentu di lingkungan kampus. Tugas saya selama 3 jam kerja adalah membersihkan semua ruangan yang ada di area saya, kantor para dosen dan karyawan, ruangan kelas, plus kamar mandi. Tentu saja 3 jam kerja/hari tidak akan cukup untuk membersihkan secara ‘benar’ semua ruangan tersebut. Untuk itu saya harus bisa mengalokasikan waktu untuk membersihkan ruangan tertentu yang benar-benar harus saya bersihkan pada hari tertentu setiap minggu. Walaupun begitu yang namanya tempat sampah tetap harus dikosongkan setiap hari, baik yang berada dalam ruangan kantor ataupun dalam kamar mandi. Saya juga harus bisa bekerja sama dengan ‘cleaner’ lain yang areanya berdekatan dengan area saya dalam gedung yang sama, karena kalau saya mengambil hari libur merekalah yang akan mengerjakan tugas saya, demikian juga sebaliknya.
Tantangan sebagai cleaner memang lebih terhadap diri sendiri, misalnya bagaimana mengatasi rasa mual saat membersihkan toilet ketika ada yang meninggalkan ‘oleh-oleh’ yang nyangkut dan tak berlalu saat di ‘flush’. Kalau sudah begini terpaksa jurus tradisional digunakan lagi, menyiram toilet dengan seember air !
Hal lain yang kadang terasa berat adalah saat harus bangun dan berangkat kerja pada musim dingin. Universitas tempat saya bekerja memang hanya berjarak 10-15 menit jalan kaki dari flat tempat tinggal kami. Biasanya setiap hari paling lambat saya sudah harus bangun sebelum pukul 6.00 pagi agar sempat sarapan dan tidak terlambat tiba di kampus (Alhamdulillah urusan sarapan anak-anak dan bekal mereka sekolah ditangani oleh suami saya sebelum dia berangkat ke kampus). Pada musim panas hal ini tidaklah berat, karena terang pagi cepat sekali datang, jam 5 pagi biasanya sudah cukup terang. Sebaliknya pada musim dingin, jam 6 pagi masih seperti malam hari, dingin yang begitu menusuk kulit membuat saya harus melawan keinginan untuk tetap melingkar dibalik selimut. Belum lagi saat berangkat kerja, terkadang angin plus hujan es sedang beraksi dengan hebohnya. Jarak tempuh ke kampus jadi terasa amat panjang dengan waktu yang lebih lama. Saat-saat begini besar sekali godaan untuk berhenti saja.
Menjelang berakhirnya setahun masa penundaan pendaftaran S3, saya belum juga berhasil mendapatkan beasiswa. Selain ‘menjual’ surat penerimaan S3 dari Universitas, ke berbagai kalangan di dalam negeri, saya juga telah mencoba mengirim permohonan beasiswa di UK khusus untuk ‘international student’. Ketika itu suatu tawaran lain justru datang di depan mata, bea siswa penuh untuk sekolah S2 di universitas yang sama !.
Sama sekali tak terpikirkan oleh saya untuk sekolah S2 lagi, karena tujuan saya ke UK adalah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang S3. Namun, lagi-lagi saya harus menggunakan logika melebihi keinginan hati saya sendiri. Apakah saya tetap berkeras menanti datangnya beasiswa untuk S3 yang tidak pernah saya tahu kepastiannya, atau mengambil kesempatan S2 lagi yang sudah ada di depan mata. Banyak hal yang saya pertimbangkan sebelum mengambil keputusan, terutama keraguan akan kesanggupan saya untuk menghadapi stress kuliah dalam kelas dan saat ujian.
Saya tahu, jenjang S2 di UK umumnya ditempuh dalam waktu satu tahun (beda dengan di Kanada/USA yang dua tahun), karena itu jadwal kegiatan selama setahun itu pasti sangat padat. Selain itu usia saya tidak lagi muda, ada keraguan dihati saya mampukah saya bersaing dengan mereka yang jauh lebih muda dan penuh vitalitas ? Beda halnya kalau saya kuliah S3, tidak ada lagi kuliah dalam kelas ataupun ujian bersama saat akhir semester, mahasiswa S3 menghabiskan waktunya untuk penelitian dan menulis. Tentu saja ‘stress’-nya juga ada, tapi tak ada persaingan antara mahasiswa, karena masing-masing mengerjakan penelitiannya sendiri.
