Kemanapun saya pergi, kampung halaman saya Banda Aceh, seakan selalu memanggil saya untuk kembali. Ketika pada akhir tahun 80-an saya memilih untuk pulang ke Banda Aceh setelah selesai kuliah di Bogor, teman-teman saya banyak yang heran akan keputusan saya saat itu. Padahal banyak orang lain justru pergi ke Jakarta/P. Jawa untuk mencari kerja. Demikin juga ketika beberapa tahun kemudian setelah selesai pendidikan S2 di Canada, tawaran menarik untuk bekerja di sebuah konsultan Canada di Jakata, tidak mampu mengalahkan kerinduan kami untuk berkarya di Banda Aceh dan bekerja untuk Universitas Syiah Kuala yang telah mengirim kami untuk sekolah.
Biasanya setelah bepergian jauh, kepulangan saya ke B.Aceh selalu membawa kegembiraan di hati. Pulang untuk bertemu dengan Bapak –Ibu dan adik-adik serta kerabat lain selalu menyenangkan saya. Namun kali ini jauh berbeda, setelah 8 bulan berada di Leeds mendampingi suami, saya pulang ke B.Aceh dengan hati yang sarat duka.
Seluruh keluarga saya dari garis Bapak-ibu telah tiada akibat gelombang tsunami yang melanda tanah kelahiran saya. Satu-satunya keluarga yang tersisa adalah adik laki-laki saya, Haris, yang sedang dinas di Jakarta pada saat kejadian. Untuk dia-lah saya pulang, saling berbagi kekuatan untuk mencari apa yang tersisa dari rumah orang tua kami dan rumahnya sendiri, serta untuk melewati saat-saat yang amat berat ini. Alhamdulillah suami saya, cukup mengerti posisi saya, meskipun dia sendiri juga kehilangan ibu , satu adik, dan tiga keponakan.
Ketika tiba dia Bandara Polonia Medan pagi jam 9.30 tgl 2 Jan 2005, suasana yang berbeda mulai terasa. Ruang tunggu keberangkatan penuh dengan mereka yang mau keluar dari Banda Aceh, dan juga dengan mereka yang justru ingin masuk ke Banda Aceh untuk mencari tahu kabar keluarga. Karena lapangan parkir bandara penuh dengan pesawat asing yang mau membawa bantuan ke B. Aceh, banyak penerbangan dalam negeri yang ditunda, akibatnya ruang tunggu bandara penuh sesak. Anehnya, meskipun banyak orang, ruang tersebut relatif sepi. Tak ada suasana hiruk pikuk seperti biasanya bila banyak orang berkumpul dalam satu ruangan. Rupanya suasana duka di Banda Aceh menyebar sampai ke Polonia, Medan yang berjarak 1 jam penerbangan.
Setelah menunggu lebih dari 12 jam, akhirnya saya berangkat ke Banda Aceh pada pukul 22.30 WIB. Saya tiba di Bandara Iskandar Muda Banda Aceh hampir tengah malam dan disambut dengan penuh duka oleh Haris dan salah seorang adik suami. Dalam perjalanan menuju rumah , tidak banyak yang saya lihat, suasana jalan gelap pekat, karena listrik saat itu belum menyala.
Besok paginya, dengan meminjam sepeda motor adik suami saya, saya meminta pada Haris untuk segera diantarkan ke kuburan keluarga yang berada sekitar 4 km dari pusat kota. Di sinilah adik-adik saya, adik ipar dan 2 keponakan (isteri dan anak-anak Haris) dikebumikan. Air mata saya mengalir tak tertahankan. Hampir tak percaya rasanya, seminggu sebelum musibah, saya masih berbicara dengan mereka semua melalui telpon, saya bahkan sempat bicara banyak dengan Susy, adik perempuan saya ketika kami sekeluarga kena flu berat menjelang natal 2004. Namun, disinilah mereka sekarang , dikuburkan bersama oleh Haris yang menemukan jenazah mereka pada hari Senin, 27 Des 2004, sehari setelah tsunami melanda.
Karena kuatir dia sendiri tak tahan, Haris mengajak saya segera untuk pergi. Saya kemudian minta diantarkan ke rumah orang tua kami dan ke rumah dia sendiri, di Kampung Mulia. Mulanya Haris keberatan, dia kuatir saya tidak sanggup bertahan. Tapi saya memaksa, cepat atau lambat saya harus ke sana. Saya harus menghadapi dan menerima kenyataan. Hal inilah yang juga dipesankan oleh suami saya ketika melepaskan saya pergi dini hari 1 Januari 2005.
