Monday, March 12, 2007

Ketika Ego Harus Ditanggalkan.....

 

 

Ketika saya dan anak-anak berangkat ke UK untuk bergabung kembali dengan suami yang sedang sekolah di sana, saya tidak hanya punya keinginan untuk berkumpul kembali setelah 6 bulan terpisah benua.  Saya juga punya keinginan lain, yaitu bisa melanjutkan sekolah kembali sambil mendampingi suami dan anak-anak. Keinginan ini bukan tidak beralasan, seperti halnya suami, saya adalah dosen di sebuah  perguruan tinggi di Sumatera.  Melanjutkan pendidikan sampai jenjang S3 seperti sudah suatu keharusan, karena merupakan bagian dari tri dharma perguruan tinggi.

 

Lebih 10 tahun lalu, ketika kami berdua baru saja mulai bekerja sebagai dosen dan baru mulai membangun rumah tangga dengan satu anak, kami punya kesempatan untuk sekolah S2 bersama di Kanada.  Demi kebersamaan kami waktu itu suami saya ‘terpaksa’ tinggal di kota saya kuliah yang berjarak satu jam naik bus dari kampusnya di kota lain.  Pengalaman bersekolah di luar negeri bersama suami plus mengurus keluarga saat itu membuat saya yakin bahwa Insya Allah saya juga akan mampu bersekolah lagi kali ini. 

 

Didukung suami, jauh-jauh hari sebelum berangkat ke UK saya sudah mengirim formulir aplikasi untuk melanjutkan S3 saya di sana.  Alhamdulillah saya diterima ‘unconditional’di kampus yang sama dengan suami, yang menjadi kendala adalah saya belum mendapatkan kepastian beasiswa dari pemerintah daerah atau dari kampus tempat saya bekerja.  Namun begitu, saya tetap berangkat ke UK awal April 2004 dengan harapan selama enam bulan sebelum pendaftaran saya bisa mendapatkan beasiswa.

 

Pada kenyataannya sampai tiba saatnya saya mendaftar saya belum mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S3 saya di UK.  Beberapa tawaran lain sempat menarik perhatian saya, namun keinginan untuk tetap bisa berkumpul bersama suami dan anak-anak membuat saya menolak untuk sekolah selain di UK.  Dengan alasan belum ada beasiswa, saya menunda mendaftarkan diri sampai tahun berikutnya, yaitu akhir tahun 2005.

 

Mengisi waktu sambil mencari beasiswa, saya mencoba mencari pekerjaan untuk mengisi waktu dan  yang paling penting adalah untuk mendukung berputarnya roda ekonomi rumah tangga !  Beasiswa suami yang hanya £650.00/bulan, sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga plus tiga orang anak usia sekolah. Lebih dari separuh jumlah bea siswanya tiap bulan sudah terserap untuk biaya sewa apartemen plus kebutuhan lain seperti biaya listrik, gas, air dan telpon. Pada awalnya saya mencoba melamar pekerjaan yang tidak jauh-jauh dengan kemampuan akademis saya, namun setelah ditolak berkali-kali dengan alasan prioritas pekerjaan lebih pada warga negara Inggris (kemampuan yang saya miliki masih banyak dikuasai oleh mereka), saya mulai berpikir lain.

 

Seorang teman yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih alias ‘cleaner’ di kampus bertanya apakah saya tertarik untuk bekerja sebagai ‘cleaner’, karena sedang ada lowongan saat itu.  Saya tidak terlalu kaget dengan tawaran ini, karena saya tahu banyak mahasiswa S2 dan S3 atau isteri/suami yang harus bekerja apa saja untuk membantu ekonomi keluarga selama sekolah diluar negeri. 

 

Sebelum mengambil keputusan, saya mencoba menguji hati saya untuk menerima tawaran ini.  Siapkah saya dengan pekerjaan sebagai ‘cleaner’ ini ?  Siapkah saya yang di Indonesia bekerja sebagai dosen, kini justru harus bekerja sebagai tukang bersih-bersih di ruangan kantor para dosen dan mahasiswa ?  Siapkah saya yang sudah punya kehidupan lumayan mapan di Indonesia plus punya ‘tukang bersih-bersih’ full time di rumah kini harus menjalani pekerjaan tersebut untuk mendukung ekonomi keluarga di UK ?

 

Logika saya kemudian mengalahkan ego saya, saya lebih memilih melihat kenyataan yang ada.  Saya memilih untuk ikut berperan dalam mendukung kelancaran berputarnya roda rumah tangga dan ketenangan suami sekolah, meskipun untuk itu saya harus melupakan pekerjaan saya sebagai dosen di Indonesia.  Jadilah saya bekerja sebagai ‘cleaner’ di Universitas yang sama yang telah menerima saya untuk melanjutkan S3. 