Dukungan suami yang sangat besar plus keinginan menambah pengetahuan secara terstruktur, akhirnya membuat saya mengambil keputusan untuk memanfaatkan peluang yang ada. Saya memilih bidang yang sedikit berbeda dengan S2 saya di Kanada dulu. Untuk itu saya berhenti bekerja sebagai ‘cleaner’, status saya lantas berubah menjadi mahasiswa, masih di Universitas yang sama. Karena saya dan suami sama-sama mendapat bea siswa setiap bulan, selama setahun kami tak lagi memikirkan untuk bekerja.
Setahun lagi berlalu sudah. Akhir tahun 2006 lalu, Alhamdulillah saya sudah menyelesaikan S2 saya dengan baik. ‘So, what next ?’. Saya masih harus menunggu suami saya menyelesaikan S3-nya dalam beberapa bulan ke depan, sebelum pulang ke kampung halaman. Kali ini saya tidak berpikir lama, saya kembali bekerja sebagai ‘cleaner’ ! Status saya berubah lagi, dari mahasiswa menjadi staf bagian ‘estate service’-nya university. Barangkali kalau bagian ‘Human Resource’ mengadakan pengecekan, mereka akan bingung menemui nama saya dengan status berubah-ubah di kampus.
Kini untuk sementara saya tidak lagi memikirkan untuk melanjutkan pendidikan S3 saya, saya lebih berkonsentrasi untuk mendukung suami agar dia cepat selesai plus membantu ke-tiga anak saya dengan kegiatan di sekolah masing-masing. Terkadang ada teman yang bertanya, masih adakah keinginan saya untuk nyambung lagi sekolah S3 nanti ? Umur saya yang sudah melewati angka 40 membuat saya cenderung menjawab: “ Tidak, sampai di sini saja. Saya akan lebih memfokuskan diri dalam mengurus pendidikan anak-anak yang beranjak remaja”. Namun saya kemudian ingat akan kalimat ‘never say never’. Siapa tahu saya masih punya kesempatan nanti.
Hanya Allah Swt yang Maha Tahu. Bukankah menuntut ilmu tidak mengenal usia ? Bukankah Nabi Muhammad SAW menganjurkan kita menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat ?
Leeds, akhir Feb 2007.
Lily
Kamis, suatu hari di bulan Agustus 1989.
Pukul 20.30 WIB
Beralamat rumah keluarga kami, malam itu saya memasuki babak baru sejarah hidup yang akan saya jalani. Ya,.malam itu dihadapan keluarga besar ke dua belak pihak, Bapak menikahkan saya, anak sulungnya dengan pria pilihan saya yang juga telah menarik perhatian orang tua dan adik-adik saya.
Saya ingat berhari-hari sebelumnya Ibu saya sudah gelisah menunggu saat itu tiba. Saya tahu diantara rasa bahagianya untuk saya, Ibu juga merasa berat harus melepaskan putrinya untuk orang lain. Perasaan yang mungkin baru bisa saya pahami bertahun kemudian ketika saya juga sudah menjadi ibu. Bapak kelihatan lebih tenang, meskipun beliau harus memanggil saya untuk latihan menghafal kalimat yang akan diucapkan saat akad nikah.
Saya tahu orang tua saya menyimpan banyak harapan untuk saya. Sebagai anak sulung, saya sudah terbiasa dengan nasehat mereka agar saya selalu bisa menjadi teladan bagi ketiga adik saya. Ketika masih SD dan SMP setiap kali timbul keributan diantara kami berempat, Bapak selalu meminta saya memulai acara perdamaian meskipun saat itu saya sedang sangat kesal terhadap salah satu atau semua adik saya. Kebiasaan ini ternyata membuat hubungan kami kakak-beradik sangat dekat sampai kami semua telah dewasa, yang terkadang membuat iri para sepupu saya.
Meskipun telah menikah, saya tetap mendapat dukungan penuh dari Bapak-Ibu untuk menjalani aktivitas saya sebagai dosen. Kampus tempat saya bekerja yang berada di kota yang sama, membuat saya tidak harus langsung berpisah dengan orang tua setelah menikah. Apalagi, beberapa bulan setelah menikah, suami saya meninggalkan saya yang sedang hamil muda untuk melanjutkan sekolahnya Canada. Ibu juga ikut menemani saya dan putri sulung saya yang waktu itu baru berusia 10 bulan, ketika saya harus mengikuti training bahasa di Jakarta sebelum saya berangkat ke Canada untuk melanjutkan sekolah sekaligus bergabung kembali dengan suami.
Tahun demi tahun berlalu. Sampai akhir tahun 2004, Bapak-Ibu saya telah menjadi kakek nenek bagi tiga anak saya dan dua keponakan saya. Bapak-Ibu sangat menikmati hari-hari berkumpul dengan para cucu. Suatu kali ibu mengeluh rhematiknya yang seringkali menghalangi kegiatan ibu sehari-hari. Saat itu sore hari, saya berada di rumah ibu untuk menjemput anak-anak saya yang mengaji di TPA yang diasuh Bapak. Tiba-tiba saja kedua anak laki-laki saya plus dua keponakan yang juga laki-laki, menyerbu masuk rumah berebut untuk mencium pipi Ibu. Saya melihat ketika itu ibu bahagia sekali, seakan hilang rasa sakit dikakinya.
Kamis, Agustus 2006, 17 tahun kemudian
Pagi hari
Disinilah saya berada sekarang. Bersama suami dan anak-anak, kembali berada jauh dari kampung halaman, menuntut ilmu ke negaranya Tony Blair. Saya harus bangun pagi sekali hari ini untuk menyelesaikan draft laporan yang belum rampung, meskipun saya sudah menunda tidur sampai lewat tengah malam. Suami saya yang juga sedang dikejar deadline ikut menemani saya bangun lebih cepat. Seusai shalat shubuh kami saling mengucapkan selamat dan syukur atas masa 17 tahun yang telah kami jalani bersama. Tak ada hal lain yang istimewa. Jam 9.00 pagi saya punya jadwal pertemuan dengan pembimbing saya.
Debaran jantung yang lebih cepat justru muncul untuk putri sulung saya, Dalila. Sejak malam hari dia sudah gelisah menunggu pagi. Hari ini nilai GCSE-nya diumumkan. Dia kuatir sekali kalau nilai matematikanya tidak dapat B, karena itu syarat minimal untuk mengambil subjek math di A-level September nanti.
Saya baru saja meninggalkan kantor sang pembimbing ketika Dalila memberi kabar.
“ Alhamdulillah, Bunda. Nilai Math-nya malah lebih baik dari yang diharapkan. Science juga dapat nilai bagus. Hanya English-Literature yang dapat nilai minimal lulus”
Alhamdulillah, hati saya meluap gembira. Saya jadi teringat lagi pada Bapak-Ibu. Kini saya semakin memahami perasaan mereka dulu terhadap kami ketika saya dan adik-adik masih berkumpul .
Kamis, Agustus 2006
Malam hari.
Diantara kesibukan saya menulis report yang harus dikumpulkan minggu depan, saya mengenang kembali 17 tahun masa yang terentang sejak kebahagian keluarga kami menyebar dari Jl. Tanoh Abee 16, Kp. Mulia Banda Aceh.
Suka duka, pahit manis-nya membangun rumah tangga, Alhamdulillah dapat kami jalani dengan penuh rasa syukur. Saya dan suami berusaha untuk selalu saling mendukung dalam menjalani setiap aktivitas yang kami pilih. Alhamdulillah, anak-anak saya juga sangat supportif terhadap kesibukan kami berdua saat ini. Insya Allah perjuangan kami saat ini bisa menjadi teladan bagi mereka untuk tidak cepat berputus asa, meskipun usia kami berdua sudah tak muda lagi.
