Musibah gempa dan gelombang tsunami 26 Desember 2004, telah membuat banyak warga Banda Aceh kehilangan anggota keluarga dan kerabat dalam jumlah besar sekaligus. Bahkan beberapa teman saya hilang sekaligus bersama keluarganya masing-masing tanpa pernah ditemukan jenazahnya sampai saat ini. Rasanya memang tak terbayangkan musibah ini akan terjadi, namun kenyataannya inilah yang terjadi. Saya sendiri kehilangan seluruh anggota keluarga dari garis Bapak-Ibu, kecuali satu adik laki-laki yang kini tinggal seorang diri, karena istri dan kedua anaknya juga telah meninggal dunia. Allahu Akbar
Saya adalah anak sulung dari empat bersaudara, dari ayahanda T.H. Harun Al Rasyid (69 tahun) dan ibunda H. Djauharah Ahmad (62 tahun). Selain saya, adik laki-laki saya yang nomor dua (Haris, 38 tahun) juga telah menikah (dengan Lisa, 32 th) dan mempunyai 2 orang putra, yaitu Izzan (7 tahun) dan Rizqi (2 tahun). Haris memilih untuk membuat rumah dan menetap di sebelah rumah orang tua kami, di Jl, Tanoh Abee no 16, Kp. Mulia, Banda Aceh. Sedangkan adik saya yang nomor 3, Susy (35 th) dan Adi (31 tahun) belum menikah dan masih tinggal dengan Bapak-Ibu. Sebenarnya lebih 2 tahun terakhir ini Susy menetap di Penang, Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan S2-nya di USM. Dik Susy baru saja pulang ke Banda Aceh awal Oktober 2004 setelah sekolahnya selesai akhir September 2004.
Ketika bencana alam ini terjadi, Haris sedang di Jakarta, karena itu dia juga tidak tahu pasti apa yang terjadi di rumah orang tua kami dan rumahnya sendiri sesaat setelah gempa dan sebelum gelombang tsunami melanda kota Banda Aceh Minggu pagi itu. Namun dialah yang besok paginya, Senin 27 Desember, menemukan jenazah dik Susy dan Adi, beserta istri plus anak-anaknya sendiri. Mereka berlima ditemukan terjebak dalam mobil masih di halaman rumah di Kampung Mulia.
Selama 4 minggu berada di Banda Aceh, saya tidak pernah bertanya secara langsung pada Haris bagaimana dia menemukan dan mengevakuasi, serta menguburkan jenazah istri dan anak-anaknya, juga jenazah adik-adik kami. Kelihatannya masih sangat sulit bagi Haris mengulang kejadian saat itu. Saya sendiri ketika itu juga tidak begitu yakin sanggup medengarkan penjelasannya secara detail. Dari ceritanya yang sepotong-sepotong kepada saya, juga cerita kakak ipar Haris yang ikut mendampinginya saat itu, saya mencoba menuliskan apa yang dialami Haris pada saat sangat berat itu.
Hari Minggu pagi 26 Desember 2004, Haris sedang sarapan pagi di hotel tempatnya menginap selama di Jakarta. Melalui TV dia melihat ‘breaking news’ tentang gempa di Banda Aceh yang berkekuatan 8,9 skala Richter. Hatinya langsung merasa tidak enak, dia merasa ini pasti bukan gempa biasa. Berkali-kali dia mencoba menghubungi telpon rumah Ibu dan rumahnya sendiri. Dia juga berkali-kali mencoba menghubungi no hand phone istrinya dan adik-adik kami, namun tak ada jawaban. Saat itu rupanya telekomunikasi ke Banda Aceh terputus total. Pagi itu juga dia mengambil keputusan untuk segera pulang ke Banda Aceh, dan baru sore harinya dia dapat pesawat yang menuju Medan. Dari Medan Minggu malam itu Haris menyewa mobil colt kecil untuk pulang ke Banda Aceh. Saat itu tak ada lagi pesawat yang mau terbang ke Banda Aceh, dan bus-bus yang sudah terjadwal berangkat juga membatalkan perjalanannya ke Banda Aceh.. Saat itulah Haris baru tahu bahwa gelombang tsunami telah melanda Banda Aceh sesaat setelah terjadinya gempa.
