Tuesday, March 6, 2007

Terima Kasih Saya Untuk Semua

 


 


 


 


 


Lima bulan telah berlalu sejak hari saya kehilangan begitu banyak orang yang saya cintai.  Terus terang, sejak hari itu 26 Des 2004, tak ada hari berlalu tanpa saya mengingat keluarga saya yang telah tiada. Dan apa boleh buat, sejak kembali ke Leeds awal Februari lalu, saya belum mampu menghentikan air mata yang mengalir setiap saya mengingat mereka.  Kesedihan saya kini bukan saja karena mengingat semua yang telah tiada, tapi juga mengingat adik saya Haris harus sendiri menjalani hari yang masih terasa  amat berat untuk dijalani.


 


Sampai sekarang kami masih saja menghitung siapa saja yang telah tiada diantara kerabat dan teman-teman kami di Banda Aceh.  Selain kehilangan Bapak-Ibu, adik-adik, adik ipar dan keponakan, saya juga kehilangan keluarga adik laki-laki Ibu saya.  Mereka sekeluarga (dengan 4 anak ) hilang tak berbekas, baik jenazahnya maupun rumahnya.  Yang tersisa adalah seorang menantu dan 2 cucu yang saat itu berada di Medan.  Seorang sepupu saya, Erie, (anak mak Uti- kakak perempuan Ibu saya) sampai sekarang masih stress berat karena harus kehilangan istri dan anaknya di tangannya sendiri pada saat menyelamatkan diri 26 Des lalu.  Sepupu saya yang lain, Andri (putra adik perempuan Ibu saya) yang sebaya dengan almarhum dik Adi  juga raib entah kemana, sementara mobilnya ditemukan tersangkut di sebatang pohon  di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman.  Saat ini dalam generasi Ibu saya, kami masih mempunyai satu kakak dan satu adik Ibu (Bapak kami anak tunggal dan berasal dari kota lain).


 


Di pihak suami, kami harus bersyukur bahwa kecuali Ibu, satu adik perempuan plus 2 anaknya, ke-5 adik suami saya yang lain selamat bersama keluarganya masing-masing.  Namun kami baru menyadari ternyata dalam generasi Ibu dan Bapaknya, suami saya tak punya lagi siapapun yang  tersisa.  Keluarga suami saya berasal dari desa-desa sepanjang pantai di Kecamatan Meuraksa.  Kecamatan ini bisa dikatakan rata dengan tanah.  Kebanyakan yang selamat adalah mereka yang tidak berada di rumah saat gelombang tsunami menerjang |B. Aceh..  Jadi di antara sepupu-sepupunya yang selamat, suami saya kini termasuk yang paling tua dalam keluarga besarnya.


 


Saya sadar hidup berjalan terus, tidak sseharusnya saya selalu bersedih mengingat mereka.  Saya tahu saya tak akan pernah bisa melupakan mereka, dan sesungguhnya saya sedang berusaha agar bisa mengingat mereka tanpa duka.  Seperti kata suami saya, ' kita mungkin tak akan pernah bisa melupakan apa yang telah terjadi,  namun we have to learn how to live with it. That is part of our life'


 


Kami beruntung mempunyai teman-teman yang selalu memberi semangat dan perhatian sejak hari musibah sampai kini.  Sungguh ini adalah karunia Allah kepada kami sekeluarga juga untuk Haris adik saya.   Sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus untuk semua.  Untuk teman-teman di Leeds: trims berat atas segalanya.  Untuk Kang Asep sekel, dan Bu Soes di Bogor: terima kasih untuk segala bantuan dan semangatnya yang tetap mengalir sampai kini.  Untuk teman-teman kuliah saya di Bogor dulu: ternyata waktu tidak berhasil membuat kita saling melupakan.  Untuk Sudaryanto di Jakarta: terima kasih untuk persahabatannya dalam suka dan duka. It means a lot to me.  Untuk teman-teman kost saya dulu...terima kasih atas segala perhatiannya.  Untuk Rina di Kyoto: K li masih butuh waktu....  Untuk P Hasan di Banda Aceh: bagaimana saya harus mengutarakan rasa terima kasih saya ?  Untuk P Husni: mudah-mudahan saya bisa setabah Anda (maafkan saya tidak aktif di jurusan saat ini). Untuk P Yoni dan Bu Aike, trims atas kunjungannya ke Shay Street..yang meringankan hati kami.   Dan untuk semua yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu


 