Namun tak dapat dipungkiri rasa duka yang dalam masih saja mengintip. Hari ini 17 tahun setelah kedua orang tua plus keluarga saya dan suami menyambut gembira pernikahan kami, mereka semua sudah tiada. Tak ada lagi rumah tempat kami berdua memulai hidup baru, tak ada lagi mereka yang menyambut saya sebagai anggota keluarga baru, ketika pertama datang sebagai menantu. Saya kini bahkan tak punya lagi tempat pulang saat lebaran tiba. Kadang saya masih terasa bermimpi bahwa Bapak-Ibu, adik-adik saya plus ipar plus keponakan telah pergi menghadap-Nya, ketika tsunami menyapu kota kami 26 Des 2004 lalu.
Takut kembali larut dalam duka, saya menarik diri kembali ke masa kini. Di meja sebelah, suami saya sedang konsentrasi penuh memandang komputer di depannya. Inilah lelaki yang telah mendampingi saya menjalani hari, merajut cinta dan cita selama 17 belas tahun terakhir. Insya Allah, kami selalu berusaha tidak akan mengecewakan harapan orang tua kami demi masa depan keturunan mereka yang masih tersisa. Amin.
Agustus, 2006
ASBO (Anti Social Behaviour Order) di Inggris sepertinya memang jadi persoalan bangsa yang begitu mengagungkan hak asazi manusia ini. Berhadapan dengan ‘teenagers’ (kadang mereka bahkan masih berusia 10-an tahun) kadangkala memang sangat menyebalkan. Namun, apa boleh buat demi kenyamanan dan kemanan kita sendiri, seperti yang ditulis AW, lebih baik kita diam atau menghindar dari mereka.
Saya pernah mengalami hal bikin naik darah kalau diingat. Summer tahun lalu kami beberapa Ibu plus anak masing-masing (semuanya berasal dari Indonesia) mengadakan barbeque di salah satu kediaman teman. Ketika anak-anak kami sedang asyik bermain, dan para ibu sibuk ngobrol sambil menyiapkan panggangan di halaman belakang rumah, lewat serombongan anak-anak bule yang berusia kira-kira 10 sampai 13 tahun.
Melihat kami lagi rame di halaman, mereka berhenti dibalik pagar dan mulai memprovokasi anak-anak kami yang lagi bermain. Anak-anak kami sudah selalu diajarkan untuk tidak terpancing dengan ajakan provokatif mereka, jadi mereka tidak peduli dan terus melanjutkan bermain. Rupanya rombongan ‘teenagers’ tadi merasa tersinggung karena dicuekin. Mulailah mereka beraksi dibalik pagar, menarik perhatian kami sambil menyeru yang bernada diskriminatif.
Merasa tak berhasil menarik perhatian kami, mereka mencoba dengan cara lain, beberapa orang dari mereka menurunkan celana dan memamerkan bokong putih pucat nempel di pagar ! Kali ini kesabaran kami habis, namun dengan sopan saya meminta mereka meninggalkan kami. Bukannya pergi, mereka malah serentak ‘mejeng’ bokong di sepanjang pagar !. Kebayang kan gimana rasanya nonton bokong berjejer didepan mata..yang meskipun putih mulus tetep aja ‘bokong..!’
Akhirnya saya mengeluarkan telepon genggam saya sambil mengancam akan merekam aksi mereka dan melapor ke polisi. Melihat keseriusan saya, rupanya mereka keder juga, akhirnya sambil ‘ketawa-ketiwi’ mereka meninggalkan kami yang sudah kehilangan selera makan. Habis, gimana mau melanjutkan barbeque kalau semua makanan kami sudah terekspos bokong mereka ?