Dalam perjalanan ke Kampung Mulia, saya menyaksikan kehancuran dimana-mana. Banda Aceh praktis lumpuh total. Pusat kota seperti tak punya denyut kehidupan. Saya melihat gedung-gedung yang runtuh akibat gempa, saya melihat puing-puing gedung yang musnah dilanda gelombang tsunami. Saya bayangkan semua orang sudah sangat shock ketika gempa dengan kekuatan 8,9 skala richter menggoyang Banda Aceh. Apalagi ketika tiba-tiba gelombang air laut menerjang kota. Allahu Akbar. Sungguh tak sanggup saya membayangkan kondisi keluarga saya waktu itu.
Tiba di Kampung Mulia, inilah kenyataan yang harus saya hadapi. Rumah orang tua saya hancur lebur. Pagar besi dan tembok yang mengelilingi rumah sudah tak ada lagi. Bangunan rumah juga sudah tidak terlihat, yang tersisa hanyalah kamar adik saya yang bungsu, Adi, di lantai dua yang terletak di atas ruang makan. Selain itu semuanya tidak berbentuk, bagian depan rumah yang terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar-kamat tidur sudah tak berbekas. Demikian juga dapur yang terletak di belakang ruang makan.
Seluruh bagian rumah kini dipenuhi hancuran tembok, kayu, atap, bahkan rumah orang lain yang terbawa air ke rumah orang tua saya Di bawah reruntuhan tersebut terdapat lumpur pasir yang berwarna hitam setebal kira-kira 50 cm. Sehingga lantai rumah tak terlihat sama sekali. Tak ada lagi halaman yang dipenuhi tanaman hijau dan bunga bougenvil warna-warni yang dirawat Bapak dengan teliti. Tak ada lagi gantungan anggrek berbagai jenis yang selalu dibanggakan ibu saya.
Rumah Haris yang terletak di sebelah rumah ibu juga terlihat sama hancurnya. Tak ada rumah tetangga yang masih utuh tegak berdiri… Sungguh tak terbayangkan oleh saya semua ini
Tak ada kata yang mampu menggambarkan rasa hati saya. Saya terpaku, lidah saya kelu, mata saya nanar, dan badan saya bergetar menyaksikan semua itu. Untuk beberapa saat saya tak bisa berpikir apapun, saya bahkan tidak melihat apa yang seharusnya saya lihat sejak hari itu, ketika berusaha memanjat tumpukan kayu untuk masuk ke kamar dik Adi.
Dari bekas air di dinding terlihat bahwa air di lantai dua saat itu mencapai 1 meter tingginya, tapi saksi mata yang selamat mengatakan air yang datang disana hampir setinggi atap rumah lantai dua dengan kecepatan yang sangat tinggi. Karena itu barang-barang di kamar dik Adi terlihat jungkir balik dan tidak lagi terletak pada tempat sebelumnya.
Setiap hari di minggu pertama saya di Banda Aceh, saya dan Haris datang ke lokasi rumah untuk mencari apa yang tersisa dari rumah orang tua kami dan rumahnya sendiri. Sangat sulit menentukan arah larinya barang-barang di rumah Ibu, karena sepertinya tak ada pola tertentu yang gampang diikuti. Arah air tak jelas, dan dilihat dari letak pecahan perabot rumah yang kemudian kami temukan, sepertinya air berputar di dalam rumah ibu saya.
Pada hari ke dua saya baru melihat dan menyadari apa yang seharusnya sudah saya lihat sehari sebelumnya. Rumah ibu dan rumah Haris penuh mayat ! Posisi mayat yang terjepit di antara tumpukan kayu dan beton, membuat kami sangat sulit melakukan identifikasi. Yang kami cari adalah mayat Bapak, yang kami duga juga telah meninggal dunia. Selain itu hujan yang turun setiap hari pada minggu itu membuat kami kesulitan memanjat reruntuhan, karena sangat licin dan penuh lumpur.
Terkadang ketika datang di pagi hari, saya hanya termangu memandang rereuntuhan rumah ibu dan rumah Haris. Persis di sebelah rumah Haris, mendarat sebuah kapal motor yang lumayan besar. Kapal tersebut terbawa gelombang air dari tempatnya berlabuh lebih kurang 5 km jauhnya dari rumah ibu. Sungguh luar biasa kecepatan air waktu itu. Kami duga rumah Ibu dan rumah Haris hancur akibat ditabrak kapal tersebut. Allahu Akbar.
Suatu kali ketika sedang termangu di jalan depan rumah, seorang wartawan asing lewat dan tanpa sengaja terlibat percakapan dengan saya. Ketika dia mengetahui musibah yang menimpa saya dan Haris, dia bertanya : ‘ Mengapa kamu tidak menangis ?’ Saya baru tersadar, sejak tangisan saya di kuburan adik-adik lima hari sebelumnya, saya tak pernah menangis lagi…bukan hanya saya, setiap orang yang saya kenal dan juga mengalami musibah ini, tidak lagi menangis, ‘Tak ada lagi air mata’, kata mereka. Semua sudah terkuras habis.
Memasuki minggu ke dua saya di sana, kami berhasil mendapatkan bantuan untuk menarik tumpukan puing di sekitar rumah. Saat itulah kami mendapatkan lebih dari lima mayat yang tersangkut dalam reruntuhan kayu dan beton. Saat itu kami dibantu juga oleh dua relawan yang merupakan teman-teman Haris yang datang dari Medan.
Bila dalam pengamatan pertama mayat yang dilihat adalah laki-laki, saya akan datang mendekat untuk identifikasi. Sangat sulit melakukan identifikasi melalui wajah saat itu, yang kami lakukan adalah dengan mengenali tanda-tada khusus pada Bapak. Misalnya kuku kaki jempol Bapak yang sebelah kanan tumbuh tidak normal karena pernah tersandung batu beberapa tahun lalu.
Kalau dihitung secara total ada lebih 20 mayat yang kami coba identifikasi yang kami temukan di sekitar rumah. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya saya mampu melakukan semua ini. Dalam film sehoror apapun rasanya saya tidak pernah melihat mayat-mayat bergelimpangan seperti itu.
Memasuki minggu ke tiga saya di sana (minggu ke empat setelah kejadian), kantor-kantor pemerintahan mulai membuka posko informasi dan mulai mendata pegawai dan stafnya yang menjadi korban tsunami. Kami memutuskan untuk segera melaporkan tentang meninggalnya adik-adik kami pada kantor mereka masing-masing. Saat inilah air mata saya mulai mengalir lagi.
Saya tak mampu menahan air mata ketika bertemu dengan teman-teman Susy dan melaporkan ‘kepergian’-nya pada Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah, tempat dia menjadi dosen sejak lebih enam tahun lalu. Air mata saya juga tak tertahankan ketika melaporkan meninggalnya dik Adi pada Fakultas Teknik Unsyiah tempat dia menjadi dosen selama empat tahun terakhir.
Ketika melewati kantor Bappeda Provinsi Aceh, Haris tak sanggup berhenti. Disinilah Lisa, isterinya, bekerja. Akhirnya beberapa hari kemudian dia meminta saya untuk melaporkan meninggalnya Lisa. Sungguh berat rasanya melalui semua ini.
Pada minggu ke tiga ini juga kami mulai mencoba mengurus surat-surat yang berkaitan dengan administrasi rekening orang tua dan adik-adik di Bank. Hal ini ternyata tidak gampang, situasi bank yang kacau balau setelah tsunami dan banyaknya nasabah yang meninggal membuat pihak bank kalang kabut dengan syarat-syarat yang harus disiapkan ahli waris nasabah. Butuh kesabaran yang sangat tinggi menghadapi semua ini. Akibatnya rencana semula bahwa saya akan tinggal 3 minggu di Banda Aceh bertambah satu minggu lagi, mengingat bahwa saya tak mungkin meninggalkan Haris sendiri mengurus semua ini.
Sejak minggu pertama saya di Banda Aceh, saya sudah berusaha memasuki wilayah tempat tinggal mertua saya di Desa Alue Deah Teungoh, di Kecamatan Meuraxa. Kecamatan ini terletak sangat dekat dengan pantai, dan menurut info yang saya dengar waktu itu semua desa di kecamatan tersebut rusak total. Puing-puing yang masih menutupi jalan utama ke sana, membuat saya gagal mencapai desa tersebut.
Pada minggu ke dua saya dan Haris mencoba lagi masuk ke sana, tapi sampai di lokasi saya bingung. Tak ada satu bangunanpun yang masih berdiri, tak ada pohon asam yang biasanya menandai jalan masuk desa. Bahkan jalan masuk ke desa juga sudah tak ada lagi. Sangat sulit menggambarkan lansekap rumah-rumah di sana. Sore itu saya kembali ke rumah tanpa berhasil masuk ke lokasi rumah mertua.
Beberapa hari kemudian bersama dua orang adik suami dan keluarganya, kami kembali ke Alue Deah Teungoh. Dari jalan utama kami harus berjalan kaki melewati apa yang dulunya adalah rumah-rumah penduduk. Kalau di Kampung Mulia saya masih dengan mudah menandai lokasi rumah Ibu karena masih ada bangunan yang berdiri, maka di sini sudah taka ada apa-apa lagi.