Saya juga bersyukur, almarhum adik saya Susy mempunyai teman-teman yang luar biasa di Penang, bahkan setelah Susy tiada... mereka masih tetap mengulurkan persaudaraan melalui saya.  Terima kasih untuk Ame yang masih terus menangani urusan Susy.  Trims untuk Wina dan Irin yang telah mengirimkan foto kenangan bersama Susy, saya tunggu foto lainnya.  Juga untuk Pedy..kapan Viva-nya ?  Mudah-mudahan silaturrahmi kita tidak berhenti di sini.   Untuk Oman: trims atas perhatian untuk susy dan kini untuk saya, seperti pernah saya tuliskan: ternyata Allah Swt punya rencana lain untuk Susy


 


Saya juga merasa sangat bersyukur Haris mempunyai tema-teman yang  sangat memperhatikannya.  Keaktifannya di IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia) ternyata kini menjadi penopang dan pembangkit semangat hidupnya kembali.  Teman-temannya di Yogya (tahun 2000-2002 Haris tinggal di Yogya untuk sekolah lagi di UGM) dan juga di Jakarta bahkan ada yang mengunjungi kami ketika saya di Banda Aceh Januari lalu.  Beberapa atlit silat dari kota lain di Aceh bahkan bersedia bergantian mendampingi Haris sehari-hari sejak saya kembali ke Leeds .  Alhamdulillah Haris kini sudah mampu berjalan sendiri dalam melakukan kegiatan sehari-hari, meskipun untuk hal-hal tertentu dia tetap mencari teman untuk menemaninya.


 


Sebagai informasi berikut saya tuliskan sedikit gambaran bagaimana kehidupan adik saya Haris kini  (mungkin begitu juga banyak korban selamat lainnya di Banda Aceh).


 


 Haris saat ini berada di Banda Aceh setelah dua minggu berada di Yogya awal Maret lalu., dan seminggu berada di Jakarta pertengahan Mei kemarin.  Haris kini tinggal di rumah saya (Alhamdulillah rumah kami luput dari terjangan tsunami) bersama keluarga adik suami saya.  Dia sudah mulai masuk kantor tempat dia bekerja yaitu di Dinas Prasana Wilayah Prov NAD (saya lebih suka menyebutnya  Dinas PU) meskipun belum sepenuhnya aktif kembali.  Menurut teman saya yang bertugas di  Aceh sejak awal april lalu (Dr Mukhtar-PPI Leeds), yang sempat menemui Haris , walaupun masih menyimpan duka amat dalam, secara mental Haris terlihat cukup kuat. Saya berdoa agar Haris tetap kuat dan mampu meniti hidupnya kembali, meskipun dia belum tahu harus mulai dari mana.


 


 Sehari-hari kini, Haris lebih banyak menghabiskan waktu di Kp Mulia, di Mesjid  Al-Anshar, mesjid setengah jadi (sebelumnya adalah Mushalla Al-Anshar yang berjarak sekitar 200 m dari rumah) dimana orang tua saya terlibat penuh dalam pembangunannya.  Di sanalah Bapak dan Ibu saya shalat wajib setiap waktu.  Berada di mesjid ini membuat Haris merasa dekat dengan Bapak-Ibu, membuat dia merasa selalu dekat dengan Lisa dan anak-anak. Haris juga sering terlibat dalam membantu alokasi bantuan barang untuk warga Kp. Mulia, meskipun kadang dia tak bisa menahan emosi bila berjumpa dengan teman-teman orang tua kami yang ternyata selamat.


 


Selain itu kegiatan Haris kini adalah mengurus peninggalan amarhum dan almarhumah keluarga kami.  Sebagai ahli waris satu-satunya (yang berada di B.Aceh kini) mau tidak mau Haris harus mengurus semua hal yang berkaitan dengan keluarga kami.  Karena isterinya dan adik-adik kami adalah pegawai negeri, maka hal pertama yang harus diurus adalah yang berkaitan dengan administrasi kepegawaian.  Hal ini butuh energi dan ketahanan mental yang kuat.  Selain harus berhadapan dengan birokrasi yang terkadang bikin naik darah, Haris juga harus berjuang menahan emosinya sendiri yang selalu mencuat ketika berhadapan dengan apapun yang berkaitan dengan almarhum dan almarhumah keluarga kami.   Ini terjadi terutama ketika mengurus hal-hal yang berkaitan dengan Lisa istrinya.  Karena itu dia cenderung menundanya, menunggu dia merasa lebih kuat  menghadapi semuanya.


