Sunday, March 11, 2007

Usia 17

 


Kamis, suatu hari di bulan Agustus 1989.


Pukul 20.30  WIB


 


Beralamat rumah keluarga kami, malam itu saya memasuki babak baru sejarah hidup yang akan saya jalani.  Ya,.malam itu dihadapan keluarga besar ke dua belak pihak, Bapak menikahkan saya, anak sulungnya dengan pria pilihan saya yang juga telah menarik perhatian orang tua dan adik-adik saya.


 


Saya ingat berhari-hari sebelumnya Ibu saya sudah gelisah menunggu saat itu tiba.  Saya tahu diantara rasa bahagianya untuk saya, Ibu juga merasa berat harus melepaskan putrinya untuk orang lain.  Perasaan yang mungkin  baru bisa saya pahami bertahun kemudian ketika saya juga sudah menjadi ibu.  Bapak kelihatan lebih tenang, meskipun beliau harus memanggil saya untuk latihan menghafal kalimat yang akan diucapkan saat akad nikah. 


 


Saya tahu orang tua saya menyimpan banyak harapan untuk saya.  Sebagai anak sulung, saya sudah terbiasa dengan nasehat mereka agar saya selalu bisa menjadi teladan bagi ketiga adik saya.  Ketika masih SD dan SMP setiap kali timbul keributan diantara kami berempat, Bapak selalu meminta saya memulai acara perdamaian meskipun saat itu saya sedang sangat kesal terhadap salah satu atau semua adik saya.  Kebiasaan ini ternyata membuat hubungan kami kakak-beradik sangat dekat sampai kami semua telah dewasa, yang terkadang membuat iri para sepupu saya.


 


Meskipun telah menikah, saya tetap mendapat dukungan penuh dari Bapak-Ibu untuk menjalani aktivitas saya sebagai dosen.  Kampus tempat saya bekerja yang berada di kota yang sama, membuat saya tidak harus langsung berpisah dengan orang tua setelah menikah.  Apalagi, beberapa bulan setelah menikah, suami saya meninggalkan saya yang sedang hamil muda untuk melanjutkan sekolahnya Canada. Ibu juga ikut menemani saya dan putri sulung saya yang waktu itu baru berusia 10 bulan, ketika saya harus mengikuti training bahasa di Jakarta sebelum saya berangkat ke Canada untuk melanjutkan sekolah sekaligus bergabung kembali dengan suami.


 


Tahun demi tahun berlalu.   Sampai akhir tahun 2004, Bapak-Ibu saya telah menjadi kakek nenek bagi tiga anak saya dan dua keponakan saya.  Bapak-Ibu sangat menikmati hari-hari berkumpul dengan para cucu.  Suatu kali ibu mengeluh rhematiknya yang seringkali menghalangi kegiatan ibu sehari-hari.  Saat itu sore hari, saya berada di rumah ibu untuk menjemput anak-anak saya yang mengaji di TPA yang diasuh Bapak.  Tiba-tiba saja kedua anak laki-laki saya plus dua keponakan yang juga laki-laki, menyerbu masuk rumah berebut untuk mencium pipi Ibu.  Saya melihat ketika itu ibu bahagia sekali, seakan hilang rasa sakit dikakinya.


 


 


Kamis,  Agustus 2006, 17 tahun kemudian


Pagi hari


 


Disinilah saya berada sekarang.  Bersama suami dan anak-anak, kembali berada jauh dari kampung halaman, menuntut ilmu ke negaranya Tony Blair.   Saya harus bangun pagi sekali hari ini untuk menyelesaikan draft laporan yang belum rampung, meskipun saya sudah menunda tidur sampai lewat tengah malam.  Suami saya yang juga sedang dikejar  deadline ikut menemani saya bangun lebih cepat.  Seusai shalat shubuh kami saling mengucapkan selamat dan syukur atas masa 17 tahun yang telah kami jalani bersama.  Tak ada hal lain yang istimewa.  Jam 9.00 pagi saya punya jadwal pertemuan dengan pembimbing saya.


 


Debaran jantung yang lebih cepat justru muncul untuk putri sulung saya, Dalila.  Sejak malam hari dia sudah gelisah menunggu pagi.  Hari ini nilai GCSE-nya diumumkan. Dia kuatir sekali kalau nilai matematikanya tidak dapat B, karena itu syarat minimal untuk mengambil subjek math di A-level September nanti.


 


Saya baru saja meninggalkan kantor sang pembimbing ketika Dalila memberi kabar.


 


“ Alhamdulillah, Bunda.  Nilai Math-nya malah lebih baik dari yang diharapkan.  Science juga dapat nilai bagus.  Hanya English-Literature yang dapat nilai minimal lulus”


 


Alhamdulillah, hati saya meluap gembira.  Saya jadi teringat lagi pada Bapak-Ibu.  Kini saya semakin memahami perasaan mereka dulu terhadap kami ketika saya dan adik-adik masih berkumpul .


 


 


Kamis, Agustus 2006


Malam hari.


 


Diantara kesibukan saya menulis report  yang harus dikumpulkan minggu depan, saya mengenang kembali 17 tahun masa yang terentang sejak kebahagian keluarga kami menyebar dari Jl. Tanoh Abee 16, Kp. Mulia Banda Aceh.


 


Suka duka, pahit manis-nya membangun rumah tangga, Alhamdulillah dapat kami jalani dengan penuh rasa syukur.  Saya dan suami berusaha untuk selalu saling mendukung dalam menjalani setiap aktivitas yang kami pilih.  Alhamdulillah, anak-anak saya juga sangat supportif terhadap kesibukan kami berdua saat ini.  Insya Allah perjuangan kami saat ini bisa menjadi teladan bagi mereka untuk tidak cepat berputus asa, meskipun usia kami berdua sudah tak muda lagi.


 


Namun tak dapat dipungkiri rasa duka yang dalam masih saja mengintip.  Hari ini 17 tahun setelah kedua orang tua plus keluarga saya dan suami menyambut gembira pernikahan kami, mereka semua sudah tiada.  Tak ada lagi rumah tempat kami berdua memulai hidup baru, tak ada lagi mereka yang menyambut saya sebagai anggota keluarga baru, ketika pertama datang sebagai menantu. Saya kini bahkan tak punya lagi tempat pulang saat lebaran tiba.  Kadang saya masih terasa bermimpi bahwa Bapak-Ibu, adik-adik saya plus ipar plus keponakan telah pergi menghadap-Nya, ketika tsunami menyapu kota kami 26 Des 2004 lalu.


 


Takut kembali larut dalam duka, saya menarik diri kembali ke masa kini. Di meja sebelah, suami saya sedang konsentrasi penuh memandang komputer di depannya. Inilah lelaki yang telah mendampingi saya menjalani hari, merajut cinta dan cita selama 17 belas tahun terakhir.  Insya Allah, kami selalu berusaha tidak akan mengecewakan harapan orang tua kami  demi masa depan keturunan mereka yang masih tersisa. Amin.


 


Agustus, 2006

2 comments:

  1. bu lily.. its truly inspiring story u've had....i couldn't agree more with you..i almost drop the tears...but yahhh....

    ReplyDelete
  2. Thank you lagi Saiful. Ingat tentang topik yang kita obrolkan malam hari weekend lalu di Shay Street bersama Azma ? Insya Allah harapan Saiful dikabulkan Allah Swt. Amin.

    ReplyDelete