 

Ada rasa tak menentu yang menerjang hati saya ketika memulai pekerjaan sebagai ‘cleaner’ ini.  Tapi pekerjaan ini juga kemudian mengajarkan banyak hal untuk saya. Bagaimana menundukkan rasa egois dalam diri adalah salah satunya.  Lebih menghargai keberadaan orang lain seberapapun kecilnya peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat adalah pelajaran yang sangat berharga yang tidak mungkin saya dapatkan dari sekolah manapun. 

 

Selain itu bekerja sebagai ‘cleaner’, bukan berarti saya harus kehilangan akses untuk belajar di kampus.  Sebagai ‘cleaner’ di Universitas, saya juga berhak menggunakan fasilitas seperti staf lainnya, misalnya hak menggunakan system informasi dan teknologi atau hak menggunakan fasilitas perpustakaan.  Saya juga punya hak untuk libur 25 hari kerja selama setahun tanpa pemotongan gaji.  Asyik kan ? 

 

Sebagai ‘part time cleaner’, saya bekerja 3 jam/hari dengan jadwal tetap setiap hari.  Di Universitas tempat saya bekerja, ada dua shift kerja untuk para ‘cleaner’, yaitu pagi hari pukul 7.00 – 10.00 atau malam hari ketika jam kantor usai, pukul 5.00-20.00.   Karena ingin berada di rumah saat anak-anak pulang sekolah sore hari, saya memilih sebagai ‘morning cleaner’. 

 

Seperti ‘cleaner’ lainnya, saya bertanggung jawab untuk membersihkan  area tertentu di lingkungan kampus. Tugas saya selama  3 jam kerja adalah membersihkan semua ruangan yang ada di area saya, kantor para dosen dan karyawan, ruangan kelas, plus kamar mandi.  Tentu saja 3 jam kerja/hari tidak akan cukup untuk membersihkan secara  ‘benar’ semua ruangan tersebut.  Untuk itu saya harus bisa  mengalokasikan waktu untuk membersihkan ruangan tertentu yang benar-benar harus saya bersihkan pada hari tertentu setiap minggu. Walaupun begitu yang namanya tempat sampah tetap harus dikosongkan setiap hari, baik yang berada dalam ruangan kantor ataupun dalam kamar mandi.   Saya juga harus bisa bekerja sama dengan ‘cleaner’ lain yang areanya berdekatan dengan area saya dalam gedung yang sama, karena kalau saya mengambil hari libur merekalah yang akan mengerjakan tugas saya, demikian juga sebaliknya.

 

Tantangan sebagai cleaner memang lebih terhadap diri sendiri, misalnya bagaimana mengatasi rasa mual saat membersihkan toilet ketika ada yang meninggalkan ‘oleh-oleh’ yang nyangkut dan tak berlalu saat di ‘flush’.  Kalau sudah begini terpaksa jurus tradisional digunakan lagi,  menyiram toilet dengan seember air ! 

 

Hal lain yang kadang terasa berat adalah saat harus bangun dan berangkat kerja pada musim dingin.  Universitas tempat saya bekerja memang hanya berjarak 10-15 menit jalan kaki dari flat tempat tinggal kami.  Biasanya setiap hari paling lambat saya sudah harus bangun sebelum pukul 6.00 pagi agar sempat sarapan dan tidak terlambat tiba di kampus (Alhamdulillah urusan sarapan anak-anak dan bekal mereka sekolah ditangani oleh suami saya sebelum dia berangkat ke kampus).  Pada musim panas hal ini tidaklah berat, karena terang pagi cepat sekali datang, jam 5 pagi biasanya sudah cukup terang.  Sebaliknya pada musim dingin, jam 6 pagi masih seperti malam hari, dingin yang begitu menusuk kulit membuat saya harus melawan keinginan untuk tetap melingkar dibalik selimut.  Belum lagi saat berangkat kerja, terkadang angin plus hujan es sedang beraksi dengan hebohnya.  Jarak tempuh ke kampus  jadi terasa amat panjang dengan waktu yang lebih lama.  Saat-saat begini besar sekali godaan untuk berhenti saja.

 

Menjelang berakhirnya setahun masa penundaan pendaftaran S3,  saya belum juga berhasil mendapatkan beasiswa.  Selain ‘menjual’ surat penerimaan S3 dari Universitas, ke berbagai kalangan di dalam negeri, saya juga telah mencoba mengirim permohonan beasiswa di UK khusus untuk ‘international student’.  Ketika itu suatu tawaran lain justru datang di depan mata, bea siswa penuh untuk sekolah S2 di universitas yang sama !.