 


Sebagai gambaran , untuk mengurus  administrasi pensiun Bapak misalnya (Bapak kami adalah pensiunan pegawai negeri).  Karena Bapak hilang, urusannya lebih rumit, Haris harus melapor ke kantor polisi dan minta dibuatkan surat keterangan orang hilang.  Ini tidak gampang, karena terkadang pihak polisi bertanya hal-hal yang tak bisa dijelaskan, seperti: ‘ Dimana hilangnya ?  Apa ada kemungkinan masih hidup ?’  Saya bisa mengerti kalau Haris kadang jadi kesal ditengah kesedihannya melaporkan Bapak yang hilang entah kemana.  Sesudah  surat keterangan dari kantor polisi  didapat, Haris harus membuat lagi surat keterangan yang dikeluarkan oleh Lurah Kp. Mulia yang harus ditanda-tangan oleh camat juga.  Dalam keadaan biasa, mengurus surat-surat begini sudah begitu menyita waktu.  Apalagi sekarang ?  Pada saat lurah dan camatnya sendiri berpindah-pindah di pengungsian.


 


Saat ini Haris berstatus sebagai pengungsi  dan korban selamat dari terjangan tsunami.  Karena rumahnya dan harta benda lain tak bersisa, dia berhak untuk mendapatkan ‘jadup’ (tunjangan hidup) dari pemerintah sebesar Rp. 90.000/ bulan.  Untuk ini setiap pengungsi harus didata dan dibuatkan kartu pengenal plus pas photo yang diambil langsung di tempat pendataan.  Untuk mengurus hal ini saja Haris (dan juga yang lainnya) harus bolak-balik  ke kantor camat tanpa ada jadwal jelas kapan pedataan dilakukan.  Kini setelah pendataan selesai, Haris dan warga Kp. Mulia yang lain belum juga mendapatkan kartu jadup , apalagi uang jadup yang dijanjikan pemerintah, semuanya masih sebatas janji.  Lewat telpon kadang Haris bercerita kepada saya, bahwa dia lelah mengurus semua hal yang berhubungan dengan statusnya sebagai pengungsi, namun bila tidak diurus..datanya sebagai korban akan terhapus…  Kalau ini terjadi, akan sulit bagi Haris ke depan bila dia membutuhkan bantuan.


 


Cerita Haris yang lain adalah tentang lokasi rumahnya dan rumah orang tua kami.  Menurut Haris, lokasi rumah sudah dibersihkan dari puing, dan kini tanah keluarga kami tersebut sudah diberi pagar.  Haris berencana untuk menghancurkan sisa bangunan rumahnya, sedangkan sisa bangunan rumah Bapak-Ibu masih akan dibiarkan, karena konstruksinya masih cukup bagus.  Sebenarnya saat ini sudah ada bantuan pembangunan rumah untuk warga Kp. Mulia.  Pembangunan rumah berukuran 36 m2  sudah dimulai sejak beberapa minggu lalu, namun Haris masih belum mendaftar untuk mendapatkan bantuan ini.  Haris bilang kepada saya: ‘Biarlah rumah itu dibangun bagi yang lebih membutuhkan dulu, sedangkan Ais kan cuma sendiri, dan masih bisa numpang di rumah Cut Kak’ 


 


Saya menerima tawaran bantuan dari banyak teman. Terima kasih atas perhatiannya.  Saya belum tahu bantuan dalam bentuk apa yang sangat kami butuhkan segera.  Namun yang jelas sementara ini tolong bantu kami sekeluarga plus Haris, dan seluruh masyarakat Aceh yang tertimpa musibah agar kami tetap tabah menjalani takdir Allah ini


 


Hidup saya memang penuh warna.


Dan tak selalu warnanya seindah pelangi.


 


Kalau saat ini hidup saya berwarna kelabu,


seperti mendung tebal menggantung di langit..


(Saya harap) itu tetap ada artinya


 


Bukankah mendung pertanda hari akan hujan ?


Bukankah hujan senantiasa membawa berkah di bumi,


terutama setelah kemarau panjang ?


 


Life goes on.  Insya Allah..saya, suami, anak-anak plus Haris…bisa  berbuat sesuatu di masa depan demi bangkitnya B. Aceh kembali..demi kenangan untuk mereka yang tercinta..yang telah tiada.


 


 


Mohon maaf bila kurang berkenan,


 


Leeds, 26 Mei 2005


Dengan rasa terima kasih tiada terhingga,


Lily


 


 


 


 

2 comments: