Kemana Bapak dan Ibu kami ? Selamatkah mereka ? Atau sudah tiadakah mereka ? Pertannyaan ini sempat datang bertubi-tubi dalam hati Haris, ketika dia tahu ternyata di antara jenazah yang dia temukan 27 Des di Kp. Mulia, dia tidak menemukan jenazah orang tua kami. Namun evakuasi jenazah dik Susy, dik Adi, Lisa plus anak-anak yang sulit membuat Haris harus mengesampingkan dulu semua pertanyaan itu.
Selasa pagi, 28 Desember 2005, ketika sedang evakuasi jenazah dik Adi, Haris bertemu dengan Firman, tetangga depan rumah. Menurut Firman Ibu kami selamat dan sudah dibawa oleh Amir (20-an th), yang merupakan tetangga Ibu juga. Mendengar ini Haris bersyukur ..Alhamdulillah ..masih ada Ibu..yang selalu mencurahkan kasih sayangnya bagi kami..dalam senang atau dalam sedih.
Setelah proses penguburan selesai, Haris segera mencari Amir yang sedang mengungsi di Cot Mesjid, tak jauh dari Lueng Bata lokasi kuburan keluarga kami. Amir bercerita, bahwa ketika gelombang tsunami menerjang dia dan orang tuanya yang bertahan di atap rumah mereka terbawa dan tersangkut di sebelah rumah orang tua kami. Dari situ mereka naik ke lantai 2 rumah kami, dan masuk ke kamar dik Adi..untuk mencari pakaian kering. Dari jendela kamar dik Adi dia mendengar suara orang mengerang., dan ketika dia menjenguk dari jendela dia melihat kepala yang menyembul dan tangan yang menggapai-gapai dari kaca mobil Kijang yang berada tepat di bawah jendela. Dia lalu turun melalui jendela dan mencoba menolong. Baru kemudian dia tahu ternyata yang mengerang itu adalah Ibu kami. Saat itu air masih cukup tinggi, menurut Amir lebih kurang setengah jendela mobil. Dengan susah payah dia akhirnya bisa mengeluarkan Ibu dan membawanya ke lantai 2.
Saat itu Ibu sadar sepenuhnya, namun kondisinya sangat lemah. Ibu meminta Amir juga menolong yang lainnya yang ada di mobil. Amir hanya bisa menjawab bahwa ketika menolong Ibu, dia melihat yang lainnya semua sudah tidak bergerak. Ibu juga mengatakan pada Amir bahwa Bapak juga sudah dalam mobil ketika gelombang tsunami dengan kecepatan yang luar biasa menerjang mobil Bapak. . Allahu Akbar.
Mereka berempat tinggal di lantai dua, di kamar dik Adi sampai lewat tengah hari. Ibu mengeluh perutnya sakit..dan beliau ternyata sedang diare saat itu. (Hal ini dikuatkan oleh info yang kami dapat dari Mak Uti, kakak ibu yang berbicara dengan ibu lewat telpon Sabtu malam, 25 Des 2004). Menurut Amir Ibu juga sudah banyak sekali terminum air laut saat terjebak dalam mobil. Ketika air sudah mulai surut dan yakin tidak ada geombang tsunami lagi, Amir membawa turun orang tuanya dan Ibu saya satu per satu. Ibu kami sudah tak sanggup berjalan sendiri, demikian juga Ibunya Amir. Karena itu Amir menempatkan mereka berdua pada sebuah drum minyak tanah yang dia dapatkan di sekitar rumah, lalu dia mencari kabel untuk menarik drum tersebut.
Butuh waktu yang lama sekali sampai kemudian mereka berhasil tiba di Jalan Pocut Baren, jalan besar dimana |Jl Tanoh Abee bermula (lebih kurang 300 m dari rumah orang tua saya). Mereka kemudian berhenti di pelataran pertokoan yang lebih tinggi dari jalan dan tidak lagi tergenang air. Amir merasa sudah sangat lelah, dia tidak yakin bisa membawa orang tuanya dan Ibu kami sekaligus untuk mencari bantuan. Saat itulah dia memutuskan untuk membawa Ibunya terlebih dulu ke Gedung DPRD di Jalan T. Nyak Arief/Daud Bereueh. Gedung ini biasa dijadikan tempat mengungsi bila banjir melanda Banda Aceh. Kebetulan saat itu lewat juga seseorang yang sedang mengendarai sepeda motor, yang kemudian dimintai tolong oleh Amir untuk membawa Ayahnya. Saat itu Ibu ditinggal sendiri…Ibu ..sempat berkata pada ‘Amir..cepat balik ya..nak ? Tolong bawakan juga obat sakit perut. .’. Ketika akan meninggalkan Ibu, Amir bertemu dengan tukang becak dayung yang juga sedang membawa pengungsi ke Gedung DPR. Kepada abang becak ini, Amir berpesan.tolong balik lagi dan bawa Ibu ini (maksudnya Ibu saya) ke Gedung DPRD juga.