 

Sama sekali tak terpikirkan oleh saya untuk sekolah S2 lagi, karena tujuan saya ke UK adalah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang S3.  Namun, lagi-lagi saya harus menggunakan logika melebihi keinginan hati saya sendiri.    Apakah saya tetap berkeras menanti datangnya beasiswa untuk S3 yang tidak pernah saya tahu kepastiannya, atau mengambil kesempatan S2 lagi yang sudah ada di depan mata.  Banyak hal yang saya pertimbangkan sebelum mengambil keputusan, terutama keraguan akan kesanggupan saya untuk menghadapi stress kuliah dalam kelas dan saat ujian. 

 

Saya tahu, jenjang S2 di UK umumnya ditempuh dalam waktu satu tahun (beda dengan di Kanada/USA yang dua tahun), karena itu jadwal kegiatan selama setahun itu pasti sangat padat.  Selain itu usia saya tidak lagi muda, ada keraguan dihati saya mampukah saya bersaing dengan mereka yang jauh lebih muda dan penuh vitalitas ?  Beda halnya kalau saya kuliah S3,  tidak ada lagi kuliah dalam kelas ataupun ujian bersama saat akhir semester, mahasiswa S3 menghabiskan waktunya untuk penelitian dan menulis.  Tentu saja ‘stress’-nya juga ada, tapi tak ada persaingan antara mahasiswa, karena masing-masing mengerjakan penelitiannya sendiri.

 

Dukungan suami yang sangat besar plus keinginan menambah pengetahuan secara terstruktur, akhirnya membuat saya mengambil keputusan untuk memanfaatkan peluang yang ada.  Saya memilih bidang yang sedikit berbeda dengan S2 saya di Kanada dulu.  Untuk itu saya berhenti bekerja sebagai ‘cleaner’, status saya lantas berubah menjadi mahasiswa, masih di Universitas yang sama.  Karena saya dan suami sama-sama mendapat bea siswa setiap bulan, selama setahun kami tak lagi memikirkan untuk bekerja.

 

Setahun lagi berlalu sudah.  Akhir tahun 2006  lalu, Alhamdulillah saya sudah menyelesaikan S2 saya dengan baik.  ‘So, what next ?’.  Saya masih harus menunggu suami saya menyelesaikan  S3-nya dalam beberapa bulan ke depan, sebelum pulang ke kampung halaman.  Kali ini saya tidak berpikir lama, saya kembali bekerja sebagai ‘cleaner’ !  Status saya berubah lagi, dari mahasiswa menjadi  staf bagian ‘estate service’-nya university.  Barangkali kalau bagian ‘Human Resource’ mengadakan pengecekan, mereka akan bingung menemui nama saya dengan status berubah-ubah di kampus.

 

Kini untuk sementara saya tidak lagi memikirkan untuk melanjutkan pendidikan S3 saya, saya lebih berkonsentrasi untuk mendukung suami agar dia cepat selesai plus membantu ke-tiga anak saya dengan kegiatan di sekolah masing-masing.  Terkadang ada teman yang bertanya, masih adakah keinginan saya untuk nyambung lagi sekolah S3 nanti ?  Umur saya yang sudah melewati angka 40 membuat saya cenderung menjawab: “ Tidak, sampai di sini saja.  Saya akan lebih memfokuskan diri dalam mengurus pendidikan anak-anak yang beranjak remaja”.   Namun saya kemudian ingat akan kalimat ‘never say never’.  Siapa tahu saya masih punya kesempatan  nanti.  

 

Hanya Allah Swt yang Maha Tahu.  Bukankah menuntut ilmu tidak mengenal usia ? Bukankah Nabi Muhammad SAW menganjurkan kita menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat ?

 

 

Leeds, akhir Feb 2007.

Lily

 

 

27 comments:

  1. touching sekali bu...mau donk jadi cleaner gantiin ibu...:D

    ReplyDelete
  2. jeut hai, nanti pas ke rumah saya week end ini ya..

    ReplyDelete
  3. hehe...kan udah lewat...nanti aja kalau ibu udah balik ke banda hehehe

    ReplyDelete
  4. tenang aja, masih banyak kesempatan koq selama di UK. Masih mau main ke Leeds kan ?

    ReplyDelete
  5. Subhanallah, salut saya
    Acung empat jempol deh untuk kak Lily.
    Semangatnya untuk berjuang, dan lebih lagi untuk terus belajar.
    Salam kenal ya Kak. Tulisannya bagus-bagus, menginspirasi sekali.

    ReplyDelete
  6. Terima kasih dik Urfah. Salam kenal kembali.. Apa kabar di Jakarta ?

    ReplyDelete
  7. Salam kenal ya Kak Lily...namanya hampir sama, Saya Lely:)
    Seperti yang saya alami saat ini tawaran untuk S3 di luar negeri di depan mata tetapi mengingat dua anak yang masih kecil mungkin saya harus menunda keinginan dan melanjutkan kuliah di dalam negeri saja.

    ReplyDelete
  8. Kadang kita memang harus mengambil keputusan berdasarkan skala prioritas, meskipun tidak selalu sesuai dengan keinginan kita pribadi. Good Luck untuk Lely. Salam kenal kembali...

    ReplyDelete
  9. Salam Kenal buat Bunda Lily (dari Abyzein)

    Cerita Buda membuat kami menangis / haru begitu hebatnya perjuangan bunda demi menuntut ilmu semoga tekad " Baja " bunda itu menginspirasikan kepada kami yang muda ini supaya pantang menyerah dalam menghadapi berbagai persoalan.

    ReplyDelete
  10. mbak Lily...semangatnya jadi nular ke saya nih....utk terus belajar...., he he kemarin pas masih sekolah bhs perancis, saya sempat ngelamar jadi kasir pom bensin lho mbak...udah diterima eh ternyata hamil...jadi berhenti..deh. Doakan saya ya mbak...setelah si baby nanti lahir, bisa kembali ke bangku sekolah yang tertunda...amin....

    ReplyDelete
  11. Walau jadi cleaner.......yg penting kan duitnya kak.......he..he...he...

    ReplyDelete
  12. ceritanya seru banget Kak Lili.....pekerjaan apapun tak masalah yang penting masih dijalur yang halal,,,hehehe

    ReplyDelete
  13. oh, jadi tau saya sekarang ceritanya... :-)

    ReplyDelete
  14. Mudah-mudahan semua lancar ya..Nura. Dan bisa kembali sekolah...

    ReplyDelete
  15. he..he...tujuannya memang nambah uang belanja

    ReplyDelete
  16. Subhanallah, smg membawa berkah, dunia akhirat, amiiinn........

    ReplyDelete
  17. ♥TFS kak.. jadi nambah semangat aja nih jadi cleaner.. hehehhe btw.. kayak nya saya udah jadi private cleaner di rumah mertua..:) kebetulan ibu nya Philip punya take away dan costcutter.. cuma philip ngak setuju saya ikut kerja ama beliau ..jadi pas saya di minta bantu bersih2 aja kapan beliau butuh.. kayak nya saya juga ngak enak bilang 'NO' karena tawaran kerja sebelum nya udah ngak bisa... jadi deh.. kalau beliau mau saya datang buat bantu bersihin rumah nya... maka saya datang.. pas saya sibuk bersih2 si Khansa bisa main juga disana.. jadi.. lumayan deh.. seperti berkunjung aja.. ♥

    ReplyDelete
  18. wah...asyik juga..sambil berkunjung bisa nambah income.., semangat terus Ning.

    ReplyDelete
  19. kak lily, kayanya mesti diceritain di jurnal tersendiri nih, gimana komunikasi suami istri waktu dua-2 nya sekolah. kebayang stressnya soalnya...

    ReplyDelete
  20. semangat terus kak, semoga suatu hari nanti Allah mengizinkan kak Lily jadi mahasiswa S3.
    ngomong2 baca tulisan kak Lily di atas jadi ingat kala di Glasgow, saya juga jadi staf enggenering floor di Jhon Lewis, karena suka nggak sarapan sebelum brkt kerja jadi kedinginan dan masuk angin, itulah yg membuat punggung saya sakit dan sakitnya lari ke dada, akhirnya di pulangkan deh...

    ReplyDelete
  21. nanti deh..kapan-kapan saya tuliskan. memang waktu itu..kami semua sibuk luar biasa setiap hari. Komunikasi yang baik bukan saja harus dijalin dengan suami tapi dengan anak-anak, karena kadang-kadang saya dan suami pulang dari kampus sampai malam hari. Alhamdulillah K'Lila yang saat itu sudah 15-16 tahun, bisa menjadi 'pengawal' adik-adiknya sepulang sekolah.

    ReplyDelete
  22. Amin. Saya sih sekarang sudah tidak begitu berharap lagi. Ngurus anak-anak aja..dinomor satukan. Btw.., jadi Elda pulang karena sakit ? Sudah alam saya ingin tanya kenapa Elda dan anak-anak pulang duluan. Mudah-mudahan sudah sembuh ya...

    ReplyDelete
  23. Ibu..................hiks hiks mengharu biru.............Ibu emang luar biasa..............dan ternyata doa di tahun 2007 tidak perlu lama terwujud..............semangat ibu.,....

    ReplyDelete