Sepanjang perjalanan Medan-Banda Aceh, Haris tidak bisa tidur sekejappun. Nalurinya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah menimpa keluarga kami. Namun kemudian dia mencoba menghibur diri bahwa gelombang tsunami hanya melanda wilayah yang dekat dengan pantai. Hatinya baru tersentak kaget ketika lewat tengah malam dia sampai di Kab. Aceh Utara, tepatnya di Kec Krueng Mane yang berjarak sekitar 200 km sebelah timur Banda Aceh. Disini dia melihat jalan-jalan yang retak dan terbelah, dan hampir tak percaya dia melihat banyak sekali mayat yang dijejerkan dipinggir jalan.
Subuh 27 Desember ketika memasuki Lambaro yang berjarak kira-kira 20 km dari Banda Aceh, Haris benar-benar lemas…. Beratus bahkan beribu mayat tergeletak berjejer di halaman posko PMI….sementara banyak orang terlihat lalu lalang di antara mayat-mayat tersebut..sedang mencoba mengidentifikasi keluarga mereka. Saat itulah supir colt menolak masuk ke kota Banda Aceh. Namun setelah dibujuk akhirnya sang supir bersedia masuk sampai Ketapang dua, yang berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Dari sini Haris meminjam sepeda motor temannya dan langsung pulang ke Kampung Mulia.
Memasuki kota, Haris tak melihat lagi bagaimana hancurnya Banda Aceh, pikirannya hanya tertuju ke rumah. Dia hanya bisa mengendarai sepeda motor pinjaman itu sampai di persimpangan jalan Syiah Kuala dan Pocut Baren (kira-kira 1 km dari rumah), karena jalan masuk ke Pocut Baren penuh puing dan air di jalan masih cukup tinggi. Haris memarkir sepeda motor di depan sekolah MTsN dan berlari dalam air diantara puing-puing menuju rumahnya dan rumah orang tua kami. Nalurinya menuntun dia untuk masuk lokasi rumah melalui jalan belakang yaitu Jl Malahayati.
Begitu memasuki halaman belakang rumah yang penuh puing dan tak lagi berpagar tembok, dia langsung melihat mobil kijang Bapak yang masih berada di halaman terjepit reruntuhan rumah. Ketika mendekati mobil dari belakang, dia segera melihat tubuh Lisa istrinya dan dik Adi dalam posisi duduk di bangku tengah dan sedang menoleh dengan tangan terulur ke arah belakang mobil. Kelihatannya mereka sedang berusaha meraih Izzan dan Risqi yang ditemukan Haris di kursi belakang mobil. Jenazah dik Susy kemudian juga ditemukan sedang duduk di kursi tengah mobil juga. Kursi depan mobil kosong , dan tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Sesaat matanya nanar, Haris tak mau percaya bahwa jenazah yang dihadapannya itu adalah jenazah keluarganya sendiri. Mereka semua segar bugar ketika Haris berangkat ke Jakarta seminggu sebelumnya. Betapa hancur hatinya saat itu…
Dengan kekuatan yang tak pernah diketahuinya datang darimana, Haris menghitung tubuh mereka satu per satu, lalu menyadari bahwa dia tidak menemukan jenazah Bapak dan Ibu . Kemudian dia melihat di pintu depan sebelah kanan (bagian supir) tersangkut sesosok mayat laki-laki yang dia duga adalah Bapak. Tanpa memeriksa lebih jauh Haris lalu memasuki bagian belakang rumahnya yang masih tersisa. Di antara reruntuhan dapur dia melihat ada 3 mayat wanita tengkurap di lantai, salah satu diantaranya diyakini Haris adalah Ibu kami. Hatinya kini benar-benar hancur lebur…ingin rasanya dia menutup mata dan ‘pergi’ bersama mereka saat itu juga.. Dia sendirian di lokasi dan sama sekali tak mampu berpikir, selain bahwa dia memang tinggal seorang diri kini.
Ternyata pikiran bahwa dia kini seorang dirilah yang membuat dia bangkit dan merasa harus melakukan sesuatu. Dia kini memang tinggal sendiri di Banda Aceh, sementara satu-satunya saudara yang tersisa adalah saya, kakaknya yang berada di belahan dunia lain saat itu. Tiba-tiba dia sadar bahwa sebagai suami dan ayah dia bertanggung jawab untuk mengantarkan Lisa, Izzan dan Risqi ke tempat yang layak. Haris juga menyadari bahwa sebagai anak dari orang tua kami dan abang bagi dik Susy dan Adi, dia berkewajiban menguburkan jenazah mereka semua. Betapa berat semua ini bagi Haris saat itu.
Haris tahu bahwa dia tak akan mampu mengevakuasi dan mengangkut semua jenazah seorang diri. Tak ada cara lain, dia harus mencari bantuan. Tapi kemana ? Saat itu suasana di Kampung Mulia sangat sepi..tak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Sejauh mata memandang hanya terlihat reruntuhan rumah tetangga dan piuing-puing yang membentuk tumpukan tinggi. Kemudian dia kembali ke lokasi mobil, pada secarik kertas yang ditemukannya di dalam reruntuhan rumah Haris menulis : ‘Jenazah yang berada dimobil adalah kel. Harun Al Rasyid. Saya (Haris) akan mengevakuasinya sendiri nanti (walaupun saat itu dia tidak tahu kapan bisa kembali membawa bantuan). Mohon untuk tidak dievakuasi oleh relawan’. Haris memutuskan untuk segera pergi dan kembali berlari ke lokasi dimana sepeda motor pinjaman ditinggalkan. Dalam kekalutan hatinya dia berdoa ‘ Ya..Allah, kuatkan hatiku, mudahkan urusanku, tunjukkan untukku bantuan, sehingga aku bisa mengevakuasi dan menguburkan keluargaku’.
Dengan pandangan kabur karena bersimbah air mata dia mengendarai sepeda motor tanpa tujuan tertentu. Alhamdulillah doanya terkabul. Ketika sepeda motornya oleng hampir jatuh, dia dihentikan seorang teman yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Sang teman inilah yang kemudian menawarkan bantuan untuk mecari tenaga untuk evakuasi dan mobil pick up untuk mengangkut jenazah. Dengan hati sedikit lega Haris segera kembali ke Kampung Mulia. Dalam perjalanan ke sana dia bertemu abang iparnya (abang Lisa) yang juga sedang mecari keberadaan keluarganya sendiri (Alhamdulillah mereka selamat). Bersama si Abang inilah Haris kembali ke lokasi untuk evakuasi. Tak lama kemudian sang teman datang dengan membawa teman lainnya plus mobil pick up. Saya tak tahu pasti berapa orang sebenarnya yang ikut mengevakuasi jenazah keluarga kami hari itu. Ketika evakuasi mulai dilakukan Haris baru tahu bahwa yang tersangkut di pintu mobil bukan jenazah Bapak, dan yang dia lihat sebelumnya di dapur bukan jenazah Ibu. Lantas kemana mereka ?
Karena medan yang sangat berat, sementara mobil harus diparkir jauh dari lokasi, proses evakuasi berjalan sangat sulit dan lamban. Menjelang jam enam sore, baru 4 jenazah yang berhasil dievakuasi. Saat itu langit sangat mendung dan hujan mulai turun. Haris memutuskan evakuasi harus dihentikan, tak mungkin dia memaksa semua orang yang sudah sangat lelah untuk menyelesaikan evakuasi. Hari mulai gelap dan mereka tidak punya alat penerang sama sekali. Ketika menceritakan bagian ini, Haris meminta maaf kepada saya karena terpaksa meninggalkan jenazah dik Adi seorang diri di mobil Senin malam itu. Hati saya teriris mendengarnya..seharusnya sayalah yang minta maaf kepada Haris karena tidak berada bersamanya saat itu.
Ketika harus membawa jenazah dia tersadar, kemana semua jenazah ini harus dibawa ? Tak mungkin menguburkan mereka malam itu, saat itu Haris bahkan belum tahu harus menguburkan mereka dimana. Melalui si Abang dia tahu bahwa tak mungkin juga membawa jenazah ke rumah mertuanya di Darussalam, karena rumah mertuanya penuh lumpur dan tak bisa ditempati. Kel mertuanya saat itu harus mengungsi ke rumah keluarga yang lain di Tungkop. Kemudian dia ingat rumah saya di Ie Masen. Sejak Saya dan anak-anak berangkat ke Leeds April 2004, di rumah saya tinggal adik suami, Khudri bersama istrinya. Haris berdoa semoga mereka berdua selamat dan rumah kami tidak rusak. Haris mendahului mobil jenazah untuk segera ke Ie Masen. Alhamdulillah Khudri ada di rumah dan mengizinkan rumah kami ditempati jenazah dik Susy, Lisa, Izzan dan Rizqi malam itu. Malam itu ibu mertua Haris ikut mendampingi dia melalui saat yang amat berat dalam hidupnya. Dalam kesedihannya, Haris masih harus berpikir kemana jenazah akan dikuburkan ?
Menjelang subuh Selasa 28 Desember Haris baru teringat bahwa keluarga nenek di pihak ibu kami mempunyai sebidang tanah yang digunakan sebagai pekuburan keluarga di kampung asalnya yaitu Lueng Bata, sekitar 6 km dari pusat kota. Almarhum nenek juga dikebumikan di sana, Desember 2003, persis setahun sebelumnya. Pagi-pagi sekali Haris menghubungi sepupu kami (anak kakaknya Ibu) Bang Didi, untuk membantu evakuasi jenazah dik Adi. Sementara itu Haris segera menuju Lueng Bata menghubungi keluarga adik nenek kami yang masih tinggal disana. Mereka setuju semua jenazah dikebumikan di pekuburan keluarga. Namun masalah lain segera muncul,..hampir tak ada orang yang bisa dimintai untuk menggali kubur ! Semua laki-laki muda di kampung itu sudah berangkat mencari keluarganya masing-masing yang masih terjebak di kota.
Kak Dahri, sepupu jauh kami, bersedia mencari tenaga penggali kubur. Alhamdulillah beberapa mahasiswa kost yang sebenarnya mau pulang ke kampung mereka, bersedia mambantu. Bersama Kak Dahri yang belakangan saya ketahui ikut juga menggali kuburan,..Alhamdulillah urusan ini bisa lancar. Sementara itu Haris menuju K. Mulia untuk memimpin evakuasi jenazah dik Adi. Dari Kampung Mulia jenazah dik Adi langsung dibawa ke pekuburan Lueng Bata. Sedangkan rombongan yang membawa jenazah dari Ie Masen juga berangkat langsung ke Lueng Bata. Menjelang zuhur…Alhamdulillah proses penguburan keluarga selesai.
Sampai sekarang Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Haris mampu menjalankan dan melewati semua itu. Menurut ceritanya kepada saya, bila mengingat kembali peristiwa dua hari itu, Haris sendiri tak percaya bisa melakukan semua itu tanpa pingsan sama sekali. Rupanya Allah memberi kekuatan yang luar biasa bagi Haris untuk bisa melaksanakan tanggung jawabnya. Ketika meniti kembali jalan yang mereka lalui ketika evakuasi, Haris merasa hanya Allah-lah yang telah membantu mereka dalam mengevakuasi jenasah pada medan yang amat sulit dan berat waktu itu. Allahu Akbar.
Ketika hari pertama saya mengunjungi lokasi rumah di Kampung Mulia, Senin 3 Januari 2005, saya dan Haris sudah bisa melewati Jl. Pocut Baren , lalu belok ke Jl Tanoh Abee. Ketika tiba di depan rumah,..Haris menunjukkan kepada saya lokasi mobil Bapak dimana dia menemukan jenazah. Saya tidak bisa melihat apa-apa dari depan, tak terlihat ada mobil, padahal mobil Bapak masih berada di tempat semula Haris menemukannya. Yang terlihat oleh saya hanya tumpukan kayu dan puing, plus reruntuhan rumah yang menggunung. Rupanya Haris ingin menunjukkan kepada saya bahwa nalurinya untuk masuk dari jalan belakang ternyata tepat, dia langsung bisa melihat bagian belakang mobil Bapak ketika itu. Kalau saja dia masuk dari jalan depan dia tidak bisa segera tahu ada mobil terjebak di bawah reruntuhan rumah….Dan Allah memang Maha Besar, meskipun mobil terjepit di antara puing, tak ada bagian mobil yang hancur…Allah Swt seperti melindungi mobil Bapak sehingga Haris bisa mendapatkan semua jenazah di dalamnya dalam keadaan lengkap dan utuh …..
Semoga Allah melapangkan kubur mereka yang telah tiada.. Semoga Allah menguatkan hati kami yang tersisa ini.. Amin.
Leeds, 15 Februari 2005.
Dengan hati yang sarat duka,
Lily
Catatan tambahan:
Terus terang banyak hal yang saya tidak tahu dan tidak akan pernah tahu persis bagaimana situasi waktu itu. Seperti misalnya kenapa dik Adi berada di bangku tengah persis di belakang kursi supir ? Apakah Bapak yang akan menyetir ? Setahun belakangan ini Bapak (69,5 th) sudah sangat jarang menyetir sendiri, karena kondisi matanya yang semakin sulit melihat dalam keramaian lalu lintas (akibat katarak). Saya tak akan pernah tahu mengapa....
Kenapa jenazah dik Adi yang ditinggal malam itu ? Sampai saat ini saya tidak pernah bertanya langsung pada Haris. Bahkan pertanyaan itu tak pernah muncul di hati saya. Evakuasi jenazah 27 Des itu dimulai menjelang tengah hari. Dari cerita sepupu yang ikut membantu, evakuasi dimulai dari jenazah yang paling gampang diangkat. Dan itu adalah anak-anak Haris yang berada di bagian belakang mobil. Lokasi yang sulit membuat mereka harus membawa jenazah satu per satu. Kemudian mereka mengevakuasi Lisa, istri Haris yang duduk di bangku tengah di bagian paling kiri (dekat pintu kiri). Selanjutnya jenazah dik Susy yang berada di bagian tengah bangku tengah. Jenazah yang paling sulit dievakuasi adalah dik Adi. Dia duduk di bangku tengah di belakang supir.
Mobil Bapak adalah Toyota Kijang lama yang belum mempunyai pintu di bangku tengah sebelah kanan. Mereka mencoba mengeluarkan dik Adi dari pintu sebelah kiri, namun posisi dik Adi yang sedang duduk (seperti yang lainnya), dan postur Adi yang tinggi, serta kondisi jenazah waktu itu membuat mereka menyerah dan harus memikirkan cara lain. Saat itu hari menjelang malam, semua yang membantu sudah kelelahan..dan mereka tidak punya alat bantu sama sekali. Karena itu Haris memutuskan untuk menghentikan evakuasi, dan kembali besok paginya dengan membawa beberapa peralatan.
Keesokan harinya, jenazah dik Adi baru berhasil dikeluarkan setelah mereka menjebol pintu belakang mobil. Menurut Bang Didi, butuh waktu hampir 3 jam untuk evakuasi jenazah dik Adi
No comments:
Post a Comment