Saat itu sudah sekitar jam 4 sore dan suasana Banda Aceh mulai gelap karena langit mendung. Amir menunggu lama di Gedung DPRD, namun Ayahnya dan juga Ibu kami tak juga muncul di sana.. Dia mulai panik dan mencari-cari Ayahnya. Menjelang magrib dia akhirnya mendapatkan Ayahnya dibawa ke kantor polisi di Jambo Tape. Saat itu hujan turun dengan derasnya… Malam itu juga dia membawa Ayah Ibunya ke Cot Mesjid. Saat itu dia yakin Ibu saya sudah berada di gedung DPRD. Besok paginya..karena merasa bertanggung jawab terhadap ibu saya, dia kembali ke gedung DPRD, dan mecari Ibu saya. Namun Ibu tidak ada di sana…Dia juga mencari kantor polisi di Jambo Tape..namun hasilnya nihil. Dia lalu kembali ke lokasi dimana dia meninggalkan Ibu saya kemarin sorenya… Ibu tidak ada lagi disana. Kemana Ibu kami…?
Mendengar cerita Amir, Haris merasa optimis bahwa Ibu kami selamat dan mungkin dibawa seseorang ke pengungsian atau rumah sakit. Ketika saya berhasil menghubunginya Rabu, 28 Desember 3004, Haris mengatakan bahwa dia yakin akan menemukan Ibu dalam waktu dekat. Dia minta saya membantunya dengan doa..dari Leeds. Empat hari berturut-turut Haris keluar masuk lokasi pengungsian di seputar Banda Aceh, dia juga mecari Ibu di rumah sakit militer Kesdam yang penuh dengan korban selamat tapi penuh luka. Para korban selamat ini sama sekali tak ada yang menolong..yang tumpang tindih dengan korban yang sudah menjadi mayat. Ketika melihat tumpukan mayat Haris juga mencoba mencari Bapak di antaranya. Sampai hari Jumat 31 Desember 2004. Haris tidak berhasil menemukan Ibu dan juga Bapak.
Dari cerita Amir, kami tak lagi berani berharap menemukan Bapak dalam keadaan selamat. Tapi harapan selamat masih begitu besar kami tumpukan pada Ibu yang sore hari 26 Desember 2004 memang masih terlihat di Jalan Pocut Baren. Hal ini kemudian juga dikuatkan oleh sms salah seorang guru ngaji Irham (anak saya) di TPA Kp. Mulia, dia memang melihat Ibu kami sore hari itu di depan toko Jl. Pocut Baren. Saat itu Ibu terlihat bersama Amir dan kedua orang tuanya. Karena itu dia juga yakin sekali Ibu masih ada…
Setelah usaha empat hari yang tidak membuahkan hasil, Haris sepertinya mulai menyiapkan diri untuk kehilangan Ibu juga. Dia mulai mengingatkan saya akan hal itu. Sebelum berangkat ke Banda Aceh, 1 Januari 2005, suami saya juga sudah meminta saya untuk tidak terlalu berharap menemukan ibu. Saya sendiri yang semula begitu yakin Ibu selamat, mulai kehilangan harapan…Namun waktu itu saya bertekad bahwa saya akan tetap mencari Ibu selama saya di Banda Aceh.
Selama di Banda Aceh, setiap sore hari Haris dan saya selalu mencari Ibu kemana saja. Saya masuk ke rumah sakit umum Zainoel Abidin, dan meminta daftar korban yang dirawat disana. Ketika itu saya bertemu dengan salah satu teman Dosen di Unsyiah juga yang sedang mencari istrinya. Dia menyarankan saya untuk mencoba ke RS jiwa. Saya dan Haris kemudian juga mencari daftar korban yang dirawat di sana. Selain ke rumah sakit kami juga mencoba mencari ke lokasi Pengungsian di Mata Ie yang merupakan lokasi pengungsian paling besar saat itu. Di setiap tenda tertera darimana penghuni di dalamnya berasal. Kami berusaha mencari ke setiap tenda. Kemudian kami juga menemui penanggung jawab pengungsi untuk melihat daftar nama pengungsi yang sangat panjang. Kami tidak berhasil menemukan ibu …
Selain mencari langsung ke lapangan, kami juga membuat selebaran tentang ibu plus foto beliau yang kami tempelkan seputar kota yang banyak dilalui orang, Bandara Blang Bintang Banda Aceh, dan Bandara Polonia Medan. Kami juga memasukkan iklan kehilangan ibu selama tiga hari berturut-turut pada Harian Serambi Indonesia, yang merupakan koran lokal Banda Aceh. Sehari setelah selebaran tentang Ibu kami tempelkan di Bandara, Haris mendapat sms dari seseorang yang mengatakan melihat seorang Ibu yang mirip dengan ibu kami. Ketika Haris menghubungi orang tersebut, Pak Rudi namanya, beliau sendiri tidak yakin apakah ibu yang dia lihat melintas jalan T. Nyak Arief di sekitar kantor Gubernur, adalah sama dengan Ibu kami yang dia lihat di foto. Untuk meyakinkan hati sore sampai malam setelah Haris bicara dengan pak Rudi tersebut, kami menyelusuri jalan T. Nyak Arief berulang kali, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan ibu. Tapi semuanya nihil…..
Kami mulai mencoba untuk ikhlas bahwa Ibu juga telah tiada. Berat sekali menerima kenyataan ini. Sempat juga timbul rasa sesal di hati, kalau saja sore itu saya ada di sana…… Tapi saya kemudian berusaha meyakinkan diri bahwa Allah memang telah menggariskan sejarah kehidupan penuh duka ini untuk keluarga kami, dan tak ada yang mampu mengubahnya….
Kami tak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada Ibu setelah ditinggalkan Amir sore itu. Berbagai dugaan merebak di hati. Saya dan Haris mencoba merekontruksi kejadian yang mungkin. Mungkin Ibu saya dibawa/ditolong orang tapi kemudian meninggal tanpa sempat menyebutkan nama dan alamatnya. Mungkin Ibu saya berusaha berjalan katika sore itu orang berlarian karena ada isu tsunami datang lagi.. Saya membayangkan kaki Ibu yang rematik berat plus apa yang dialami Ibu dalam mobil membuatnya tak mampu berjalan sendiri, apalagi berlari. Bisa jadi ibu pingsan dan kemudian meninggal tanpa seorangpun mengenalnya. Ada juga yang mengatakan bahwa beberapa orang yang selamat dari terjangan tsunami kemudian kembali seorang diri ke lokasi rumah untuk melihat/mencari apakah ada keluarga yang selamat. Dalam perjalanan kembali ke lokasi, kemudian mereka hilang atau meninggal. Apakah itu yang terjadi pada Ibu saya ? Apakah beliau masih berusaha melihat keadaan anak-anak, menantu, plus cucunya di dalam mobil di lokasi rumah ? Atau apakah Ibu kemudian berusaha mencari Bapak seorang diri ? Wallahualam.
Sungguh saya sangat ingin mengetahui apa yang terjadi pada Ibu. Sempat juga timbul harapan bahwa Ibu ditolong orang, kemudian dibawa ke kota lain. Namun waktu yang berlalu membuat kami tak lagi berani berharap. Mungkin Ibu memang sudah tiada. Tapi kemana jenazahnya ? Saya tak mampu menduga kemana…
Mengingat Ibu adalah hal yang terberat bagi saya sampai kini. Saya merasa tak berdaya sama sekali menolong Ibu. Berat sekali bagi hati saya membayangkan Ibu meninggal seorang diri tanpa seorangpun mendampinginya atau mengenalnya. Dalam doa-doa panjang saya setiap hari saya selalu meminta kepada Allah kalau memang Ibu saya masih ada, mohon kami dipertemukan segera. Kalaupun Ibu sudah tiada mohon diberi petunjuk kepada kami. Sampai sekarang saya masih menyimpan harapan untuk mendapat kabar tentang Ibu. Karena itu saya masih berusaha menyebarkan info tentang Ibu via internet. Saya tak lagi berani berharap Ibu masih ada, tapi saya sangat ingin ada yang mengontak saya atau Haris memberitahu kejadian yang dialami Ibu sore itu, sehingga saya tak lagi bermimpi setiap malam akan berbagai hal yang mungkin dialami Ibu. Saya harus ikhlas kalau Ibu juga telah tiada….
Sampai kemarin, Ilman, anak bungsu saya yang berusia 7 tahun, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa neneknya yang selalu memnyiapkan susu untuknya setiap hari sebelum pergi les, telah tiada. Ilman selalu berkata: ‘ Mak kita (anak-anak saya juga menyebut Mak untuk Ibu saya) tidak meninggal, Mak hilang…itu artinya kita belum tahu Mak dimana’. (Anakku, Tuhan tahu betapa besarnya harap Bunda bahwa Mak kita memang masih ada…)
Kami berharap menemukan jenazah Bapak di antara puing dan reruntuhan rumah. Setiap hari selama saya di Banda Aceh, kami menyempatkan diri mencari mayat Bapak. Setelah lokasi rumah sedikit dibersihkan dengan alat berat, kami mendapatkan banyak mayat di sekitar lokasi rumah. Ada mayat seorang Ibu yang sedang hamil sekitar 6 bulan. Ada mayat seorang Ibu yang sedang berpelukan dengan anak lelakinya yang berumur sekitar 6 tahun. Ada mayat perempuan muda yang tersangkut pada hancuran sepeda motor saya. Ada mayat seorang anak perempuan yang tersuruk dalam parit. Ada beberapa mayat lelaki yang berasal dari desa lain (kami menemukan KTP dalam kantong celana mereka). Rasanya tak terbayangkan oleh saya sebelumnya saya mampu menghadapai semua ini. Setahu saya mayat manusia itu sangat berbau. Jadi kalau satu mayat sudah sangat bau, harusnya 10 mayat akan berbau 10 kalinya. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Terus terang mayat-mayat ini semua menimbulkan bau..tetapi tidak sebau yang saya bayangkan ! Apakah karena saat itu saya mulai terbiasa dengan bau mayat ? Allahu Akbar….
Sampai hari terakhir saya di Banda Aceh, Sabtu 29 Januari 2005, kami masih berusaha mencari jenazah Bapak sampai tengah hari. Saat itu saya terkejut oleh teriakan Haris yang mengatakan bahwa dia menemukan dompet Bapak. Di antara beberapa pakaian Bapak yang berhasil digali dalam lumpur kering, Haris menemukan satu celana panjang Bapak yang terisi dompet dalam salah satu kantongnya. Di dalam dompet kami menemuka KTP dan SIM Bapak. Kami termangu…., harapan untuk menemukan jenazah Bapak menjadi sirna. Allah ternyata ingin menunjukkan kepada kami, bahwa kami mungkin tak akan pernah mengetahui dimana jenazah Bapak. Karena setelah sebulan berlalu sebenarnya hanya kartu identitas yang ditemukan pada mayat yang bisa menjelaskan mayat itu siapa. Dengan ditemukannya KTP Bapak di rumah, berarti ketika berusaha menyelamatkan diri, Bapak tidak membawa tanda pengenal apapun bersamanya. Dengan demikian kami tidak akan tahu dimana jenazah Bapk ditemukan..
Kenyataan ini sangat berat bagi saya, juga bagi Haris. Dalam situasi normal, kehilangan salah satu anggota keluarga saja, sudah membuat kita berduka. Kalau dipikir situasi yang kami alami rasanya bisa membuat kami histeris atau ‘gila’, terlebih bagi Haris yang praktis tinggal ‘sebatang kara’. Kami memang sangat berduka menghadapi kenyataan yang teramat pahit ini. Alhamdulillah kami masih bisa tetap ‘tegak’ berdiri, dan berusaha untuk tidak menyesali apa yang telah terjadi, betapapun besarnya luka hati kami. Seperti kata Haris: ‘ Allah telah memberi kita hati yang luar biasa, karena kalau diingat kembali apa yang telah Ais hadapi, rasanya Ais tak percaya masih bisa tetap berdiri sampai hari ini’.
Kami memang tidak sendiri dan kami percaya Allah Swt. telah memberikan yang terbaik bagi keluarga kami.. Saya ikhlas bahwa selain Dik Susy, Adi, Lisa plus ananda Izzan dan Rizqy, Allah juga telah memanggil Bapak dan Ibu untuk kembali ke hadirat-Nya. Saya juga harus ikhlas untuk tak pernah tahu di mana kuburan keduanya….
‘Allahummaghfirlii waliwalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaaniii saghiraa…’ Amin. (Ya..Allah ampunilah dosaku, ampunilah dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka..seperti mereka menyayangiku sewaktu kecil). Amin.
Leeds, akhir Februari 2005
Dengan hati tetap berbaik sangka pada Sang Khalik,
lily
No comments:
Post a Comment