Hi Zev dan kokiers semua,
Saya juga ingin ikut nimbrung tentang artikel dan komentar 'Bahasa Indonesia' di kalangan anak muda Indonesia di luar negeri. Ketika saya dan suami sekolah di Kanada awal tahun 90-an, kami ikut membawa putri sulung kami, Dalila, yang saat itu baru berusia 2 tahun. Ketika itu dia sedang senang-senangnya berbicara, maklum baru bisa ngomong, dan kebetulan anaknya ceriwis. Saya dan suami sepakat tetap konsisten berbahasa Indonesia dengannya. Beberapa bulan kemudian dengan cepat dia mulai bisa menangkap percakapan dalam Bhs Inggris, terlebih setelah dia saya titipkan di play group.
Selama dua tahun di Kanada, kami tetap berbahasa Indonesia dengan Dalila, dan dia bebas berbahasa Inggris dengan orang lain. Dengan cara itu kami berharap Bahasa Ibu-nya tidak hilang. Sampai tiba waktunya kami pulang kembali ke Indonesia, putri saya sudah lancar berbahasa Inggris dan Bahasa Indonesia-nya tetap oke. Waktu itu saya dan suami memberi tahu putri kami untuk melakukan yang sebaliknya, bahwa ketika pulang nanti di rumah dia harus berbicara Bahasa Inggris dengan kami, dan di luar dia harus berbahasa Indonesia. Ini kami lakukan karena kami berusaha agar bahasa Inggris-nya tidak hilang. Tidak gampang memang, namun Alhamdulillah sampai usianya 13 tahun, Bahasa Inggrisnya masih lumayan.
Awal Tahun 2004 saya sekeluarga pindah sementara ke Inggris karena tugas belajar suami, Dalila sudah SMP, dan dua adik laki-lakinya masih SD. Karena memang masih mampu berbahasa Inggris dengan baik, dia tidak punya masalah dengan bahasa, meskipun bulan-bulan pertama dia sering bingung dengan perbedaan pemakaian kata/kalimat antara Bahasa Inggris-nya "Kanada/USA" dan bahasa Inggris-nya "Inggris". Sedangkan kedua adiknya juga dengan cepat menguasai Bahasa Inggris. Kami juga tetap menerapkan "aturan" ber Bahasa Indonesia di rumah atau dengan keluarga Indonesia lainnya.
Kini, lebih setelah lebih dua tahun tinggal di Leeds, ketiga anak saya memang lebih sering berbahasa Inggris sesama mereka, pake dialek lokal lagi, yaitu dialek "West Yorkshire". Terkadang saya nggak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan (Ibu-nya kuper nih..). Walaupun demikian, Bahasa Indonesia mereka tetap lancar, karena saya dan suami tetap berbahasa Indonesia dengan mereka. Terkadang si bungsu saya yang kini berusia 9 tahun, mencampur adukkan Bahasa Inggris ke bhs Indonesia karena nggak tahu kata yang tepat dalam Bhs Indonesia, namun saya selalu berusaha memperbaikinyanya.
Terus terang hal ini tidak mudah, apalagi banyak keluarga Indonesia di sini juga tidak lagi berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka. Tapi saya tidak bosan mengatakan bahwa: " kita hanya sementara di Inggris, karena itu jangan lupa dengan Bahasa Indonesia, entar bisa repot saat kembali ke Indonesia". Berhasilkah kami menerapkan metoda kami ini ? Saya berani mengatakan bahwa mereka masih bisa berbahasa Indonesia dengan baik, terutama si sulung (kini 16 th) dan anak ke dua saya (12 th). Soalnya meskipun mereka cas-cis-cus bicara bhs Inggris sesama mereka, kalau lagi bertengkar..keluar deh bahasa Ibu-nya alias Bahasa Indonesia (ha..ha..).
Kekuatiran saya tetap ada, terutama untuk si bungsu. Karena dia sekolah di Inggris sejak kelas 1 SD, praktis dia sudah terbiasa menulis dalam Bahasa Inggris. Komentar kokiers tentang topik ini, mengingatkan saya bahwa bisa berbicara bahasa Indonesia dengan baik di negara orang (terutama anak-anak) belum berarti mereka bisa lancar menulis. Besok saya jadi pengen nguji anak-anak saya nih. Masih bisakah mereka menulis dalam Bhs Indonesia ? Kalau membaca mereka masih Oke.
Kalaupun anak bungsu saya mulai susah menulis Bhs Indonesia, saya tidak akan meberatkannya dengan memaksa dia belajar menulis Bhs Indonesia juga sekarang. Paling tidak saya bangga anak-anak saya tetap bisa berbahasa Indonesia, pada saat keluarga Indonesia lainnya mungkin justru bangga karena anak-anak mereka selalu berbahasa Inggris. Hidup Indonesia !!
Leeds, Jan 2007
No comments:
Post a Comment