Dari jalan utama saya langsung bisa melihat laut yang terasa sudah begitu dekat. Desa Alue bisa dikatakan rata dengan tanah, tak ada satu tembok rumahpun yang masih berdiri…. Kami menandai rumah Ibu mertua hanya dari lantai rumah yang masih tersisa.
Dari data di posko pengungsi desa Alue Deah Teungoh saya tahu bahwa dari jumlah penduduk yang 4000-an sebelum tsunami, kini yang tinggal hanya 300-an orang, yang berarti tidak sampai 10% dari jumlah sebelumnya. Penduduk yang tinggal di desa ini umumnya hilang, sangat sedikit mayat mereka yang dijumpai. Kami harus ikhlas untuk tidak pernah (sampai saat ini) mendapatkan jenazah Ibu mertua saya, adik ipar Rahila, dan ke dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Memasuki minggu ke empat saya di Banda Aceh, jalan-jalan utama mulai terlihat hidup. Sudah ada kendaraan penduduk setempat yang lewat. Sebelumnya yang banyak terlihat di dalam kota adalah para relawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Rumah Sakit Umum Zainul Abidin yang lumpuh total sudah hidup kembali pada minggu ke tiga setelah diambil alih oleh pasukan militer Jerman. Gedung RSU memang belum bisa digunakan, tapi mereka membangun tenda-tenda di halam RSU untuk ruang perawatan pasien.
Pada tanggal 26 Jan sekolah-sekolah juga mulai diaktifkan kembali, meskipun masih dalam suasana darurat. Dengan menguatkan hati, pada hari itu Haris melaporkan meninggalnya Izzan (anak sulung Haris) yang duduk di kelas dua sekolah MIN I Banda Aceh.
Berat sekali hati saya meninggalkan Banda Aceh, terutama meninggalkan Haris sebatang kara. Sesedih-sedihnya saya, saya masih memiliki suami dan anak-anak yang saya cintai dan mencintai saya. Tapi Haris tidak memiliki siapapun lagi kecuali saya. Selain kehilangan isteri dan anak-anak, orang tua, dan adik-adik, Haris juga kehilangan semua harta benda yang dimilikinya. Bahkan tempat tinggalpun dia tidak punya lagi.
Kesedihan saya juga masih begitu sarat, karena sampai saya berangkat kembali ke Leeds kami tidak berhasil menemukan Ibu saya yang ternyata masih hidup sampai sore hari Minggu 26 Desember 2004, lebih dari 6 jam setelah terjangan tsunami. Ibu hilang entah kemana. Kami sudah berusaha mencari ke berbagai posko pengungsi dan rumah sakit di berbagai tempat di Banda Aceh dan Medan.
Meskipun Saya dan Haris pada awalnya sangat optimis menemukan Ibu, akhirnya kami berusaha untuk ikhlas..bahwa mungkin ibu juga sudah tiada. Dugaan yang paling kuat adalah ibu meninggal di pengungsian, namun tidak ada yang mengenalnya karena saat itu ibu tidak punya tanda pengenal. Allahu Akbar. Hanya Engkau-lah yang maha tahu atas semua kejadian ini.
Kini setelah saya tiba kembali di Leeds, baru terasa bahwa ternyata saya belum melewati masa-masa sulit mengatasi rasa sedih dan duka. Rasanya masih seperti mimpi,sesaat saya masih memiliki mereka semua, Bapak-Ibu, adik-adik dan keponakan, tapi sesaat kemudian mereka semua telah tiada.
Apapun yang kita miliki memang hanya kepunyaan Allah semata, kita tak bisa menolaknya bila Allah Swt menghendaki semuanya kembali. Satu hal yang meringankan hati saya adalah bahwa mereka yang telah pergi Insya Allah adalah syuhada. Semoga Allah melapangkan jalan untuk mereka dan menguatkan hati kami yang ditinggalkan.
Banda Aceh memang hancur lebur, masih banyak mayat yang belum dievakuasi, sebagian penduduknya bahkan pindah ke kota lain, namun saya justru sudah punya keinginan untuk segera pulang kembali…..
Leeds, 4 Februari 2005
Dengan segenap doa dan cinta untuk mereka yang telah pergi, dan untuk satu-satunya yang tersisa: adinda Haris
Lily
ibu, cerita ini sudah hampir 2 tahun yang lalu, tapi saya masih masih sangat tersentuh membaca cerita ibu ini. Semoga apa yang telah terjadi menjadi pelajaran berharga bagi yang masih hidup..
ReplyDelete