Leeds, 18 Feb 2007
Hi Zev dan kokiers semua,
Saya juga ingin ikut nimbrung tentang artikel dan komentar 'Bahasa Indonesia' di kalangan anak muda Indonesia di luar negeri. Ketika saya dan suami sekolah di Kanada awal tahun 90-an, kami ikut membawa putri sulung kami, Dalila, yang saat itu baru berusia 2 tahun. Ketika itu dia sedang senang-senangnya berbicara, maklum baru bisa ngomong, dan kebetulan anaknya ceriwis. Saya dan suami sepakat tetap konsisten berbahasa Indonesia dengannya. Beberapa bulan kemudian dengan cepat dia mulai bisa menangkap percakapan dalam Bhs Inggris, terlebih setelah dia saya titipkan di play group.
Selama dua tahun di Kanada, kami tetap berbahasa Indonesia dengan Dalila, dan dia bebas berbahasa Inggris dengan orang lain. Dengan cara itu kami berharap Bahasa Ibu-nya tidak hilang. Sampai tiba waktunya kami pulang kembali ke Indonesia, putri saya sudah lancar berbahasa Inggris dan Bahasa Indonesia-nya tetap oke. Waktu itu saya dan suami memberi tahu putri kami untuk melakukan yang sebaliknya, bahwa ketika pulang nanti di rumah dia harus berbicara Bahasa Inggris dengan kami, dan di luar dia harus berbahasa Indonesia. Ini kami lakukan karena kami berusaha agar bahasa Inggris-nya tidak hilang. Tidak gampang memang, namun Alhamdulillah sampai usianya 13 tahun, Bahasa Inggrisnya masih lumayan.
Awal Tahun 2004 saya sekeluarga pindah sementara ke Inggris karena tugas belajar suami, Dalila sudah SMP, dan dua adik laki-lakinya masih SD. Karena memang masih mampu berbahasa Inggris dengan baik, dia tidak punya masalah dengan bahasa, meskipun bulan-bulan pertama dia sering bingung dengan perbedaan pemakaian kata/kalimat antara Bahasa Inggris-nya "Kanada/USA" dan bahasa Inggris-nya "Inggris". Sedangkan kedua adiknya juga dengan cepat menguasai Bahasa Inggris. Kami juga tetap menerapkan "aturan" ber Bahasa Indonesia di rumah atau dengan keluarga Indonesia lainnya.
Kini, lebih setelah lebih dua tahun tinggal di Leeds, ketiga anak saya memang lebih sering berbahasa Inggris sesama mereka, pake dialek lokal lagi, yaitu dialek "West Yorkshire". Terkadang saya nggak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan (Ibu-nya kuper nih..). Walaupun demikian, Bahasa Indonesia mereka tetap lancar, karena saya dan suami tetap berbahasa Indonesia dengan mereka. Terkadang si bungsu saya yang kini berusia 9 tahun, mencampur adukkan Bahasa Inggris ke bhs Indonesia karena nggak tahu kata yang tepat dalam Bhs Indonesia, namun saya selalu berusaha memperbaikinyanya.
Terus terang hal ini tidak mudah, apalagi banyak keluarga Indonesia di sini juga tidak lagi berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka. Tapi saya tidak bosan mengatakan bahwa: " kita hanya sementara di Inggris, karena itu jangan lupa dengan Bahasa Indonesia, entar bisa repot saat kembali ke Indonesia". Berhasilkah kami menerapkan metoda kami ini ? Saya berani mengatakan bahwa mereka masih bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terutama si sulung (kini 16 th) dan anak ke dua saya (12 th). Soalnya meskipun mereka cas-cis-cus bicara bhs Inggris sesama mereka, kalau lagi bertengkar..keluar deh bahasa Ibu-nya alias Bahasa Indonesia (ha..ha..).
Kekuatiran saya tetap ada, terutama untuk si bungsu. Karena dia sekolah di Inggris sejak kelas 1 SD, praktis dia sudah terbiasa menulis dalam Bahasa Inggris. Komentar kokiers tentang topik ini, mengingatkan saya bahwa bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik di negara orang (terutama anak-anak) belum berarti mereka bisa lancar menulis. Besok saya jadi pengen nguji anak-anak saya nih. Masih bisakah mereka menulis dalam Bhs Indonesia ? Kalau membaca mereka masih Oke.
Kalaupun anak bungsu saya mulai susah menulis Bhs Indonesia, saya tidak akan meberatkannya dengan memaksa dia belajar menulis Bhs Indonesia juga sekarang. Paling tidak saya bangga anak-anak saya tetap bisa berbahasa Indonesia, pada saat keluarga Indonesia lainnya mungkin justru bangga karena anak-anak mereka selalu berbahasa Inggris. Hidup Indonesia !!
Leeds, Jan 2007
Untuk Bung Harry di Guelph dan kokiers yang lain,
Lebih 10 tahun lalu saya sekeluarga pernah tinggal di Guelph, Ontario selama hampir 3 tahun. Kebayang winter disana waktu itu... Kerap kali pagi hari kami terpaksa berjibaku membersihkan salju yang menutupi pintu apartemen kami akibat salju yang turun semalaman. Berjalan ke kampus yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat tinggal kami di College Ave., rasanya butuh waktu berjam-jam, kalau salju lagi tebal sekali. Freezing rain, suhu yang drop tiba-tiba ketika salju sedang mencair…wah harus extra hati-hati melangkahkan kaki.
Sekarang, sesudah hampir 3 tahun saya tinggal di Leeds, UK, ternyata rindu juga saya melihat salju turun. Winter di leeds, seperti umumnya kota-kota lain di England, hampir tak pernah diwarnai salju. Kalaupun ada biasanya hanya semingguan bertahan sebelum kemudian mencair lagi. Suhu selama winter di Leeds selalu berubah-ubah, kadang naik sampai 8 derajat Celcius, kadang turun sampai minus 2 (Nggak sampai sedingin di Guelph, koq). Karena itu mendengar ramalan cuaca di pagi hari adalah menu wajib sebelum ke luar rumah. Kalau tidak bisa salah kostum… Hujan bisa turun tiba-tiba..meskipun saat keluar rumah cuaca sedang full matahari !
Namun winter kali ini sungguh berbeda, sampai minggu lalu suhu masih sering double figures alias belasan derajat Celcius, bahkan di saat angin badai melanda sebagian Eropa. Bumi memang semakin panas ya.. (Eit, hari ini ternyata suhu mendadak drop.., jebakan Black ice ..bertebaran di jalan..)
Leeds,
akhir Jan 2007
Salut untukmu Zev !
Membaca surat Sdri. Desiree yang membahas tulisan Veera tentang KBRI Finland, saya sudah ketar-ketir..gimana nich untuk para kokiers yang lain.Apa mau diatur pakai etika jurnalistik segala macam sebelum kirim artikel atau komentar. Ternyata tanggapanmu sangat elegan..dan manis. Hidup Koki..!
Ikut memberi komentar nih Zev. Saya juga tetap bangga mengakui saya adalah warga negara Indonesia. Pengalaman pernah tinggal di Kanada yang aman tenteram dan sejahtera dan kini di Inggris dengan nilai Pound-nya yang sangat tinggi dibandingkan Rupiah, tidak membuat saya lantas ingin jadi imigran di sini. Saya tetap ingin pulang ke Indonesia.
Hanya ada satu hal yang kadang membuat saya agak malas menjawab kalau ditanya saya berasal dari mana. Seringkali begitu tahu saya berasal dari Indonesia, saya langsung ditanya: "Whereabout do you come from ? Is it somewhere near the tsunami affected areas ?" Masalahnya saya berasal tepat dari area tersebut. Saya sudah lelah dan tak mau lagi menjawab tentang peristiwa itu. Jadi kalau ada yang bertanya :" Are you coming from Malaysia ?" Saya kadang cuma tersenyum tanpa menjawab dan mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Jadi Zev, bukan karena saya tak bangga atau tak mau mengakui diri sebagai orang Indonesia.
Salam hangat dari Inggris yang baru diterjang angin badai beberapa hari lalu
Lily,
Jan 2007
Dear Zeverina,
Nama saya lily, ibu tiga anak yang sedang beranjak remaja. Sementara ini kami sekeluarga tinggal di Leeds, UK, karena tugas belajar saya dan suami. Selama ini saya cuma jadi pembaca setia koki. Terus terang saya sangat menikmati tulisan para kokiers darimana saja. Banyak hal yang dapat dipelajari. Membaca tulisan Ibu Tri Benaran tentang "Membaca dan Buku", saya jadi terkenang masa kanak-kanak saya.
Ketika itu akhir tahun 70-an, saya dan adik-adik saya juga sangat senang membaca komik silat seperti Gundala, Jaka Sembung, Gina, Si Buta dari Goa Hantu, dll. Tokoh favorit saya waktu itu adalah Mandala, bagi saya dia adalah tokoh silat paling hebat dalam dunia persilatan komik. Ketika SMA hobby membaca saya beralih pada novel terjemahan. Bukan novel cinta atau cerita roman, tapi cerita detektif atau kriminal. Penulis favorit saya antara lain John Grisham, Mary Higgin-Clark, Sydney Sheldon, dan Michael Chricton. Suami saya kebetulan juga punya hobby membaca, meskipun tema bacaaan buku kami berbeda. Dia hobby membaca cerita humor, sejarah, atau hal-hal yang berkaitan dengan teknologi. Karena itu rumah kami ramai dengan buku dan majalah.
Sejak kecil kami sudah membiasakan ketiga anak kami akrab dengan buku. Saya dan suami bergantian membacakan mereka buku-buku cerita anak-anak ketika mereka belum bisa membaca. Kadang saya dibuat kaget oleh anak-anak saya waktu itu. Karena seringnya kami membacakan buku bergambar untuk mereka, anak-anak saya bahkan sudah bisa "membaca" cerita berdasarkan gambar pada buku pada saat mereka berusia 2-3 tahun.
Kini anak-anak saya beranjak remaja. Si sulung (perempuan, 16 tahun), dan kedua adik laki-lakinya (12 dan 9 tahun) Alhamdulillah masih sangat suka membaca buku. Sama dengan anak-anak lainnya mereka juga suka bermain game di komputer atau internet, namun mereka juga masih mencintai buku. Buku-buku bacaan si sulung mirip bacaan saya ketika SMA dulu, si tengah suka baca komik dan buku-buku bertemakan sport, sedangkan si bungsu lebih suka baca buku tentang ilmu pengetahuan, geografi dan teknologi.
Sekarang mereka lebih canggih dari saya dulu. Kalau saya dulu baca buku dalam bahasa Indonesia terjemahan dari Bahasa lain (terutama Bhs Inggris), sekarang bacaaan mereka Bhs Inggris semua (he..he.., tentu saja wong tinggal di Inggris ..) Karena itu tidak heran setiap menjelang tanggal 26 Des mereka sudah menyenter buku-buku yang mereka inginkan untuk dibeli pada tanggal 26 Des. Kenapa tanggal 26 Des ?
Di Inggris ada tradisi bahwa setiap tanggal 26 Des semua toko dan pusat perbelanjaan menawarkan diskon besar-besaran. Hari tersebut dinamakan "Boxing Day" (Kapan-kapan nanti saya ceritakan sejarah boxing day). Pada hari itu ada toko yang bahkan sudah buka sejak jam 5.00 pagi !
Kembali ke anak-anak saya, meskipun kami sedang liburan di kota lain pada tanggal 26 Des, toko buku adalah tujuan yang wajib dikunjungi hari itu. Dan memang benar, diskon yang lumayan besar bikin hati begitu tergoda untuk membeli buku-buku yang begitu menarik. Saya jadi berpikir ketika pulang ke Indonesia nanti belum tentu saya bisa memanjakan anak-anak saya dengan buku-buku pilihan mereka, karena harga buku di Indonesia setahu saya sangat mahal dibandingkan rata-rata pendapatan orang Indonesia (Tolong koreksi saya Zev, kalau saya salah). Sekian dulu, salam hangat untuk semua kokiers dimanapun berada saat ini.
Selamat tahun baru 2007
Salam,
lily-leeds
